0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Langsung saja. Pada saat saya bekerja di perusahaan yang lama, saya menggunakan Addendum, sedangkan di perusahaan yang baru saya menggunakan istilah perpanjangan kontrak. Apakah keduanya (Addendum dan Perpanjangan Kontrak) memiliki arti yang sama? Jika tidak, mana yang lebih kuat di mata undang-undang? Demikian, terima kasih. Mohon atas jawabannya. Tosan Ajie." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Perusahaan Spin Off , Bagaimana Status Karyawan? 18 Jul 2023 Surat Perjanjian Kerja dengan Banyak Addendum 25 Apr 2011 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 09 Nov 2010 PPJB versus addendumnya mana yang lebih kuat hukumnya? 29 Jan 2010 Addendum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; jilid tambahan (pada buku); lampiran; ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Pada umumnya, istilah addendum dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya . Meskipun jangka waktu perjanjian tersebut belum berakhir, para pihak dapat menambahkan addendum sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan, perpanjangan perjanjian/kontrak pada umumnya digunakan saat suatu perjanjian berakhir, namun para pihak menghendaki perikatan yang berakhir itu (misalnya hubungan kerja) untuk diteruskan. Sehingga, para pihak membuat kesepakatan untuk memperpanjang perjanjian/kontrak. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya , keduanya, baik addendum maupun perpanjangan kontrak adalah perjanjian . Karena tanpa kesepakatan kedua belah pihak, salah satu pihak tidak dapat membuat addendum atau memperpanjang suatu perjanjian secara sepihak. Jadi, sebenarnya perbedaannya adalah pada penggunaan istilah atas dasar perbedaan fungsi. Namun, esensi keduanya tetap adalah perjanjian. Simak juga artikel jawaban kami sebelumnya, Surat Perjanjian Kerja dengan Banyak Addendum . Dengan demikian, keduanya sama-sama merupakan perjanjian dan tunduk pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (\"KUHPer\") . Jadi , dalam membuat kontrak/perjanjian, para pihak bebas menentukan isi kontrak sepanjang isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer ). Termasuk dalam menentukan bentuk yang digunakan, para pihak dapat menyepakatinya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada regulasi tentang tinggal permanen di dalam karavan, seperti regulasi tentang KTP bagi yang bermukim di karavan (yang memang sudah sangat layak untuk ditinggali)? Atau paling sederhananya adalah rumah portabel yang dilengkapi dengan mesin hidraulik di bawahnya agar bisa dimobilisasi ke berbagai tempat." }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pendaftaran Penduduk dan Dokumen Kependudukan Pada dasarnya, isu utama berkenaan dengan tempat tinggal yang bisa dimobilisasi ke berbagai tempat sebagaimana yang Anda tanyakan adalah tentang alamat penduduk yang tinggal di dalamnya, yang mana hal ini berkaitan erat dengan administrasi kependudukan. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah negara kesatuan republik Indonesia, pemerintah menyelenggarakan administrasi kependudukan, [1] salah satunya adalah mengenai pendaftaran penduduk. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) pendaftaran penduduk adalah pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan. Pasal 2 huruf a UU Aminduk menyatakan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan. Lebih lanjut, Pasal 59 ayat (1) UU Adminduk merinci dokumen kependudukan yaitu meliputi biodata penduduk, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP) , surat keterangan kependudukan dan Akta Pencatatan Sipil. Sedangkan surat keterangan kependudukan meliputi antara lain surat keterangan pindah. [2] Alamat Alamat merupakan salah satu elemen penting dalam dokumen kependudukan, termasuk KTP elektronik (“KTP-el”), [3] yang wajib dimiliki oleh penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin. [4] Oleh karena itu, dalam data kependudukan perseorangan dan biodata penduduk dimuat juga alamat yang mencakup alamat sebelumnya dan alamat sekarang. [5] Namun demikian, UU Adminduk tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan alamat. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , pengertian alamat salah satunya adalah tempat tinggal seseorang. Kemudian, merujuk kepada ketentuan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , yang dimaksud dengan tempat tinggal adalah tempat dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Selain itu, hal yang juga penting untuk Anda ketahui adalah UU Adminduk berikut aturan perubahannya mengatur mengenai peristiwa kependudukan yang termasuk di dalamnya perpindahan penduduk. Penduduk warga negara Indonesia yang pindah dalam wilayah Indonesia wajib melapor kepada instansi pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah. [6] Adapun yang dimaksud dengan pindah adalah berdomisilinya penduduk di alamat yang baru untuk waktu lebih dari 1 tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu yang kurang dari 1 tahun. [7] Berdasarkan Surat Keterangan Pindah, penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada instansi pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang. [8] Surat Keterangan Pindah Datang ini digunakan sebagai dasar perubahan atau penerbitan Kartu Keluarga (KK) dan  Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang bersangkutan. [9] Sampai saat ini tidak ada peraturan khusus mengenai penentuan alamat atau adminsitrasi kependudukan dari penduduk yang tinggalnya berpindah-pindah, seperti yang tinggal dalam karavan. Untuk kepentingan pendaftaran kependudukan, mereka yang tinggal di dalam karavan diharuskan untuk memilih atau menentukan domisilinya . Namun, apabila ia memutuskan untuk pindah secara permanen atau lebih dari 1 tahun ke alamat yang baru, maka ia harus mengurus Surat Keterangan Pindah untuk selanjutnya melaporkan kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar perubahan atau penerbitan KK dan KTP yang baru bagi yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Referensi: Kamus Besar Bahasa Indonesia , Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 20 Oktober 2020, pukul 18.51 WIB. [1] Konsiderans huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) [2] Pasal 59 ayat (2) huruf a UU Adminduk [3] Pasal 64 ayat (1) UU 24/2013 [4] Pasal 63 ayat (1) UU 24/2013 [5] Pasal 58 ayat (2) huruf r dan s UU 24/2013, Pasal 60 UU Adminduk dan penjelasannya [6] Pasal 15 ayat (1) UU Adminduk [7] Pasal 15 ayat (2) UU Adminduk [8] Pasal 15 ayat (3) UU Adminduk [9] Pasal 15 ayat (3) UU Adminduk imigrasi lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Assalamualaikum. Saya mau tanya soal adopsi. Adopsi ilegal atau melakukan adopsi yang tidak mematuhi aturan hukum, apakah masuk ke dalam ranah hukum perdata atau ranah hukum pidana? Tolong jelaskan serta landasan hukumnya. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalam." }
{ "from": "gpt", "value": "Wa’alaikumsalam wr.wb. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Adopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang kami akses dari laman resmi Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan RI memiliki arti pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. KLINIK TERKAIT Hak dan Kewajiban Anak Angkat Berkenaan dengan Warisan 18 Apr 2024 Yang Harus Dilakukan Jika Punya Akta Kelahiran Ganda 18 Jun 2021 Keabsahan Perkawinan Pasangan WNI Sesama Jenis di Luar Negeri 06 Jun 2013 Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam 22 Apr 2013 Adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Anak adopsi atau yang juga dikenal sebagai anak angkat dapat kita jumpai definisinya dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak” ) dan Pasal 1 angka 1 PP 54/2007 yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. ” Pada dasarnya, legal atau sahnya pengangkatan anak menurut hukum itu dilihat dari kesesuaian dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adat kebiasaan setempat. Dilihat secara UU Perlindungan Anak, hal terpenting perihal pengangkatan anak adalah pengangkatan itu tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya . Di samping itu, permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan . Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait. Penjelasan lebih lanjut mengenai anak angkat dan tata cara pengangkatannya dapat Anda simak dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya. Lalu bagaimana jika pengangkatan anak dilakukan tidak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan? Apakah itu masuk ke ranah hukum perdata atau ke ranah hukum pidana? J ika berbicara mengenai konsep pengangkatan anak yang ilegal, kita mengacu pada Pasal 79 UU Perlindungan Anak yang mengatur mengenai sanksi jika pengangkatan dilakukan tidak sesuai dengan aturan/ilegal, yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Contoh kasus dapat kita jumpai dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 246/PID/2014/PT- MDN . Dalam putusan tersebut terdakwa dihukum oleh Pengadilan Negeri Simalungun penjara enam bulan karena melakukan pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan adat istiadat dan peraturan perundang-undangan. Yaitu karena tidak dilengkapi dengan surat-surat yang sah serta agama terdakwa dan anak angkatnya tidak sama. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding. Menjawab pertanyaan Anda, melihat pada pengaturan sanksi di atas, pengangkatan anak secara ilegal masuk ke ranah hukum pidana. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak ; REFERENSI:\n1. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 4 September 2014 pukul 15.49 WIB. Putusan: Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 246/PID/2014/PT- MDN . adopsi anak" }
{ "from": "human", "value": "saya ingin mengadopsi keponakan usia 3th (sudah saya asuh dari usia 1 thn dan semata-mata utk kesejahteraan anak dan tidak memutus silaturrahmi)& kedua orangtua kandung si anak telah bercerai 2 thn yg lalu dan sekarang masing2 telah menikah), syarat2 sudah saya lengkapi : 1. surat permohonan, 2. surat pernyataan ibu kandung, 3. surat keterangan kepolisian, 4. surat kesehatan & bebas narkoba 5. surat keterangan d/r perusahaan bekerja & slip gaji, 6. saksi sudah siap (kakek si anak/mertua dan abang mertua), 7. fotokopi kk/ktp/dll saya sudah kepengadilan negeri, tp dimentahkan karena katanya surat permohonan saya tidak sesuai dan harus melalui yayasan dan lainnya. pertanyaan saya : 1. bagaimana langkah selanjutnya yang harus saya lakukan ? 2. apakah lebih mudah di PA atau PN dari segi proses dan biaya ? Terima Kasih. Hernawan" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih untuk pertanyaan yang Anda sampaikan kepada kami. Berdasarkan uraian yang Anda sampaikan, kami dapat simpulkan bahwa adopsi atau pengangkatan anak yang akan Anda lakukan termasuk dalam kategori pengangkatan anak secara langsung. Pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung. (1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak secara langsung adalah sebagai berikut (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak): 1. Persyaratan menyangkut anak yang akan diangkat (pasal 12): a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. 2. Persyaratan menyangkut calon orang tua angkat (pasal 13): a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 ( lima puluh lima ) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah paling singkat 5 ( lima ) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial. 3. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri Sosial (pasal 16). (2) Pengajuan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan (pasal 20). - Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. - Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). - Untuk proses pemeriksaan oleh pengadilan, Anda perlu mempersiapkan sedikitnya dua orang saksi untuk memperkuat permohonan Anda dan meyakinkan pengadilan bahwa Anda secara sosial dan ekonomis, moril maupun materiil mampu menjamin kesejahteraan anak yang akan diangkat. - Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat. Adapun mengenai penolakan dari pihak pengadilan seperti yang Anda sampaikan, kami tidak menemukan aturan yang mengharuskan permohonan diajukan melalui yayasan. Lain halnya dengan \"pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak\". Pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri Sosial. Dalam hal ini permohonan pengangkatan anak diajukan melalui yayasan sosial yang mengasuh calon anak angkat dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan sosial tersebut. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat." }
{ "from": "human", "value": "Saya nasabah bank syariah yang menemukan praktik yang tidak syar’i dalam akad dengan bank tersebut. Saya komplain ke petugas bank tapi tidak ditanggapi dengan serius. Ke mana saya bisa mengadukan hal ini? Apakah bisa diadukan ke OJK jika yang dilanggar adalah ketentuan hukum Islam? Atau ada badan pengawas khusus lainnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Agar Bisnis Makelar Properti Sesuai Syariah 01 Sep 2021 Mengenal 2 Rekening Pengelolaan Dana dalam Asuransi Syariah 26 Agt 2021 Aturan tentang Hotel Syariah di Indonesia 26 Agt 2021 Dasar Hukum BMT dan Perbedaannya dengan Bank Syariah 16 Agt 2021 Pernyataan Anda kurang jelas apa yang dimaksud dengan praktik tidak syar’i dalam akad bank syariah karena banyak akad yang digunakan oleh bank syariah, baik pada penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang kesemua akad tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kegiatan Usaha yang Berasaskan Prinsip Syariah Guna menjawab Anda, kami berasumsi bahwa di dalam akad terdapat unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah. Jika mengacu pada Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) , maka kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah , antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur: riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Jika akad tersebut bertentangan dengan syariat Islam, maka akad tersebut tidak sah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 Lampiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (“KHES”) . Sebagai contoh dalam akad mudharabah yang membingkai produk deposito mudharabah , maka bank Syariah tidak boleh memperjanjikan keuntungan secara pasti karena yang dapat diperjanjikan dalam produk deposito mudharabah adalah porsi nisbah bagi hasilnya dalam prosentase. [1] Demikan juga pada tabungan wadiah bank Syariah tidak boleh memperjanjikan keuntungan secara pasti karena akad wadiah adalah akad titipan. [2] Langkah Jika Akad Bertentangan dengan Prinsip Syariah Akibatnya, jika bank syariah kemudian memperjanjikan keuntungan yang pasti pada deposito mudharabah dan tabungan wadiah , maka keuntungan tersebut dikategorikan sebagai riba yang jelas bertentangan dengan syariat Islam dan akibat hukumnya akad tersebut tidak sah. Jika terjadi hal demikian, nasabah dapat mengajukan gugatan pembatalan akad ke Pengadilan Agama [3] dikarenakan akadnya melanggar syariat Islam. Berkaitan dengan pengaduan, maka seharusnya sebelum mengajukan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan, Anda sebagai nasabah/konsumen dapat melakukan pengaduan ke bank syariah terlebih dahulu. Dalam hal ini bank syariah wajib untuk menerima dan mencatat setiap pengaduan yang diajukan oleh konsumen dan/atau perwakilan konsumen. Pengaduan dapat dilakukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana diatur pada Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 18/2018”) . Adapun prosedur pengaduan sampai penyelesaian pengaduan diatur dalam POJK 18/2018 tersebut. Jika konsumen dan/atau perwakilan konsumen menolak tanggapan pengaduan dari bank Syariah, maka bank Syariah wajib memberikan informasi kepada Konsumen dan/atau Perwakilan Konsumen mengenai upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. [4] Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). [5] Pengaduan ke OJK sangat dimungkinkan karena OJK membuka kesempatan bagi konsumen dan masyarakat yang mau menyampaikan permintaan informasi atau pengaduan ke OJK melalui beberapa sarana, yaitu : [6] Surat tertulis tersebut ditujukan kepada: Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Menara Radius Prawiro, Lantai 2 Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Telepon: 157 Jam operasional: Senin - Jumat, Jam 08.00 - 17.00 WIB (Kecuali Hari Libur) Email: Permintaan informasi dan pengaduan dapat disampaikan melalui email dengan alamat: [email protected] Form Pengaduan Online: Konsumen atau masyarakat dapat mengirimkan pengaduan melalui form elektronik yang tersedia pada alamat https://kontak157.ojk.go.id/appkpublicportal/Pengaduan Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anda dapat mempertimbangkan mana yang Anda pergunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 Tahun 2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan REFERENSI:\n1. Otoritas Jasa Keuangan , diakses pada 6 September 2021 pukul 14.13 WIB [1] Pasal 20 angka 4 KHES [2] Pasal 20 angka 17 KHES [3] Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama [4] Pasal 25 ayat (1) POJK 18/2018 [5] Pasal 25 ayat (2) POJK 18/2018 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 Tahun 2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan [6] Otoritas Jasa Keuangan , diakses pada 6 September 2021 pukul 14.13 WIB perbankan bank syariah syariah bank" }
{ "from": "human", "value": "Apakah advokat/pengacara boleh menolak klien untuk dibela? Dasar hukumnya apa? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (lihat pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat/”UU Advokat” ). KLINIK TERKAIT Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer) 27 Agt 2010 Lisensi Advokat untuk In House Lawyer 27 Agt 2010 Kantor Pengacara atas Nama Perorangan 25 Mei 2010 Apakah Advokat dan Notaris Tidak Bisa Dituntut Pidana? 04 Mei 2010 Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap sumpah/janji advokat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU Advokat . Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi: “ Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat (“KEAI”) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam kondisi-kondisi tertentu -- untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa: a. advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (lihat pasal 3 huruf a KEAI ); b. advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (lihat pasal 4 huruf g KEAI ); c. advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf j KEAI ). Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya (lihat pasal 3 huruf a KEAI ). Larangan yang sama juga diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Advokat . Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf i KEAI ). Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a, pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat 2. Kode Etik Advokat Indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Saya sedang menjalani kasus hukum yang sedang berjalan dan memakai jasa advokat. Di perjanjian awal saya harus membayar Rp50 juta untuk menggunakan jasanya. Pada panggilan pertama, advokat tersebut mendampingi saya. Saat itu, saya sudah membayar Rp25 juta tapi di tengah jalan saya belum mampu melunasi sisa pembayaran jasanya karena masalah keuangan. Namun advokat tersebut terkesan menelantarkan saya karena ketika saya ditetapkan jadi tersangka, beliau angkat tangan tidak ingin lagi berurusan dengan saya. Menurut saya, advokat ini agak aneh karena menawarkan kasus ditutup jika saya menyediakan uang Rp100 juta dan tidak memanggil saksi yang meringankan kasus saya. Pertanyaan saya, apakah yang dilakukan advokat tersebut sudah benar sesuai sumpah profesinya? Mengingat saya belum melunasi pembayaran jasa beliau." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian Advokat. Pasal 1 ayat (1) UU Advokat menyatakan:\n\nAdvokat adalah orang yang memberi jasa Hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPeran Jaksa dalam Proses Hukum Perdata dan Pidana07 Apr 2022Advokat Punya Hubungan Keluarga dengan Advokat Lawan, Bolehkah?17 Mar 2022Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya01 Mar 2022Kuasa Hukum Meninggal Dunia Saat Proses Perkara, Ini Cara Menunjuk yang Baru10 Jan 2022\n\nAdvokat merupakan salah satu pilar Penegak Hukum yang memiliki fungsi sebagai pihak ketiga yang dapat menjadi penengah dalam pencari keadilan bagi para kliennya.\nHonorarium Advokat\nAdapun mengenai ketentuan honorarium advokat, menurut Pasal 1 huruf f Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”), honorarium merupakan pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.\nSedangkan berdasarkan Pasal 21 UU Advokat\n\nAdvokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.\n\nSelain di dalam UU Advokat, Pasal 4 huruf d KEAI juga mengatur penetapan honorarium advokat, yaitu agar advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien dalam menentukan honorarium.\nSanksi Bagi Advokat yang Menelantarkan Klien\nSeorang advokat dalam menjalankan tugas dalam menegakkan keadilan sepatutnya memperhatikan hal-hal sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Huruf b KEAI yakni tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan.\n\nOleh karena itu, seorang advokat dalam melakukan tugasnya sudah seharusnya tidak hanya berorientasi kepada materi atau uang. Dalam kasus Anda, advokat diduga telah mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien. Hal ini dapat dikenai tindakan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 huruf a UU Advokat.\n\nAdvokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:\nmengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela; melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.\n\nAdapun, advokat yang melanggar ketentuan di atas akan diperiksa dan diadili oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (“DKOA”) sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (5) UU Advokat\n\nAdapun, tindakan atau sanksi bagi advokat yang menelantarkan klien yang dijatuhkan oleh DKOA menurut Pasal 7 ayat (1) UU Advokat, diantaranya:\n\nteguran lisan;teguran tertulis;pemberhentian sementara dari profesinya selama tiga sampai dua belas bulan;pemberhentian tetap dari profesinya.\n\nDalam hal ini, menurut Pasal 12 ayat (1) KEAI yang dapat melakukan pengaduan kepada DKOA atas tindakan advokat yang merugikan klien yaitu:\n\nKlien;Teman sejawat Advokat;Pejabat Pemerintah;Anggota Masyarakat;Dewan pimpinan pusat/cabang/daerah dari organisasi profesi tempat advokat tersebut menjadi anggota.\n\nLebih lengkapnya, menurut ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) KEAI:\n\nApabila seorang klien merasa dirugikan atas tindakan dari Advokat, maka ia dapat membuat pengaduan secara tertulis yang disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Daerah/Cabang di mana Advokat teradu terdaftar sebagai anggota atau kepada Dewan Pimpinan Nasional.\n\nUntuk mengadukan advokat atas tindakan yang merugikan seperti menelantarkan klien, hal yang perlu dilakukan yaitu memperhatikan syarat-syarat pengaduan yang diatur dalam aturan organisasi advokat yang bersangkutan. Contohnya, apabila advokat tersebut tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (“Peradi”), maka syarat-syarat pengaduan mengacu kepada Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Peradi 2/2007.\n\nBaca juga : Tips Memastikan Advokat itu Bukan ‘Abal-abal’\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, Semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13147/undangundang-nomor-18-tahun-2003?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2003)\n2. [Kode Etik Advokat Indonesia](Data Kepolisian /berita/a/kode-etik-advokat-indonesia-hol5755?page=1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=Kode_Etik_Advokat)\n3. [Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia](https://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/41)" }
{ "from": "human", "value": "Teman saya sudah bercerai melalui sidang perceraian, tanpa putusan mengenai hak asuh anak yang sejak awal memang tidak dimasukkan di dalam gugatan. Kedua belah pihak (teman saya dan mantan suaminya beserta kuasa hukumnya) sudah membuat surat perjanjian bahwa anak diasuh ibu (teman saya). Akan tetapi justru sekarang suami meminta hak asuh anak, disertai pengancaman. Karena teman saya dari keluarga kurang mampu, dia merasa khawatir dengan ancaman mantan suaminya tersebut (mantan suami mengancam akan menggugat hak asuh anak, dan kalau menang ibu anak tidak diperbolehkan ketemu). Karena takut teman saya mencari jasa pendampingan hukum ke sebuah LBH dan berkenalan dengan salah satu advokat. Advokat tersebut justru seperti memanfaatkan situasi. Ia mendekati teman saya dan sampai mengajak hubungan intim di luar pernikahan. Karena teman saya merasa tidak bisa membayar pengacara dan karena beberapa pernyataan si advokat dan menjamin bahwa dia bisa memenangkan hak asuhnya, teman saya justru mau mengikuti permainan si advokat tersebut. Pertanyaan saya, apakah yang dilakukan si advokat tersebut sudah termasuk dalam pelanggaran kode etik advokat?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Penerima Bantuan Hukum Mengingat advokat yang Anda singgung merupakah anggota dari sebuah Lembaga Bantuan Hukum (“LBH”), maka kami akan mengulas terlebih dahulu perihal bantuan hukum. Layanan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU 16/2011”) . Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. [1] Penerima bantuan hukum sendiri adalah orang atau kelompok orang miskin. [2] Penerima bantuan hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar yang dimaksud meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. [3] Sementara pemberi bantuan hukum adalah LBH atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU 16/2011. [4] Bantuan hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Dalam hal ini, bantuan hukum yang diberikan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. [5] Untuk itu, pemberi bantuan hukum berhak untuk melakukan rekrutmen terhadap advokat , paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. [6] Penerima bantuan hukum berhak: [7] mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa; mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, ia juga berkewajiban: [8] menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada pemberi bantuan hukum; membantu kelancaran pemberian bantuan hukum. Sejak semula, UU 16/2011 melarang penerima bantuan hukum dibebani dengan biaya tertentu. Pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani pemberi bantuan hukum. [9] Dengan demikian, menurut hemat kami, teman Anda sejak semula seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan masalah biaya ketika meminta bantuan hukum kepada LBH. Apalagi jika biaya tersebut dialihkan dalam bentuk permintaan berhubungan intim. Jika belakangan pemberi bantuan hukum terbukti menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani, ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp50 juta. [10] Baca juga: Syarat untuk Memperoleh Bantuan Hukum Masalah Etik Advokat Di sisi lain, advokat yang meminta kliennya melakukan hubungan intim di luar nikah sembari menjanjikan kemenangan atas hak asuh anak boleh jadi juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU 18/2003”) dan Kode Etik Advokat (“KEA”) . UU 18/2003 mengatur bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya. Selain itu, tindakan juga dapat dikenakan terhadap advokat yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela , serta melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat. [11] Masalah kehormatan advokat ditegaskan kembali dalam KEA, di mana advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat ( officium nobile ). [12] Selain itu, tindakan advokat yang menjaminkan kemenangan kepada klien juga bertentangan dengan kode etik. [13] Terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, advokat dapat dikenakan tindakan berupa: [14] teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; pemberhentian tetap dari profesinya. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Kode Etik Advokat [1] Pasal 1 angka 1 UU 16/2011 [2] Pasal 1 angka 2 UU 16/2011 [3] Pasal 5 UU 16/2011 [4] Pasal 1 angka 3 UU 16/2011 [5] Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU 16/2011 [6] Pasal 9 huruf a UU 16/2011 [7] Pasal 12 UU 16/2011 [8] Pasal 13 UU 16/2011 [9] Pasal 20 UU 16/2011 [10] Pasal 21 UU 16/2011 [11] Pasal 6 huruf d, e, dan f UU 18/2003 [12] Pasal 3 huruf g KEA [13] Pasal 4 huruf c KEA [14] Pasal 7 ayat (1) UU 18/2003 klien lawyer perkara hukumonline hubungan intim kode etik advokat lbh advokat hak asuh anak profesi hukum klinik hukum lembaga bantuan hukum klinik hukumonline perceraian pengacara pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah boleh kuasa penggugat dan kuasa tergugat dalam satu kasus masih satu keluarga? Mohon pencerahannya dan dasar hukumnya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITMengenal Hubungan serta Perbedaan LBH dan Advokat25 Des 2023Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya01 Mar 2022Haruskah Kreditur PKPU Pakai Jasa Pengacara?14 Feb 2022Cara Melaporkan Advokat yang Melanggar Kode Etik17 Nov 2021\n\nJika yang Anda maksud adalah hubungan keluarga yang dikhawatirkan adanya benturan kepentingan dalam suatu kasus, maka hal ini dalam praktik dikenal dengan nama hak ingkar. Sebelumnya, Anda perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan hak ingkar. Disarikan dari Mengenal Hak Ingkar dalam Hukum Indonesia, dalam beracara di lembaga arbitrase, advokat dapat menggunakan hak ingkar karena meragukan independensi satu orang atau seluruh anggota majelis arbiter.\nRangin Prabowo dalam bukunya Pengantar Hukum Arbitrase Indonesia, mendefinisikan hak ingkar adalah hak yang melekat pada para pihak untuk mengajukan tuntutan ingkar atau pengingkaran untuk mengganti arbiter yang dipandang tak dapat menjalankan tugasnya dengan baik akibat adanya benturan kepentingan.\nHak ingkar dalam konteks arbitrase dimuat dalam Pasal 22 sampai dengan 26 UU 30/1999. Hak ingkar dapat diajukan jika memang terdapat cukup bukti otentik terkait keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.[1] Indikasi yang bisa dijadikan alasan keberpihakan dalam penggunaan hak ingkar ini bisa saja karena arbiter tersebut ternyata diketahui memiliki hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.[2]\n\nBahkan untuk hubungan keluarga, Pasal 12 ayat (1) huruf c UU 30/1999 telah jelas mengatur syarat yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah tidak boleh memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.\nJika Advokat Punya Hubungan Keluarga dengan Advokat Pihak Lawan\nNamun demikian, menjawab pertanyaan Anda, mengenai boleh atau tidaknya antara kuasa hukum (advokat) penggugat dan kuasa hukum tergugat memiliki hubungan keluarga, sepanjang penelusuran kami, tidak ada satu pasal pun yang melarangnya, baik dalam UU Advokat maupun Kode Etik Advokat Indonesia.\n\nAkan tetapi, jika penggugat atau tergugat menemukan suatu indikasi pemufakatan dan/atau kesepakatan antara kedua advokat untuk membocorkan rahasia klien yang tentunya membawa kerugian pada si klien, dalam hal ini misalnya pelanggaran atas Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia:\n\nAdvokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.\n\nAtau mengenai menjaga rahasia klien juga dapat Anda temukan dalam Pasal 19 ayat (1) UU Advokat:\n\nAdvokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.\n\nMaka, klien yang dirugikan dapat mengadukannya ke Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, Dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat di mana advokat menjadi anggota.[3]\n\nSelengkapnya, mengenai cara melaporkan advokat yang bersangkutan dapat Anda simak dalam Cara Melaporkan Advokat yang Melanggar Kode Etik.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/815/undangundang-nomor-30-tahun-1999-?r=1&q=undang-undang%20nomor%2030%20tahun%201999&rs=1847&re=2021)\n2. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13147/node/303/uu-no-18-tahun-2003-advokat)\nREFERENSI:\n1. Rangin Prabowo. Pengantar Hukum Arbitrase Indonesia. Bandung: CV Svatantra, 2019\n2. Kode Etik Advokat Indonesia, yang diakses pada 17 Maret 2022, pukul 14.00 WIB.\n\n[1] Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”)[2] Pasal 22 ayat (2) UU 30/1999[3] Pasal 12 ayat (1) Kode Etik Advokat Indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Selamat pagi. Berikut ini kami ingin tanyakan; 1. Apakah seorang advokat bisa bekerja sebagai personalia di suatu perusahaan? 2. Hari kerjanya hanya 2 hari dalam seminggu, apakah tidak melanggar ketentuan pderaturan perundang-undangan? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Pada prinsipnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dan Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) tidak melarang secara tegas bagi Advokat untuk bekerja atau menduduki jabatan lain. Lebih khusus lagi sebagai personalia suatu perusahaan. KLINIK TERKAIT Batas Waktu Kerja Lembur 08 Jun 2023 Larangan TKA Menduduki Jabatan Direktur Personalia 19 Jul 2018 Naik Haji Gaji Dipotong, Pantaskah? 29 Apr 2016 Sanksi Pidana dalam UU 13/2003 01 Jun 2010 Selain itu, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) juga tidak melarang secara tegas bagi seorang advokat untuk duduk sebagai personalia suatu perusahaan. Pasal 46 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan hanya  tenaga kerja asing yang dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia. Dari dua peraturan perundang-undangan di atas (UU Advokat dan UU Ketenagakerjaan) terlihat bahwa tak ada ketentuan yang nyata-nyata melarang advokat bekerja sebagai personalia di suatu perusahaan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun demikian, UU Advokat dan KEAI menegaskan bahwa seorang Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat. Demikian setidaknya yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU Advokat serta Pasal 3 huruf f KEAI . Pasal 20 UU Advokat (1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. (2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Pasal 3 huruf f KEAI Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat. Sayangnya, tak ada penjelasan lebih detil mengenai apa yang dimaksud atau dikategorikan sebagai ‘ pekerjaan atau jabatan lain yang bertentangan atau dapat merugikan kepentingan tugas, derajat dan martabat advokat .’ Tapi, jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang menegaskan bahwa Advokat juga berstatus sebagai penegak hukum, maka dapat disimpulkan bahwa  ‘pekerjaan atau jabatan lain’ dimaksud adalah pekerjaan atau jabatan yang tidak bertentangan dengan status sebagai penegak hukum. Artinya, Advokat dapat dibenarkan bekerja sebagai personalia sepanjang yang ia lakukan dalam konteks menegakkan hukum di suatu perusahaan. Bukan sebaliknya. 2. Soal jam kerja bagi advokat bersangkutan yang hanya dua hari dalam seminggu, menurut hemat kami tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Sepanjang hal itu berdasarkan kesepakatan kedua pihak, Advokat sebagai pekerja dan pihak perusahaan. Memang benar UU Ketenagakerjaan khususnya Pasal 77 sudah mengatur soal waktu kerja selama 40 jam dalam seminggu. Namun hal itu dapat disimpangi sepanjang lebih menguntungkan pekerja dan disepakati kedua pihak. Seperti diketahui, dalam hukum ketenagakerjaan dikenal istilah kaidah heteronom dan kaidah otonom. Kaidah heteronom tersebar dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah. Sedangkan, kaidah otonom terdapat pada perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Kaidah otonom dapat dibuat menyimpangi ketentuan kaidah heteronom sepanjang lebih menguntungkan pekerja, baik secara kuantitas maupun kualitas (lihat Penjelasan Pasal 54 ayat (2), Pasal 111 ayat (2), dan Pasal 124 ayat (2) UU Ketenagakerjaan ). Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah salah satu karyawan di kantor advokat terkenal di Jakarta Selatan. Saya sudah 5 bulan bekerja di kantor tersebut, tapi gaji saya belum juga dibayarkan oleh kantor. Selama ini saya hanya diberi uang makan sebesar Rp25 ribu per hari. Kantor advokat tersebut tidak profesional dalam urusan sehari-hari. Saya selama ini tidak mendapatkan hak saya sebagaimana mestinya seperti: kontrak kerja, imbalan atas jasa, jadwal kerja, dan jamsostek. Saya sudah mengundurkan diri dari kantor tersebut. Tapi sampai sekarang gaji saya belum juga dibayarkan. Bagaimana cara melaporkan advokat tersebut? Pasal berapa yang dapat menjadi dasar saya untuk melaporkan advokat tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul Jika Advokat Tidak Membayar Upah Karyawannya yang dibuat pertama kali oleh Ilman Hadi, S.H. dan dipublikasikan pada Jumat, 15 Juni 2012, kemudian dimutakhirkan pertama kalinya pada Kamis, 20 April 2017 dan kedua kalinya pada Kamis, 4 Februari 2021. Perjanjian Kerja Sebelumnya, Anda bisa menilik kembali perjanjian kerja yang sudah disepakati. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak [1] yang dibuat secara tertulis atau lisan. [2] Khusus untuk pekerja dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) harus dibuat secara tertulis. [3] Sedangkan jika Anda dipekerjakan secara tetap/permanen, berarti Anda melakukan pekerjaan berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). Dalam hal ini, jika PKWTT dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. [4] Waktu Kerja Mengutip artikel Karena Advokat Juga Manusia , pada sebagian besar advokat di Indonesia, senior ataupun junior memang melekat stigma bekerja tak kenal waktu. Pantang pulang sebelum pekerjaan rampung. Sedangkan secara umum berdasarkan aturan yang berlaku, ada 2 pola ketentuan jam kerja di suatu perusahaan, yakni: [5] pola 6:1, atau 6 hari kerja dan 1 hari istirahat mingguan, dengan ketentuan 7 jam per hari dan 40 jam per minggu; atau pola 5:2, atau 5 hari kerja dan 2 hari istirahat mingguan, dengan ketentuan 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja di atas wajib membayar upah kerja lembur. [6] Namun, ketentuan waktu kerja yang kami jelaskan di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. [7] Sanksi Pengusaha Tidak Membayar Gaji Hak pekerja atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. [8] Jadi, pekerja yang dipekerjakan berdasarkan perjanjian kerja baik lisan maupun tertulis berhak atas upah . Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja, [9] yaitu sebagai berikut: [10] mulai dari hari ke-4 sampai hari ke-8 terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan; sesudah hari ke-8, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditambah 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1  bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dan sesudah sebulan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga tertinggi yang berlaku pada bank pemerintah. Penting untuk dicatat bahwa pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada pekerja/buruh. [11] Di sisi lain, jika pengusaha tidak membayar gaji , maka ia dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. [12] Baca juga: Hak Pekerja yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri . Peserta BPJS Kemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai jamsostek, pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”) sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS. [13] Maka meskipun kewajiban mendaftarkan ada di tangan pemberi kerja, namun Anda selaku pekerja juga berhak mendaftarkan diri atas tanggungan kantor tempat Anda bekerja jika kantor Anda telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS . Selain itu, perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta ke BPJS dikenakan sanksi administratif, [14] berupa: [15] teguran tertulis, yang dilakukan oleh BPJS; denda, yang dilakukan oleh BPJS; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Langkah Hukum Perlu Anda ketahui, perselisihan yang timbul akibat tidak dipenuhinya hak-hak Anda dalam peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) . Adapun tahapan penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Pertama-tama, perselisihan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. [16] Bila musyawarah gagal, perselisihan tersebut kemudian dicatatkan ke instansi ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. [17] Selanjutnya dilakukan mediasi yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. [18] Apabila mediasi berhasil, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. [19] Jika tidak tercapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi. [20] Apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka dapat dilanjutkan dengan gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial. [21] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015 . [1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 81 angka 21 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 81 angka 22 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 78 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 81 angka 21 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (1) UU Ketenagakerjaan [9] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (6) UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 61 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) [11] Pasal 61 ayat (2) PP Pengupahan [12] Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [13] Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 hal. 22 [14] Pasal 17 ayat (1) UU BPJS dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial (“PP 86/2013”) [15] Pasal 17 ayat (2), (3), (4) UU BPJS dan Pasal 5 ayat (2) PP 86/2013 [16] Pasal 3 UU PPHI [17] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI [18] Angka 6 Penjelasan Umum dan Pasal 1 angka 11 UU PPHI [19] Pasal 13 ayat (1) UU PPHI [20] Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015 hal. 22-23 [21] Pasal 14 ayat (1) UU PPHI hukumonline pekerja ketenagakerjaan klinik hukumonline kantor advokat hukum klinik hubungan industrial gaji upah sanksi administrasi perselisihan hubungan industrial" }
{ "from": "human", "value": "Apakah hak asasi laki-laki itu ada? Karena laki-laki juga manusia. Mengapa hanya wanita yang dikhususkan? Apakah perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan? Apakah ada?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Secara prinsip tidak ada perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan, sebab tujuan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak asasinya sebagai manusia. Kalaupun ada perbedaan (secara teknis) perlakuan bagi perempuan dibanding laki-laki, itu semata agar terciptanya kesetaraan, persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang berbeda tersebut disebut sebagai affirmative action (diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili. Tindakan afirmatif ini tujuannya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan . Hal tersebut secara hukumpun telah diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain itu dibenarkan untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran UU 7/1984 yang berbunyi: Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-Negara Pihak yang bertujuan mempercepat kesetaraan ‘de facto’ antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi dalam cara apapun tidak dapat dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar-standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini harus dihentikan apabila tujuan kesetaraan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-Negara Pihak, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminatif . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hakikat Hak Asasi Manusia Di dalam literatur hukum maupun hak asasi manusia, saya tidak pernah menemukan isitilah hak asasi laki-laki. Yang ada hanya istilah hak asasi manusia. Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) , dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia .” Dalam konsideran poin b UU HAM dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas hak asasi manusia itu merupakan hak dasar dan merupakan anugerah Tuhan karena kita manusia . Sehingga sebagai laki-laki, hak asasi Anda juga sudah terakomodasi juga di dalam hak asasi manusia. Soal pertanyaan Anda mengapa hanya wanita yang dikhususkan, Anda tidak memberikan contoh atau pejelasan apa yang Anda maksud dengan mengkhususkan wanita. Namun saya asumsikan bentuk mengkhususkan wanita itu dengan diratifikasi atau diundangkannya beberapa aturan/undang-undang yang khusus mengatur soal perempuan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (“UU 7/1984”) , Undang-Undang Nomor 68 tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita , dan sebagainya. Memang telah ada beberapa aturan yang dibuat atau diratifikasi pemerintah Indonesia yang khusus mengatur tentang perempuan. Namun perlu dipahami aturan-aturan tersebut diratifikasi/diundangkan dilatarbelakangi oleh fakta perlakuan yang sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan pada masa lalu, di mana kaum perempuan tidak diperkenankan untuk mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Selain itu, pada masa lalu perempuan dianggap sebagai makhluk yang sangat rendah sehingga kaum laki-laki dapat bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Di antaranya bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, semua yang akan dilakukan seorang perempuan harus berdasarkan izin suami (jika sudah menikah) atau orang tuanya (bila belum menikah). [1] Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia, terutama tanah Jawa saja, melainkan terjadi pula di berbagai negara di dunia, sehingga lahirlah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 7/1984. Selain dalam UU HAM, pengaturan terhadap perlindungan hak perempuan yang lebih rinci tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga [2] , dan yang baru-baru ini terbit adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum , dan lain sebagainya. Dengan diundangkannya UU HAM, maka hak-hak perempuan semakin dipertegas, yaitu berhak mendapat hak dan/atau kesempatan yang sama seperti laki-laki. Asas yang sangat mendasari hak asasi bagi perempuan di antaranya hak perspektif gender dan anti diskriminasi. [3] Dengan kata lain, kaum perempuan punya kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki untuk mengembangkan dirinya, seperti dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hak politik, kedudukan dalam hukum, kewarganegaraan, hak dan kewajiban dalam perkawinan. Soal apakah perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan, secara prinsip tidak ada perbedaan, sebab tujuan diundangkannya UU HAM agar setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak asasinya sebagai manusia. Kalaupun ada perbedaan (secara teknis) perlakuan bagi perempuan dibanding laki-laki, itu semata agar terciptanya kesetaraan, persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang berbeda tersebut disebut sebagai affirmative action (diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili. [4] Misalnya, jika seorang laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk perkerjaan yang sama, tindakan afirmatif dapat dilakukan dengan mengizinkan perempuan untuk diterima hanya dengan alasan karena lebih banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaan tersebut daripada perempuan. Juga misalnya harus ada jumlah minimum keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat. Tindakan afirmatif ini secara teknis memang menimbulkan diskriminasi, namun hal tersebut tidak boleh dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi karena tujuannya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan. Hal tersebut secara hukumpun telah diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain itu, tindakan afirmatif ini juga terdapat dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (2) dan (3) UU HAM yang berbunyi: Pasal 41 ayat (2) UU HAM: Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus . Pasal 49 ayat (2) dan (3) UU HAM: Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran UU 7/1984 yang berbunyi: Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-Negara Pihak yang bertujuan mempercepat kesetaraan ‘de facto’ antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi dalam cara apapun tidak dapat dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar-standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini harus dihentikan apabila tujuan kesetaraan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-Negara Pihak, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminatif . Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan tidak ada hak asasi laki-laki, yang ada menurut peraturan perundang-undangan adalah Hak Asasi Manusia yang di dalamnya mengatur hak-hak asasi setiap manusia. Adapun perbedaan perlakuan khusus terhadap perempuan dimungkinkan untuk dilakukan oleh negera selama dalam rangka upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 68 tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Referensi : Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia , Pusham UII, (Yogyakarta: 2008) [1] Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia , Pusham UII, (Yogyakarta: 2008), hal. 270. [2] Ibid [3] Pasal 1 angka 3 UU HAM: “ Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. [4] Rhona K.M Smith, hal. 39. perempuan hukumonline google ham keadilan uu ham pelanggaran ham tata negara hukum klinik hak asasi manusia klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud affirmative action itu? Mengapa affirmative action jadi sering dibicarakan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Pemilu Legislatif?" }
{ "from": "gpt", "value": "Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama . Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Dalam konteks politik, tindakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) telah mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan. Selain itu, UU Pemilu Legislatif juga mengenal sistem zipper agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini mewajibkan dalam setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomor 'jadi', bukan di nomor buntut. Hal mana tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu Legislatif. Isu tindakan afirmatif kembali menjadi pembicaraan hangat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pemilu Legislatif. Pasal 214 huruf a sampai e dalam UU Pemilu Legislatif soal penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak. Putusan ini dianggap menafikan tindakan afirmatif bagi perempuan. Penilaian itu tercermin misalnya dalam pendapat berbeda ( dissenting opinion ) Hakim Konstitusi Maria Farida dalam putusan di atas. Menurutnya, majelis MK seharusnya tidak mengabulkan permohonan seputar sistem nomor urut. Karena sistem suara terbanyak sangat merugikan perempuan dan tindakan afirmatif dianggap sia-sia. Sementara itu, sebagian kalangan berpendapat penerapan tindakan afirmatif justru mendiskriminasikan kaum perempuan. Ketua Divisi Hukum dan HAM Partai Penegak Demokrasi Indonesia D Parlindungan Sitorus misalnya berpendapat bahwa kaum perempuan seharusnya diberi kebebasan untuk berpolitik tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Menurutnya, kesadaran berpolitik kaum perempuan saat ini sudah cukup tinggi dan bahkan banyak yang sudah mempunyai kemampuan berpolitik lebih dari kaum laki-laki." }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin melakukan usaha makelar/broker properti seperti rumah, apartemen dan lain-lain. Adakah ketentuan yang harus saya ikuti agar usaha saya sesuai dengan prinsip syariah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Makelar dalam Hukum Positif KLINIK TERKAIT Wajibkah Memberikan Komisi kepada Broker Properti? 09 Sep 2021 Intip! Ini Besaran Komisi Makelar Properti 29 Apr 2021 Kredit Pemilikan Rumah, Apakah Termasuk Riba? 09 Jun 2020 Bantuan Pemilikan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah 18 Feb 2020 Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dimaknai terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan makelar. Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) menjelaskan sebagai berikut: Pekerjaan makelar terdiri dari mengadakan pembelian dan penjualan untuk majikannya atas barang-barang dagangan, kapal-kapal, saham-saham dalam dana umum dan efek lainnya dan obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan surat-surat dagang lainnya, menyelenggarakan diskonto, asuransi, perkreditan dengan jaminan kapal dan pemuatan kapal, perutangan uang dan lain sebagainya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada prinsipnya, makelar mempunyai hak untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai perintah dari penjual. Hak yang dimaksud dapat diperoleh dari pemberian kuasa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 KUHD berikut: Perbuatan-perbuatan para pedagang perantara yang tidak diangkat dengan cara demikian tidak mempunyai akibat yang lebih jauh daripada apa yang ditimbulkan dari perjanjian pemberian amanat. Setelah mendapatkan hak tersebut, makelar dan pihak penjual dapat membuat perjanjian mengenai fee /honorarium atas jasa makelar. Sebab pada dasarnya, seorang makelar dalam menjalankan pekerjaannya mendapat upah ataupun provisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 KUHD : Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu , atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang dimaksud makelar adalah perantara perdagangan antara pembeli dan penjual atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli. [1] Agar Bisnis Makelar Sesuai Syariah Menjawab pertanyaan Anda tentang adakah ketentuan yang harus diikuti agar usaha Anda sebagai makelar sesuai dengan prinsip syariah, maka merujuk pendapat dari Asyraf Muhammad dalam bukunya Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah, bahwa setiap pelaku ekonomi harus mengetahui hukum-hukum syara’ , yang terkait dalam muamalah dalam aspek finansial, agar dia dapat melakukan perbuatan yang halal, menjauhi perbuatan yang haram dan bebas dari segala hal yang tidak jelas halal dan haramnya ( subhat ) (hal. 4). Di samping itu, agar usaha Anda sebagai makelar sesuai dengan syariah dan membawa berkah, maka Anda harus mempelajari dan mengamalkan ketentuan tentang akad-akad yang melandasi hubungan hukum para pihak. Sebagai contoh, untuk jual beli ( bai’ ) maka akad jual beli yang sesuai dengan syariah adalah yang memenuhi rukun dan syarat akad jual beli. Ketentuan yang dapat Anda pakai sebagai dasar adalah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (“KHES”) . Pada Pasal 22 KHES diatur tentang rukun akad yang terdiri atas: pihak-pihak yang berakad; objek akad; tujuan pokok akad; dan Adapun syarat pihak-pihak yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tamyiz. Sedangkan objek akad adalah benda atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Objek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan. Dalam Pasal 76 KHES dijelaskan tentang syarat objek yang diperjualbelikan, yaitu: barang yang dijualbelikan harus sudah ada; barang yang dijualbelikan harus dapat diserahkan; barang yang dijualbelikan harus berupa barang yang memiliki nilai/harga tertentu; barang yang dijualbelikan harus halal; barang yang dijualbelikan harus diketahui oleh pembeli; kekhususan barang yang dijualbelikan harus diketahui; penunjukkan dianggap memenuhi syarat kekhususan barang yang dijualbelikan apabila barang itu ada di tempat jual beli; sifat barang yang dapat diketahui secara langsung oleh pembeli tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut; barang yang dijual harus ditentukan secara pasti pada waktu akad. Kemudian, tujuan akad adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Ijab qabul/sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau perbuatan. Bilamana akad jual beli memenuhi rukun dan syarat-syarat tersebut, maka akad tersebut merupakan akad yang sah. Pasal 44 KHES menegaskan bahwa semua akad yang dibuat secara sah berlaku sebagai nash syari’ah bagi mereka yang mengadakan akad . Selain ketentuan akad secara umum yang telah kami jelaskan di atas, Anda juga dapat merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 93/DSN-MUI/IV/2014 tentang Keperantaraan ( Wasathah ) dalam Bisnis Properti (“Fatwa DSN-MUI 93/2014”). Intinya, dalam fatwa tersbut dijelaskan bahwa keperantaraan ( wasathah ) dalam bisnis properti boleh dijalankan dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI 93/2014. [2] Dalam hal ini, perantara/makelar ( wasith ) harus melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi dasar diterimanya upah ( ujrah ), dan pihak perantara/makelar harus memiliki pengetahuan yang cukup (memadai) tentang harga barang yang akan dijual. [3] Selain itu, keperantaraan dalam bisnis properti juga bisa dilakukan dengan atau tanpa melibatkan lembaga keuangan syariah yang masing-masing ketentuannya juga sudah dijelaskan dalam Fatwa DSN-MUI 93/2014. Terakhir, mengutip pendapat dari Muhammad Syafii Antonio bahwa dalam melakukan kegiatan usaha tidak hanya mengejar keuntungan semata ( profit oriented ) tetapi juga falah oriented , yaitu mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat. [4] Maka, setiap perbuatan dalam kegiatan muamalah tidak akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan bahwa manusia tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat, diri sendiri, dan kepada pihak-pihak dalam akad, tetapi juga bertanggung jawab pada Allah SWT karena setiap perbuatan yang dilakukan baik atau buruk akan mendapat balasan dari Allah SWT. [5] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 93/DSN-MUI/IV/2014 tentang Keperantaraan (Wasathah) dalam Bisnis Properti REFERENSI:\n1. Asyraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah , (Pustaka Nun: Semarang), 2008\n2. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Balai Pustaka: Jakarta), 2005\n3. Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia , (Kencana: Jakarta), 2005\n4. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, ( Gema Insani: Jakarta), 2001. [1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Balai Pustaka: Jakarta), 2005, hal. 702 [2] Diktum Kedua Fatwa DSN-MUI 93/2014 [3] Diktum Ketiga angka 4 dan 5 Fatwa DSN-MUI 93/2014 [4] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, ( Gema Insani: Jakarta), 2001, hal. 29 [5] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia , (Kencana: Jakarta), 2005, hal.31 hukumonline perdata agama klinik hukumonline perdagangan" }
{ "from": "human", "value": "Setelah saya membaca sejumlah referensi, ternyata penyalahgunaaan wewenang oleh pejabat juga bisa dipidana. Lalu bagaimana kalau yang bersangkutan melakukan diskresi? Bukankah kalau ada ancaman pidana pejabat menjadi takut ketika akan melakukan diskresi? Padahal tujuan diskresi sendiri baik." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima Kasih atas pertanyaan Anda. Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Diskresi Pengertian diskresi di atur dalam Pasal 175 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) , yang menyatakan sebagai berikut: Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan . Karena diskresi dilaksanakan dalam bentuk keputusan dan/atau tindakan, ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan juga berlaku dalam pelaksanaan diskresi, yaitu sebagai berikut: Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Selain itu, diskresi juga hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan [1] yang berwenang dengan tujuan: [2] melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dalam pelaksanaan diskresi, pejabat pemerintahan harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: [3] sesuai dengan tujuan diskresi; sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik. Keterkaitan antara Diskresi dan Penyalahgunaan Wewenang Unsur penyalahgunaan wewenang dalam ranah pidana sebagaimana yang Anda singgung dalam pertanyaan dapat dirujuk salah satunya kepada ketentuan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Pemberantasan Tipikor ”) jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116-117) yang mengatur ketentuan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Adapun yang dalam menentukan apakah seorang perjabat telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal di atas, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 2349 K/PID.SUS/2012 (hal. 46) menjelaskan bahwa cara mengukurnya adalah dengan menilai apakah tindakan pejabat tersebut telah menyimpang dari maksud dan tujuan pemberian wewenang tersebut , apabila menyimpang perbuatan tersebut dikualifikasi sebagai penyalahgunaan wewenang ( Detournement de Pouvoir ). Kualifikasi penyalahgunaan wewenang tersebut berkaitan erat dan selaras dengan syarat-syarat pelaksanaan diskresi yaitu di antaranya iktikad baik , tidak menimbulkan konflik kepentingan , dan sesuai dengan AUPB yakni asas kepentingan umum [4] dan asas ketidakberpihakan . [5] Dengan kata lain, jika diskresi telah dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat di atas, hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang berdasarkan kualifikasi dalam putusan Mahkamah Agung yang kami sebutkan sebelumnya, karena diskresi yang dilakukan dengan iktikad baik dan untuk kepentingan umum seharusnya sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian wewenang yang diberikan. Oleh karenanya, menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya pejabat pemerintahan dapat tetap melaksanakan diskresi tanpa dipidana karena menyalahgunakan wewenang asalkan diskresi tersebut dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Terima kasih. Dasar Hukum : Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 2349 K/PID.SUS/2012 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 . [1] Pasal 22 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan [2] Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan [3] Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan [4] Pasal 10 ayat (1) huruf g UU Administrasi Pemerintahan [5] Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Administrasi Pemerintahan lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Apakah suatu gambar yang di-copy dari internet dan dimodifikasi merupakan bentuk pelanggaran hak cipta? Mohon penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Lucky Setiawati, S.H. dari Globomark dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 8 Januari 2014. Hak Cipta atas Gambar Gambar merupakan bentuk karya seni rupa yang sekaligus merupakan ciptaan yang dilindungi menurut Pasal 40 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) . Gambar yang dimaksud antara lain motif, diagram, sketsa, logo, unsur-unsur warna dan bentuk huruf indah. [1] Perlindungan hak cipta atas ciptaan gambar berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. [2] Sedangkan yang dimaksud dengan pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. [3] Jadi dapat disimpulkan bahwa gambar merupakan ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta, yaitu hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. [4] Sanksi Pidana Modifikasi Gambar Tanpa Izin Pada dasarnya, hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. [5] Aturan mengenai hak moral adalah sebagai berikut: [6] tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan , atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Patut Anda ketahui, hak moral pencipta khususnya terkait modifikasi ciptaan berlaku tanpa batas waktu. [7] Pencipta atau pemegang hak cipta pun memiliki hak ekonomi untuk: [8] penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. [9] Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan. [10] Merujuk pada pertanyaan Anda mengenai kegiatan meng- copy dan memodifikasi gambar ciptaan orang lain tanpa izin apabila dilakukan dengan tujuan komersial , sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Menjual Kaos dengan Logo Perguruan Tinggi Hasil Editan , maka bisa dianggap melanggar hak cipta . Ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 113 UUHC , yang selengkapnya berbunyi: Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana dendapaling banyak Rp4 miliar. Selain itu, pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta atau produk hak terkait. [11] Perbuatan yang Bukan Pelanggaran Hak Cipta Namun patut Anda catat, penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan : [12] pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Kemudian terdapat pula perbuatan-perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta , meliputi: [13] pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada ciptaan tersebut, atau ketika terhadap ciptaan tersebut dilakukan pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan; pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut. penggandaan, pengumuman, dan/atau pendistribusian potret presiden, wakil presiden, mantan presiden, mantan wakil presiden, pahlawan nasional, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, jika perbuatan meng- copy dan memodifikasi gambar itu termasuk ke dalam perbuatan yang dikecualikan sebagai pelanggaran hak cipta, maka Anda tidak melanggar hak cipta pencipta menurut UUHC. Tips Menghindari Pelanggaran Hak Cipta Gambar di Internet Menambahkan sebuah foto dalam sebuah tulisan tentu akan membuat sebuah tulisan lebih menarik dibaca, karena tulisan tersebut dapat terasa membosankan jika tanpa foto, misalnya sebuah artikel fashion tanpa foto-foto yang berkaitan dengan isi tulisan. Namun, bagi pengguna gambar atau bagi Anda yang menjalankan profesi-profesi tertentu di mana kebutuhan gambar cukup tinggi sebaiknya berhati-hati mengambil gambar pihak lain, termasuk di internet. Hak cipta tidak selalu didaftarkan atau disebutkan pada sebuah gambar oleh pemiliknya. Tidak ada kewajiban bagi pemilik hak cipta untuk kedua hal tersebut, namun perlindungan hak cipta tetap melekat pada ciptaannya. Karenanya, pada saat Anda ragu mengenai hak cipta atas gambar, Anda bisa selalu berasumsi bahwa sebuah gambar dilindungi hak cipta dan berusaha mendapatkan izin penggunaan dengan benar. Pola pikir demikian merupakan pilihan sikap yang bijak. Sebelum menggunakan sebuah gambar yang bukan milik Anda, usahakan untuk terlebih dahulu selalu mencari informasi tentang sumber gambar yang bersangkutan dan mengetahui apakah pemilik gambar (baik langsung atau melalui penyedia gambar yang telah ditunjuknya secara resmi) menyediakan lisensi/izin kepada orang lain baik dengan berbayar, nonberbayar (gambar-gambar yang merupakan public domain ) atau melalui lisensi creative commons (memberi izin pakai dengan kondisi-kondisi tertentu). Agar terbebas dari ketidaknyamanan yang mungkin timbul di kemudian hari akibat tuntutan hukum, kami menyarankan Anda untuk mengikuti syarat dan ketentuan yang digariskan pemilik/penyedia gambar sebelum gambar dipilih dan digunakan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf f UUHC [2] Pasal 58 ayat (1) huruf f UUHC [3] Pasal 1 angka 2 UUHC [4] Pasal 1 angka 1 UUHC [5] Pasal 4 UUHC [6] Pasal 5 ayat (1) UUHC [7] Pasal 57 ayat (1) UUHC [8] Pasal 9 ayat (1) UUHC [9] Pasal 9 ayat (2) UUHC [10] Pasal 9 ayat (3) UUHC [11] Pasal 99 ayat (1) UUHC [12] Pasal 44 ayat (1) UUHC [13] Pasal 43 UUHC hak cipta hukumonline kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada peraturan yang mengatur secara detail tentang ukuran bentuk dan sebagainya plat nomor kendaraan? Plat seperti apa yang bisa kena tilang?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Sepanjang penelusuran kami, tidak ada yang secara rinci memberikan spesifikasi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“TNKB”). Dalam Perkapolri 5/2012, hanya disebutkan bahwa TNKB dibuat dari bahan yang mempunyai unsur-unsur pengaman sesuai spesifikasi teknis . Unsur-unsur pengaman TNKB yaitu berupa logo lantas dan pengaman lain yang berfungsi sebagai penjamin legalitas TNKB . Selain itu, dalam Perkapolri 5/20120 juga disebutkan mengenai warna TNKB. Akan tetapi, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi yang sekarang sudah dicabut dan tidak berlaku, pernah diatur secara rinci mengenai spesifikasi TNKB. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Jawaban: Pengaturan m engenai TNKB, dapat dilihat ketentuannya dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) beserta peraturan pelaksananya. Antara lain Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP Kendaraan”) , Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”) , dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor (“Perkapolri 5/2012”). KLINIK TERKAIT Nekat Pakai Pelat Nomor Palsu Bisa Dijerat Pidana Ini 09 Mar 2023 Apakah Mengubah Warna Termasuk Modifikasi Kendaraan Bermotor? 10 Des 2015 Tidak Memasang Pelat Nomor di Bagian Depan Kendaraan 06 Mei 2015 Siapa yang Menindak Bila Polantas Melanggar Lalu Lintas? 18 Feb 2014 TNKB adalah tanda regi strasi dan i dent ifikasi kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian kendaraan bermotor berupa pelat atau berbahan lain dengan spefikasi tertentu yang diterbitkan Polri dan berisikan kode wilayah, nomor registrasi, serta masa berlaku dan dipasang pada kendaraan bermotor. [1] Dalam UU LLAJ hanya disebutkan bahwa TNKB harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan. [2] Namun UU LLAJ tidak menjelaskan lebih lanjut seperti apa bentuk, ukuran dan bahan, warna dan cara pemasangan TNKB tersebut. Pemasangan TNKB Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jika melihat pada PP Kendaraan, juga tidak ada ketentuan yang mengatur spesifikasi TNKB. Yang diatur d alam PP Kendaraan antara lain hanya : 1. lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor di bagian belakang Kendaraan berwarna putih. [3] 2. Lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor dipasang di bagian belakang dan dapat menyinari tanda nomor Kendaraan Bermotor agar dapat dibaca pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari belakang. [4] 3. Tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi persyaratan: [5] a. ditempatkan pada sisi bagian depan dan belakang Kendaraan Bermotor; dan b. dilengkapi lampu tanda nomor Kendaraan Bermotor pada sisi bagian belakang Kendaraan Bermotor. PP 80/2012 juga hanya menyebutkan pemeriksaan TNKB terdiri atas pemeriksaan spesifikasi teknis tanda nomor kendaraan, masa berlaku, dan keaslian [6] , tanpa menerangkan lebih lanjut spesifikasi yang dimaksud. Sedangkan jika kita merujuk pada Perkapolri 5/2012, hanya disebutkan bahwa TNKB dibuat dari bahan yang mempunyai unsur-unsur pengaman sesuai spesifikasi teknis . Unsur-unsur pengaman TNKB yaitu berupa logo lantas dan pengaman lain yang berfungsi sebagai penjamin legalitas TNKB . [7] Warna TNKB Selain itu, dalam Perkapolri 5/2012 juga disebutkan mengenai warna TNKB , yaitu sebagai berikut: [8] a. dasar hitam, tulisan putih untuk Ranmor perseorangan dan Ranmor sewa; b. dasar kuning, tulisan hitam untuk Ranmor umum; c. dasar merah, tulisan putih untuk Ranmor dinas Pemerintah; d. dasar putih, tulisan biru untuk Ranmor Korps Diplomatik negara asing; dan e. dasar hijau, tulisan hitam untuk Ranmor di kawasan perdagangan bebas atau (Free Trade Zone) yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, bahwa Ranmor tidak boleh dioperasionalkan/dimutasikan ke wilayah Indonesia lainnya. Kemudian disebutkan bahwa TNKB yang tidak dikeluarkan oleh Korlantas Polri, dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku . [9] Aturan Lama Akan tetapi, masalah TNKB ini dulu pernah diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (“PP 44/1993”). PP ini sekarang sudah dicabut dan tidak berlaku dengan adanya PP Kendaraan. Dalam PP 44/1993 dahulu diatur sebagai berikut: [10] Bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan tanda nomor kendaraan bermotor harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. berbentuk lempengan tipis persegiempat, dengan ukuran panjang 250 milimeter dan lebar 105 milimeter untuk sepeda motor dan ukuran panjang 395 milimeter serta lebar 135 milimeter untuk kendaraan jenis lainnya serta ditambahkan tempat untuk pemasangan tanda uji; b. terbuat dari bahan yang cukup kuat serta tahan terhadap cuaca, yang pada permukaannya berisi huruf dan angka yang dibuat dari bahan yang dapat memantulkan cahaya; c. tinggi huruf dan angka pada tanda nomor kendaraan bermotor yang dituliskan pada lempengan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sekurang-kurangnya 45 milimeter untuk sepeda motor, dan 70 milimeter untuk kendaraan bermotor jenis lainnya; Pengaturan secara rinci tersebut di atas tidak terdapat lagi dalam PP Kendaraan. Walaupun tidak dalam bentuk peraturan, ketentuan yang lebih detil lagi mengenai spesifikasi TNKB tersebut dijelaskan di laman Korps Lalu Lintas Polri , sebagaimana disarikan sebagai berikut: SPESIFIKASI TEKNIS TNKB 1. B erbentuk plat aluminium dengan cetakan tulisan dua baris. Baris pertama menunjukkan: kode wilayah (huruf), nomor polisi (angka), dan kode/seri akhir wilayah (huruf). Baris kedua menunjukkan bulan dan tahun masa berlaku, masing-masing dua digit (misalnya 01.20 berarti berlaku hingga Januari 2020). 2. Bahan baku TNKB adalah aluminium dengan ketebalan 1 mm. Ukuran TNKB untuk kendaraan bermotor roda 2 dan roda 3 adalah 250—105 mm, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda 4 atau lebih adalah 395—135 mm. 3. Terdapat garis putih di sekitar TNKB dan tidak ada batas pemisah antara nomor polisi dan masa berlaku (dari tahun 2011). 4. Pada pertengahan 2014 terjadi perubahan tampilan. Plat nomor kini sedikit diperpanjang dari ukuran semula (untuk roda empat). Selain itu, terdapat perubahan posisi lambang Polantas dan tulisan \"Korlantas Polri\", yakni, lambang Polantas kini berada di sudut kiri atas dan kanan bawah, sedangkan tulisan \"Korlantas Polri\" berada pada sudut kiri bawah dan kanan atas . AKBP Budianto, Kasubdit Bin Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, dalam artikel Begini Pelat Nomor Kendaraan yang Diincar Polisi dari situs www.kompas.com , menjelaskan, terdapat tujuh poin penggunaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“TNKB”) yang tidak sesuai dengan peraturan Polri. Berikut ketentuan penggunaan TNKB yang tidak sesuai dengan peraturan: 1. TNKB yang hurufnya diatur, angka diubah supaya terbaca/angka diarahkan ke belakang sehingga terbaca nama. 2. TNKB yang hurufnya diubah seperti huruf digital. 3. TNKB ditempel stiker/logo/lambang kesatuan/instansi yang terbuat dari plastik/logam/kuningan pada kendaraan pribadi, seolah-olah pejabat. 4. TNKB yang menggunakan huruf miring dan huruf timbul. 5. TNKB yang dibuat di luar ukuran (terlalu besar/terlalu kecil). 6. TNKB diubah warna/ doff dan ditutup mika sehingga warna berubah. 7. TNKB yang huruf angkanya sebagian ditebalkan dan sebagian dihapus dengan cat piloks sehingga nomor asli tersamar warna catnya, sulit untuk dibaca. Sayangnya, AKBP Budianto tidak menyebutkan secara rinci aturan atau dasar hukum dari ketujuh poin di atas. Perlu diketahui, kendaraan yang tidak dipasangi TNKB yang ditetapkan oleh Polri, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp500ribu. [11] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi ; 3. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan ; 4. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan Bermotor Dinas; 6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. [1] Pasal 1 angka 10 Perkapolri 5/2012 [2] Pasal 68 ayat (4) UU LLAJ [3] Pasal 23 huruf h PP Kendaraan [4] Pasal 30 PP Kendaraan [5] Pasal 58 ayat (10) PP Kendaraan [6] Pasal 4 ayat (3) PP 80/2012 [7] Pasal 39 ayat (1) dan (2) Perkapolri 5/2012 [8] Pasal 39 ayat (3) Perkapolri 5/2012 [9] Pasal 39 ayat (5) Perkapolri 5/2012 [10] Pasal 178 PP 44/1993 [11] Pasal 280 UU LLAJ plat nomor uu lalu lintas hukumonline hukum tnkb lalu lintas pidana" }
{ "from": "human", "value": "Sekarang ini sedang trend cover body mobil dengan stiker, entah itu sebagian, entah itu semuanya (full cover). Yang ingin saya tanyakan: 1. Bolehkah itu? Sampai sebatas mana diperbolehkan? 2. Apa risikonya jika tetap dilakukan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Jika pemasangan stiker di seluruh badan mobil hingga mengubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”), maka ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang. Hal ini karena perubahan identitas fisik kendaraan bermotor wajib diregistrasi untuk forensik kepolisian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Meng- cover mobil dengan stiker, baik itu di seluruh permukaan mobil ( full body ) maupun sebagian permukaan mobil, bukan termasuk perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut kendaraan bermotor sebagaimana definisi modifikasi kendaraan bermotor . [1] Oleh karena itu, meng- cover mobil dengan stiker bukanlah termasuk modifikasi kendaraan bermotor. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Kecelakaan karena Mabuk Saat Berkendara 11 Jul 2023 Adakah Sanksi Jika Memodifikasi Knalpot Racing ? 15 Mei 2023 Mau Modifikasi Kendaraan Bermotor? Pastikan Sudah Uji Tipe Ini 15 Sep 2022 Dokumen Penting yang Wajib Diperhatikan Saat Berkendara 05 Jun 2015 Berdasarkan penelusuran kami, menjawab pertanyaan Anda, mengcover seluruh permukaan mobil dengan stiker bukanlah suatu pelanggaran hukum atau boleh dilakukan, dengan catatan, pemasangan/penempelan stiker itu memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut, antara lain: 1. Pemasangan stiker tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas atau mengganggu konsentrasi pandangan pengendara lain Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Jika pemasangan stiker di seluruh badan mobil hingga me ng ubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”) [2] , maka ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang atas kendaraan tersebut. [3] Hal ini karena warna dasar fisik mobil dengan keterangan warna kendaraan bermotor pada STNK tidak boleh berbeda. Jika berbeda, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Untuk menghindarinya, maka pemilik mobil wajib mengajukan permohonan registrasi kendaraan bermotor karena ini menyangkut perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik. Registrasi ini dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor yang merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. [4] 3. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan menempelkan stiker yang memuat tulisan atau gambar yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) diatur mengenai larangan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap (misalnya) golongan rakyat Indonesia (tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan,kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara). [5] Sebagaimana bersumber dari artikel Stiker Full Body Beda Warna Mobil Itu Melanggar dalam laman mobilinanews.com yang memuat informasi tentang otomotif, antara lain dijelaskan bahwa apabila mobil kita ingin diubah warnanya karena pemasangan stiker, maka harus terlebih dahulu kita merubah identitas warna yang tertera di STNK. Hal ini bertujuan bukan hanya untuk tertib administrasi saja, tapi yang lebih utama untuk pengendalian dan pengawasan kendaraan bermotor. Dalam laman itu dijelaskan juga bahwa lebih amannya lagi apabila kita ingin stiker full body mobil, tapi warnanya beda dengan warna yang tertera di STNK, kita meminta surat izin dari pihak kepolisian setempat yang masa berlakunya sampai 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang sepanjang sesuai dengan kepentingan yang dimaksud tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dan masih bersumber dari laman mobilinanews.com , untuk mensiasatinya, berikut kami berikan tips pemasangan stiker agar tidak melanggar hukum: 1. Jangan menempel stiker dengan gambar atau warna mencolok sehingga mengganggu konsentrasi pandangan pengguna jalan lainnya. Hal ini semata-mata bertujuan untuk keamanan berlalu lintas juga. 2. Jangan menempel stiker yang berisi tulisan atau gambar yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan. 3. Pasanglah stiker mobil dari bengkel resmi atau bengkel yang memiliki SIUP/NPWP guna keperluan pendataan ulang nantinya. 4. Untuk pemasangan stiker yang temporer (3 sampai 5 tahun), pengendara mobil yang mobilnya ingin dipasang stiker full body sehingga warnanya berbeda dengan yang tertera di STNK, lebih baik ganti keterangan mengenai warna di STNK dengan melaporkan ke pihak kepolisian bagian Lalu Lintas setempat untuk dilakukan pendataan ulang surat kepemilikan kendaraannya. Caranya, bawalah bukti STNK asli berikut salinannya dan disertai surat keterangan ubahan bentuk atau warna dari bengkel resmi maupun yang memiliki SIUP/NPWP. 5. Begitu mendapat surat keterangan dari kepolisian bagian Lantas, segera membawanya ke Kantor SAMSAT dengan membawa unit mobilnya untuk dilakukan cek fisik untuk pendataan ulang. 6. Lanjutkan dengan mengurus administrasi pada Tata Usaha STNK untuk diproses. 7. Setelah mendapat surat keterangan, tahap selanjutnya pemohonan menuju loket khusus Rubentina (Rubah Bentuk dan Ganti Warna) atau loket yang telah disediakan. Masih bersumber dari laman yang sama, stiker full body mobil yang warnanya berbeda dengan warna yang tertera di STNK masih dapat ditoler ansi tanpa memerlukan Surat Izin dari Kepolisian ataupun mengubah warna yang ada di STNK, dengan catatan , warna dominan kendaraannya masih sama dengan yang tertera di STNK dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (“BPKB”). Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai jenis warnanya. Karena ada beberapa ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) mencantumkan jenis glossy/metal/doff dalam fakturnya yang mana itu menjadi dasar entry data di STNK dan BPKB. Menjawab pertanyaan Anda, memasang stiker pada seluruh bagian mobil bukan pelanggaran hukum sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan di atas. Jika pemasangan stiker itu hingga me ng ubah warna mobil sehingga berbeda dengan STNK tanpa pemilik mengajukan permohonan identifikasi fisik kendaraan untuk pendataan ulang, maka itu suatu pelanggaran hukum. Risikonya, jika suatu saat pengemudi mobil terkena razia atau pemeriksaan kendaraan bermotor namun tidak dapat menunjukkan STNK yang sesuai dengan fisik mobil, maka ancaman pidananya adalah kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). [6] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan . Referensi: http://mobilinanews.com/kolom/stiker-full-body-beda-warna-mobil-itu-melanggar/ , diakses pada 19 Juni 2015 pukul 14.02 WIB. [1] Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”) jo. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”). [2] Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, dalam STNK, salah satunya, memuat tentang warna kendaraan bermotor. [3] Pasal 64 ayat (2) huruf b UU LLAJ. [4] Pasal 64 ayat (4) dan (5) UU LLAJ [5] Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP [6] Pasal 288 ayat (1) UU LLAJ hukum stnk mobil klinik hukumonline hukumonline klinik kendaraan bermotor cat" }
{ "from": "human", "value": "Bisakah diberikan kepada saya, hal-hal apa yang harus saya perhatikan agar tidak salah dalam mencari advokat untuk memberikan jasa hukum bagi perusahaan saya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mencari advokat untuk menyelesaikan perkara yang sedang kita hadapi atau memberikan jasa hukum lainnya memang memerlukan suatu proses. Kita sering mendengar klien-klien yang mengeluh ( complain ) mengenai advokat yang menangani perkara mereka. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kesalahan klien itu sendiri karena kurang cermat saat memilih advokat. KLINIK TERKAIT Dasar Kepemilikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) 27 Jun 2023 Advokat Boleh Menolak Klien? 29 Nov 2010 Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer) 27 Agt 2010 Kantor Pengacara atas Nama Perorangan 25 Mei 2010 Di bawah ini kami sajikan beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar tidak salah memilih advokat. Berikut 10 kesalahan yang sering dilakukan orang-orang waktu memilih advokat yang kami sarikan dari situs Allbusiness.com : 1. Tidak menelusuri bidang kekhususan/keahlian advokat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Beberapa advokat dapat bekerja dengan baik di luar dari keahlian mereka, akan tetapi banyak yang tidak mengetahui dengan baik nuansa pada bidang hukum yang lain. Oleh karena itu, jika Anda membutuhkan advokat di bidang kontrak/perjanjian, jangan menggunakan jasa advokat perceraian. 2. Tidak meninjau tarif advokat lebih awal. Jangan mengeluh apabila Anda dikenakan tarif yang sangat besar jika Anda lalai untuk meninjau tarif/biaya jasa advokat ini sebelum menyetujui untuk menggunakan jasa advokat tersebut. Lebih jauh mengenai tarif advokat simak artikel kami Tarif Advokat di Jakarta . Jika ada advokat yang sejak awal sudah menyinggung tarif untuk menyogok, sebaiknya langsung Anda hindari advokat tersebut. Karena kode etik sudah melarang advokat membebankan biaya yang tidak perlu kepada klien. 3. Memilih advokat karena dia suportif/mendukung/bersimpati. Ada perbedaan antara advokat yang bersimpati terhadap situasi Anda dengan advokat yang dapat memenangkan kasus Anda atau menangani perkara bisnis Anda. Jangan lebih melihat pada dukungan/simpati yang diberikan, tapi perhatikanlah keahlian advokat tersebut. Advokat yang benar seharusnya memiliki keduanya. 4. Tidak membicarakan kesediaan waktu. Jika Anda menggunakan jasa advokat yang tidak memiliki cukup waktu untuk menangani kasus Anda, kebutuhan hukum Anda dapat terabaikan. Pastikan bahwa Anda telah membicarakan berapa banyak waktu yang Anda butuhkan dan carilah advokat yang dapat memenuhi kebutuhan waktu tersebut. 5. Memilih advokat pertama yang ditemukan. Saat ingin membeli rumah, Anda tentunya tidak membeli rumah pertama yang Anda lihat. Sama halnya dengan mencari advokat. Anda harus mendapatkan beberapa nama, lebih baik apabila diperoleh dari referensi, kemudian pilih secara bijak. 6. Tidak bertemu secara langsung. Telah menjadi hal yang sangat umum dan biasa saat ini untuk melakukan komunikasi bisnis hanya melalui e-mail dan telepon. Hal ini tidaklah bagus untuk hubungan yang penting seperti antara Anda dan advokat Anda. Anda perlu bertemu dengan advokat tersebut secara langsung. 7. Tidak melakukan penelusuran sendiri. Carilah referensi, pergi ke perpustakaan hukum setempat dan carilah informasi mengenai advokat, baik secara online , atau menelepon asosiasi advokat setempat. Jangan memilih advokat tanpa menelusuri latar belakangnya terlebih dahulu. Berbincang dengan orang lain yang pernah bekerja dengan advokat akan memberikan keuntungan/pandangan lebih. Tanyakan latar belakang advokat tersebut, perilaku, kompetensi/kemampuan, dan lain-lain. 8. Dialihkan pada orang yang tidak berpengalaman. Pastikan bahwa advokat yang Anda temui akan menangani persoalan-persoalan Anda dan tidak mengalihkannya pada sarjana hukum yang baru lulus. 9. Berbaik hati terhadap orang lain. Hanya karena keponakan Anda atau saudara ipar dari saudari tetangga Anda adalah seorang advokat, tidak berarti orang ini adalah orang terbaik untuk menangani kebutuhan hukum Anda. Belajarlah untuk menolak tawaran-tawaran semacam itu dengan sopan. 10. Tanpa kesiapan. Waktu adalah uang, terutama ketika bekerja dengan advokat yang menagih Anda dengan tarif per-jam. Jika Anda datang tanpa persiapan untuk meeting /rapat, Anda hanya dapat menyalahkan diri sendiri pada akhirnya. Kami harap uraian di atas dapat menjadi bekal awal Anda dalam memilih advokat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat." }
{ "from": "human", "value": "Ayah saya memiliki sebidang tanah yang sudah diwakafkan untuk pemakaman umum. Namun, setelah beliau meninggal ada anaknya (ahli waris) yang ingin mengambil tanah wakaf itu kembali. Adakah upaya hukum yang bisa dilakukan ahli waris untuk mengupayakan kembalinya tanah yang sudah diwakafkan itu?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ketentuan Wakaf Kekayaan Intelektual 26 Nov 2020 Bolehkah Mewakafkan Tanah Hanya untuk Sementara Waktu? 12 Nov 2020 Bolehkah Sebagian Tanah Wakaf Masjid Dialihkan untuk Jalan? 03 Nov 2020 Langkah Jika Tanah Wakaf Diklaim Hak Milik dan Mau Dijual 26 Okt 2020 Pengaturan Wakaf Wakaf berasal dari kata (bahasa Arab) waqf , yang memiliki arti: berdiri, berhenti. [1] Secara terminologis, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. [2] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perlu ditegaskan, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum) . Sehingga dengan adanya ikrar wakaf, maka terlepaslah sudah hubungan hukum kepemilikan benda tersebut dari pemilik awalnya. [3] Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup di dalam masyarakat Indonesia, dan kini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan perubahannya. Sebelumnya ketentuan wakaf juga telah tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) tepatnya pada Buku III Hukum Perwakafan mulai dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 229 . P asal 1 angka 1 UU Wakaf mendefinisikan wakaf sebagai: P erbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah . Definisi yang sama tentang wakaf juga tertulis dalam Penjelasan Pasal 49 huruf e Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”). Wakaf dapat dilakukan tidak hanya terbatas pada harta benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, namu wakif dapat pula mewakafkan harta benda yang bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya. [4] Wakaf bisa diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah, pendidikan serta kesehatan. Kemudian bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa. Bisa juga diperuntukkan bagi kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, maupun kemajuan kesejahteraan umum lainnya. [5] Seseorang yang berwakaf berarti telah melepaskan hak kepemilikan , sebab wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan . [6] Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang : [7] dijadikan jaminan; disita; dihibahkan; dijual; diwariskan ; ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Jika seseorang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas diancam pidana dengan Pasal 67 ayat (1) UU Wakaf yang berbunyi: S etiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta . Sehingga menjawab pertanyaan Anda, maka sangat jelas dan tegas bahwa ahli waris tidak bisa atau tidak berhak untuk mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf ) . Hal ini tentu berlaku ketika wakaf telah sah dilakukan dan memenuhi unsur dan persyaratan. Lain halnya jika ada pelanggaran hukum, misalnya persyaratan wakif seperti dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf ternyata tidak dipenuhi. Selain itu, misalnya ikrar wakaf ternyata di kemudian hari diketahui dilakukan karena adanya ancaman/paksaan, atau harta benda yang telah diwakafkan ternyata milik orang lain atau telah dialihkan kepemilikannya sebelum ikrar wakaf, dan sebagainya. Penyelesaian Sengketa Jika terjadi pelanggaran di atas dan timbul perselisihan, maka upaya penyelesaiannya pertama-tama ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. [8] Jika sengketa tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah, bisa ditempuh melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan. [9] Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Jika mediasi tidak berhasil, sengketa dapat dibawa ke badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan, sengketa itu dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar’iyah. [10] Adapun dalam KHI, penyelesaian perselisihan terkait benda wakaf dan nadzir diajukan ke Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [11] Kewenangan atau kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa wakaf sesungguhnya sudah ditegaskan oleh Pasal 49 UU 3/2006 : Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf ; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari’ah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam REFERENSI:\n1. Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia . Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014\n2. A.W. Munawir. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia . Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994\n3. Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf . Jakarta: UI-Press, 1988. [1] A.W. Munawir. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia . Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994, hal. 1576 [2] Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf . Jakarta: UI-Press, 1988, hal. 80 [3] Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia . Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014, hal. 587 [4] Pasal 16 ayat (1) dan (3) UU Wakaf [5] Pasal 22 UU Wakaf [6] Pasal 3 UU Wakaf [7] Pasal 40 UU Wakaf [8] Pasal 62 ayat (1) UU Wakaf [9] Pasal 62 ayat (2) UU Wakaf [10] Penjelasan Pasal 62 ayat (2) UU Wakaf [11] Pasal 226 KHI warisan ahli waris pengadilan agama waris agama tanah wakaf" }
{ "from": "human", "value": "Saya mempunyai paman bujang yang belum lama meninggal dunia, paman saya tidak mempunyai keturunan, kedua orang tuanya sudah tiada. Paman saya mempunyai 5 saudara kandung, 1 laki-laki dan 4 perempuan. Jika seorang bujangan meninggal siapa ahli warisnya? Mohon terangkan ahli waris lajang dalam Islam untuk kasus paman saya ini. Sebagai catatan, semasa hidupnya paman saya tidak pernah akur dengan saudara laki-lakinya, mereka bermusuhan sejak kecil dan tidak pernah bertegur sapa sampai paman saya meninggal. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Adapun bagian untuk saudara laki-laki dan perempuan adalah 2 berbanding 1.[8] Pewaris dalam hal ini mempunyai 1 saudara laki-laki dan 4 saudara perempuan. Bagian saudara laki-laki adalah 1/3 bagian dari total harta warisan, sedangkan untuk bagian saudara perempuan masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan.\n\nTerkait pewaris tidak pernah bertegur sapa dengan saudara laki-lakinya, tidak mempengaruhi saudara laki-laki untuk tetap menjadi ahli waris karena pada dasarnya hukum waris Islam menganut asas ijbari, yaitu peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.\n\nMenurut asas ijbari sangat jelas bahwa seorang yang mempunyai harta tidak perlu merencakan terhadap hartanya ketika kelak ia meninggal, begitu juga ahli waris mempunyai kewajiban untuk menerima perpindahan hak dan kewajiban dari pewaris ketika meninggal dunia sesuai ketentuan yang telah Allah berikan di luar kehendak yang diinginkan pewaris atau ahli waris.[9]\n\nAtau dengan kata lain, harta dari pewaris akan secara otomatis beralih kepada ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait ahli waris lajang dalam Islam atau yang kami asumsikan ahli waris dari pewaris lajang sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:" }
{ "from": "human", "value": "Belakangan banyak mencuat ajakan boikot produk pro Israel. Bahkan telah ada sejumlah daftar produk pro Israel bertebaran di media sosial. Fatwa MUI pun yang baru saja diterbitkan mengharamkan produk pro Israel. Sebenarnya adakah hukumnya memboikot produk?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITSyarat dan Ketentuan Impor Snack di Indonesia 25 Jun 2024Larangan Praktik Monopoli Lengkap dengan Sanksinya27 Mar 2023Jenis-Jenis Barang yang Dilarang Ekspor dan Impor10 Nov 2022Begini Pembuktian dalam Praktik Kartel dan Monopoli08 Jul 2021\n\nPerlu Anda ketahui menurut KBBI, boikot artinya adalah tolak kerja sama. Sedangkan menurut KBBI, pengertian memboikot adalah bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).\n\nKemudian menyambung pertanyaan Anda, benar bahwa belakangan ini marak ujaran atau seruan untuk memboikot produk Israel di Indonesia melalui media sosial yang bahkan disertai dengan apa saja daftar produk pro Israel. Hal ini lantaran konflik antara Israel dan Palestina yang mengakibatkan banyak korban luka-luka dan bahkan meninggal dunia.\nMerespon konflik antara Israel dan Palestina serta ajakan boikot produk Israel di Indonesia, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa MUI No. 83/2023 tentang hukum dukungan terhadap perjuangan Palestina.\n\nKetentuan hukum dalam fatwa MUI tersebut yaitu:\n\nMendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.Dukungan sebagaimana disebutkan pada point (1) di atas, termasuk dengan mendistribusikan zakat, infaq dan sedekah untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina.Pada dasarnya dana zakat harus didistribusikan kepada mustahik yang berada di sekitar muzakki. Dalam hal keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak dana zakat boleh didistribusikan ke mustahik yang berada di tempat yang lebih jauh, seperti untuk perjuangan Palestina.Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram.\nSelanjutnya terdapat rekomendasi fatwa MUI yang isinya sebagai berikut:\n\nUmat Islam diimbau untuk mendukung perjuangan Palestina, seperti gerakan menggalang dana kemanusian dan perjuangan, mendoakan untuk kemenangan, dan melakukan shalat ghaib untuk para syuhada Palestina.Pemerintah diimbau untuk mengambil langkah-langkah tegas membantu perjuangan Palestina, seperti melalui jalur diplomasi di PBB untuk menghentikan perang dan sanksi pada Israel, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan konsolidasi negara-negara OKI untuk menekan Israel menghentikan agresi.Umat Islam diimbau untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme.\n\nNamun bagaimana kedudukan fatwa MUI di Indonesia? Disarikan dari Kedudukan Fatwa MUI dalam Sistem Hukum Indonesia, fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sehingga, fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri.\nHukumnya Boikot Produk Pro Israel\n\nKami akan menerangkan satu per satu aspek hukum dari pemboikotan produk pro Israel atau produk Israel di Indonesia sebagaimana Anda tanyakan. Pertama, apabila diasumsikan produk yang dimaksud merupakan produk impor atau asing, perlu Anda ketahui bahwa terdapat sejumlah ketentuan barang dilarang impor meliputi:[1]\n\ngula dengan jenis tertentu;beras dengan jenis tertentu;bahan perusak lapisan ozon;kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas;barang berbasis sistem pendingin yang menggunakan Chlorofluorocarbon (CFC) dan Hydrochlorofluorocarbon 22 (HCFC-22) baik dalam keadaan kosong maupun terisi;bahan obat dan makanan tertentu;bahan berbahaya dan beracun (B3);limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), dan limbah nonbahan berbahaya dan beracun (limbah non-B3) terdaftar;perkakas tangan (bentuk jadi); danalat kesehatan yang mengandung merkuri.\n\nLebih lanjut, rincian barang dilarang impor dapat Anda lihat dalam Lampiran II Permendag 40/2022. Sementara itu, pihak importir juga harus memenuhi kriteria perizinan berusaha di bidang impor sebagaimana diatur dalam Permendag 20/2021 dan perubahannya.\n\nKedua, selain ketentuan barang dilarang impor, ajakan boikot produk pro Israel erat kaitannya dengan franchise atau waralaba asing. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.[2] Pemberi waralaba salah satunya bisa berasal dari luar negeri.[3]\n\nAdapun ketentuan penyelenggaraan waralaba juga harus tunduk pada PP 42/2007 dan Permendag 71/2019. Waralaba sendiri harus memenuhi kriteria sebagai berikut:[4]\n\nMemiliki Ciri Khas Usaha\n\nArtinya suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya soal sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.\n\nTerbukti Sudah Memberikan Keuntungan\n\nMenunjuk pada pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki yang kurang lebih 5 tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.\n\nMemiliki Standar Atas Pelayanan dan Barang dan/atau Jasa yang Ditawarkan yang Dibuat Secara Tertulis\n\nSuatu usaha membutuhkan standar tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (Standar Operasional Prosedur).\n\nMudah Diajarkan dan Diaplikasikan\n\nMudah dilaksanakan oleh penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan dari pemberi waralaba.\n\nAdanya Dukungan yang Berkesinambungan\n\nDukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.\n\nHak Kekayaan Intelektual yang Telah Terdaftar\n\nSeperti merek, hak cipta, paten, lisensi, dan/atai rahasia dagang yang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran.\n\nDengan demikian, sepanjang produk asing tersebut masih memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan seperti penyelenggaraan waralaba atau tidak termasuk barang dilarang impor, maka produk tersebut tetap dapat diperdagangkan di Indonesia.\n\nKetiga, ajakan boikot produk pro Israel ini juga berkaitan dengan pemboikotan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Anti Monopoli menyebutkan:\n\nPelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.\n\nBahkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:[5]\n\nMerugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atauMembatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.\n\nAtas pelanggaran Pasal 10 UU Anti Monopoli, Komisi dapat mengenakan tindakan administratif berupa penetapan pembatalan perjanjian baik pada sebagian atau keseluruhannya.[6]\n\nSelain pembatalan perjanjian, dapat pula dikenakan denda dengan ketentuan:[7]\n\npaling banyak sebesar 50% dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang; ataupaling banyak sebesar 10% dari total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang.\n\nDengan demikian, sepanjang seruan atau ajakan boikot produk Israel di Indonesia tidak mengarah pada pelanggaran UU Anti Monopoli, maka aksi seruan atau ajakan tersebut bukanlah suatu pelanggaran hukum, dan menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menyikapinya secara bijak.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami hukumnya boikot produk Israel di Indonesia, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/104/undangundang-nomor-5-tahun-1999?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_1999)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26917/peraturan-pemerintah-nomor-42-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_42_2007)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603243d37efcd/peraturan-pemerintah-nomor-44-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_44_2021)\n6. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d8dbb1fa2970/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-71-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_71_2019)\n7. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt617781838e421/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-18-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=Permendag_18_2021)\n8. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b160cc76477/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-40-tahun-2022/appendices?utm_medium=pusatdata?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_40_2022)\nREFERENSI:\n1. Boikot, yang diakses pada 13 November 2023, pukul 21.00 WIB\n2. Memboikot, yang diakses pada 13 November 2023, pukul 21.02 WIB\n3. Fatwa MUI No. 83/2023, yang diakses pada 13 November 2023, pukul 21.10 WIB\n\n[1] Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor[2] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (“PP 42/2007”)[3] Pasal 4 huruf a Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba[4] Pasal 3 PP 42/2007 dan penjelasannya[5] Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Anti Monopoli”)[6] Pasal 118 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 47 ayat (2) huruf a UU Anti Monopoli jo. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PP 44/2021”)[7] Pasal 12 ayat (1) PP 44/2021" }
{ "from": "human", "value": "Sekitar 13 tahun yang lalu, orang tua saya beli tanah dan transaksi jual beli dilakukan di hadapan notaris dengan 2 saksi yang pada akhirnya orang tua saya dapat sertifikat a/n si penjual beserta salinan AJB dari notaris. Dulu tidak langsung balik nama dikarenakan dana mepet. Baru-baru ini orang tua saya berniat balik nama dan mempersiapkan dokumen. Ternyata AJB hilang dan mungkin sewaktu disekolahkan ke perorangan, orang tua saya tidak cek dokumennya. Yang ada hanya sertifikat dan kwitansi saja. Saya ingin menanyakan:\n\nBisakah saya minta salinan AJB dari notaris yang buat dulu waktu terjadi jual beli?\nApakah tanpa AJB masih bisa dibalik nama?\nBagaimana jika notaris tidak mau beri informasi karena kita cuma punya bukti sertifikat tanah yang masih a/n penjual, 2 orang saksi, fotokopi kwitansi pembayaran yang ditandatangani si penjual?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Penyetoran Saham berupa Tanah19 Jan 2022Mau Beli Tanah Kavling? Ikuti Tips Ini09 Des 2021Batalkan PPJB, Bolehkah Pembeli Minta Developer Kembalikan DP Rumah?07 Okt 2021Laporkan ke Sini Jika Lurah Minta Komisi Lebih untuk AJB12 Agt 2021\n\nHal pertama yang harus dipahami terlebih dahulu adalah bahwa Akta Jual Beli (“AJB”) bukanlah merupakan bukti kepemilikan atas sebidang tanah, namun merupakan suatu akta otentik yang memuat suatu peristiwa terjadi peralihan hak melalui peristiwa hukum berupa jual beli.\n\nWalaupun demikian, suatu AJB merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian tertinggi dalam hubungan keperdataan, di samping sertifikat itu sendiri. Secara yuridis, fungsi AJB ialah bukti pendukung dalam kaitannya dengan pendaftaran tanah.\nSebagaimana disarikan dari Langkah Hukum Jika AJB Tanah Disertifikatkan oleh Pihak Lain, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berarti berbentuk AJB tersebut.[1]\nJika Akta Jual Beli Hilang\nMenyambung pertanyaan Anda, jika mengacu pada informasi awal bahwa orang tua Anda telah melakukan perbuatan hukum berupa jual beli tersebut sekitar 13 tahun lalu, maka kami berasumsi bahwa orang tua Anda baru menguasai sebidang tanah tersebut selama 13 tahun.\n\nLamanya penguasaan selama 13 tahun tersebut menjadi tidak relevan jika dihubungkan dengan Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997, di mana diatur lamanya penguasaan adalah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut untuk dapat dilakukan pembukuan hak.\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya, jika AJB hilang, ke mana bisa memperoleh salinan dari AJB? Patut dicatat, wewenang untuk membuat AJB adalah pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) berdasarkan Pasal 2 PP 37/1998.\n\nBerdasarkan Pasal 21 ayat (3) PP 37/1998, ditegaskan bahwa akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 lembar, yaitu:\n\nlembar pertama sebanyak 1 rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan; danlembar kedua sebanyak 1 rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.\n\nBerdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap PPAT yang membuat AJB pasti memiliki Minuta Akta, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat memperoleh salinan/turunannya.\n\nTentunya, seorang Notaris/PPAT tidak diizinkan untuk memberikan salinan dari AJB hanya berdasarkan pengakuan kehilangan AJB semata. Dalam hal ini, menurut hemat kami, setidaknya Anda perlu mempersiapkan dokumen kwitansi pembayaran dari proses jual beli (jika ada), surat pernyataan dari kedua saksi yang menyaksikan penandatangan AJB, surat pernyataan dari pejabat lokal/ketua adat, dan surat pernyataan kesaksian dari orang yang dapat dipercaya, serta surat laporan kehilangan dari pihak kepolisian.\n\nApabila Anda telah menyampaikan dokumen-dokumen tersebut di atas, PPAT akan memberikan salinan Minuta Akta atau salinan AJB kepada Anda. Tapi, jika PPAT tetap menolaknya, Anda dapat membuat pengaduan sebagaimana diatur dalam Permen ATR/BPN 2/2018.\n\nPengaduan itu disampaikan secara tertulis kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau melalui website pengaduan, aplikasi Lapor atau sarana pengaduan lainnya yang disediakan Kementerian.[2]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11693/peraturan-pemerintah-nomor-24-tahun-1997/document)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11812)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt57849233a96ea)\n4. [Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b8df9bd71be1/peraturan-menteri-agraria-dan-tata-ruang-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-2-tahun-2018/document)\n[1] Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah[2] Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah" }
{ "from": "human", "value": "Saya mencicil DP untuk rumah yang masih indent. Cicilan DP selama 24 kali dan selesai pada Februari 2020. Pada awal pembicaraan dengan marketing, rumah tersebut bisa ditempati di tahun 2020. Dan ternyata pembangunan mandek. Dengan melihat progress-nya, sudah dipastikan rumah belum bisa ditempati pada 2020. Tapi di Surat Konfirmasi Unit tertera pembayaran DP selama 24 kali setelah itu langsung akad. Apa boleh akad kredit padahal rumah tersebut belum ready? Sayapun sedang membuat pengajuan bahwa saya akan melakukan akad setelah rumah ready untuk dihuni. Tapi sampai saat ini pengajuan tersebut belum ada balasan dari pihak developer." }
{ "from": "gpt", "value": "Pembelian Rumah Secara Indent Menurut Hukum Perdata Kami asumsikan, indent yang Anda maksud adalah pembayaran sejumlah uang tertentu sebagai bentuk komitmen awal pemesanan pembelian rumah. Untuk mengetahui hukum kredit rumah yang didahului dengan indent , pertama-tama kita perlu kembali pada ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) . Dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang. Sementara itu, Pasal 1338 KUH Perdata menunjukkan adanya asas kebebasan berkontrak . Pasal tersebut berbunyi: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya . Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kemudian Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa: Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar . Berdasarkan pasal-pasal tersebut, secara umum pembelian rumah indent dapat dilakukan. Namun, terdapat hal-hal penting yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya yakni tentang aturan Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) untuk rumah yang masih indent atau belum selesai dibangun. Perlindungan atas Transaksi Rumah Indent Pembelian rumah secara indent sendiri diakui dengan istilah yang berbeda dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (“Permen PUPR 11/2019”). Menurut Pasal 1 angka 2 Permen PUPR 11/2019 : Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris. Dengan demikian, proses indent dalam pembangunan rumah seharusnya dilakukan saat rumah telah dalam proses pembangunan . Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 3 ayat (1) Permen PUPR 11/2019 . Pembayaran yang dilakukan oleh calon pembeli kepada developer selaku pelaku pembangunan pada saat pemasaran menjadi bagian pembayaran atas harga rumah. Pelaku pembangunan yang menerima pembayaran harus menyampaikan informasi mengenai: [1] jadwal pelaksanaan pembangunan; jadwal penandatanganan PPJB dan akta jual beli; dan jadwal serah terima rumah. Jika developer lalai untuk memenuhi jadwal pelaksanaan pembangunan dan jadwal penandatanganan PPJB dan akta jual beli, maka calon pembeli dapat membatalkan pembelian rumah. Seluruh pembayaran yang telah diterima developer harus dikembalikan sepenuhnya, paling lambat 30 hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani. [2] Dari sisi bank penyedia KPR, Pasal 15 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (“Peraturan BI 21/2019”) menguraikan bahwa: Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: memenuhi persyaratan: rasio Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio KP bermasalah, dan rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); memiliki perjanjian kerja sama antara Bank dengan pengembang yang paling sedikit memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan memiliki jaminan yang diberikan oleh pengembang atau pihak lain kepada Bank: yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang dalam hal Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian ; dan nilai jaminan paling sedikit sebesar selisih antara komitmen KP atau PP dengan pencairan KP atau PP yang telah dilakukan oleh Bank; dan tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang ditetapkan. Sedangkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”) menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp500 juta. [3] Perlukah Membeli Rumah Secara Indent ? Proses akad kredit sendiri merupakan tahap terpenting, karena merupakan puncak dari proses pengajuan KPR. Pada proses akad kredit KPR, masing-masing pihak, baik pembeli maupun developer sebagai penjual akan menyerahkan dokumen yang diperlukan. Penjual menyerahkan dokumen terkait rumah seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sertifikat tanah, dan lain-lain. Sedangkan pembeli menyerahkan dokumen seperti KTP asli dan fotokopinya, Kartu Keluarga, NPWP, dan buku nikah. Nantinya notaris akan memeriksa keabsahan semua dokumen tersebut. Apabila semua dokumen telah lengkap, notaris akan memberikan Surat Tanda Terima Dokumen ke penjual sebagai bukti semua dokumen rumah telah berpindah tangan. Sebagimana secara implisit diuraikan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan BI 21/2019, akad kredit untuk rumah yang belum dibangun sendiri memang dapat dilakukan . Namun menurut hemat kami, hal ini secara hukum merugikan nasabah . Pertama , akad kredit adalah persetujuan pembiayaan kredit atas objek properti dengan konsekuensi kewajiban membayar sejumlah uang. Bagaimana mungkin pembeli harus membayar cicilan kredit bulanan sementara haknya belum diterima oleh pembeli. Pembeli perlu mewaspadai apabila developer ingkar atau bangkrut sehingga tidak mampu untuk melanjutkan pembangunan rumah. Kedua , yang menjadi objek jual-beli dalam perjanjian akad kredit adalah rumah. Dengan melakukan akad kredit, berarti pembeli menyetujui rumah tersebut dijadikan objek jual-beli. Sementara rumah tersebut belum selesai dibangun atau belum siap huni. Hal ini akan menyulitkan dan melemahkan posisi pembeli untuk menuntut developer yang tidak memenuhi janjinya. Meskipun ketentuan perlindungan pembeli rumah indent bagi konsumen telah diatur, ada baiknya pembeli mempertimbangkan dengan matang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebelum melakukan akad kredit. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah [1] Pasal 7 Permen PUPR 11/2019 [2] Pasal 9 ayat (1), (2), dan (5) Permen PUPR 11/2019 [3] Pasal 62 ayat (2) UU 8/1999 pertanahan hukumonline perumahan rumah kpr" }
{ "from": "human", "value": "Apa itu cessie dan bagaimana akibat hukum cessie terhadap hak tanggungan dalam kepailitan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Cessie berasal dari kata “credere” yang artinya melepaskan suatu hak dan menyerahkannya kepada orang lain.[1] Cessie juga dikenal sebagai cara pengalihan dan/atau penyerahan piutang atas nama sebagaimana yang dimaksud Pasal 613 KUH Perdata.[2] Namun, kata cessie sendiri tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, melainkan istilah cessie hanya dikenal dari doktrin-doktrin hukum dan juga yurisprudensi.\n\nAdapun bunyi Pasal 613 KUH Perdata adalah sebagai berikut:\nPenyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.\n\nKemudian, menurut Subekti, cessie adalah suatu cara pemindahan piutang atas nama, dimana piutang itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun hubungan hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam keseluruhannya dipindahkan ke kreditur baru.[3]\nLebih lanjut, untuk mengalihkan tagihan atas nama dibutuhkan akta penyerahan tagihan atas nama yang dalam doktrin dan yurisprudensi disebut sebagai akta cessie. Pada cessie, hak milik beralih dan dengan dibuatnya akta cessie maka levering (perolehan hak milik) telah selesai.[4]\n\nNamun, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 613 KUH Perdata, agar perjanjian pengalihan piutang ini mempunyai akibat hukum kepada si berutang, maka pengalihan piutang yang dilakukan oleh kreditur lama dengan kreditur baru harus diberitahukan atau disetujui oleh debitur.\n\nBaca juga: Dasar Hukum Cessie dan Penjelasannya\nCessie Terhadap Hak Tanggungan dalam Kepailitan\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai akibat cessie terhadap hak tanggungan dalam kepailitan, pada dasarnya terdapat beberapa pasal dalam UU KPKPU yang perlu diperhatikan, antara lain:\n\nPasal 1 angka (1)\nKepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.\n\nPasal 1 angka (5)\n\nKurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.\n\nPasal 26 ayat (1)\n\nTuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.\nDari bunyi pasal-pasal di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai peran penting kurator dalam proses kepailitan, sehingga kurator dituntut untuk bersikap independen dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penanganan proses kepailitan tersebut.\n\nKemudian, berdasarkan praktik kami, dalam perkara kepailitan sering dijumpai kreditur yang telah mengalihkan piutangnya melalui cessie, sehingga kurator dalam kepailitan harus secara cermat melihat proses peralihan piutang (cessie) tersebut, yaitu apakah telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam aturan-aturan hukum yang berlaku.\n\nAdapun dalam Pasal 102 UU KPKPU ditegaskan bahwa:\n\nSegera setelah dibuat pencatatan harta pailit, kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditor beserta jumlah piutang masing-masing kreditor.\n\nBila kita cermati, pasal di atas mengharuskan kurator menentukan sifat tagihan dari masing-masing kreditur sehingga terhadap kreditur yang melakukan pengalihan piutang melalui cessie, kurator juga harus cermat dalam menentukan sifat tagihan bagi penerima cessie tersebut. Dalam praktiknya sering terjadi bank mengalihkan piutangnya kepada pihak ketiga (cessionaris) dimana dalam perjanjian kredit yang dialihkan tersebut terdapat juga perjanjian pemberian jaminan.\n\nLebih lanjut, Pasal 16 UU 4/1996 telah mengatur mengenai peralihan piutang melalui cessie yang dalam perjanjian tersebut terdapat perjanjian pemberian jaminan berupa hak tanggungan yaitu:\n\nJika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.Beralihnya hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada kantor pertanahan.Pendaftaran beralihnya hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kantor pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah hak tanggungan dan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak tanggungan dan\nsertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.Tanggal pencatatan pada buku tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya hak tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.Beralihnya hak tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).\n\nDari Pasal 16 ayat (1) UU 4/1996 tersebut dapat disimpulkan bahwa UU 4/1996 telah mengakomodir dan mengakui pengalihan piutang secara cessie yang di dalamnya terdapat perjanjian pemberian jaminan berupa hak tanggungan. Namun, mengenai beralihnya Hak Tanggungan dalam pengalihan piutang secara cessie, harus mengikuti beberapa prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU 4/1996.\n\nKemudian menurut hemat kami, hal ini harus dicermati oleh para pihak dalam proses kepailitan, apakah pemegang cessie (cessionaris) telah mendaftarkan hak tanggungan tersebut kepada kantor pertanahan setempat atau belum. Akibat hukum apabila ternyata didapati hak tanggungan belum didaftarkan oleh penerima cessie, maka kreditur tersebut secara otomatis menjadi kreditur konkuren. Namun, apabila penerima cessie tersebut telah mendaftarkan hak tanggungannya kepada Badan Pertanahan Nasional, maka sifat tagihannya menjadi kreditur yang diutamakan yaitu kreditur separatis atau kreditor pemegang jaminan sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) UU KPKPU.\n\nLalu, ketika proses penjualan baik melalui pelelangan dimuka umum ataupun penjualan dibawah tangan telah selesai, kurator kemudian wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas, sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UU KPKPU.\n\nKemudian, karena sifat tagihan kreditur menjadi hal yang penting dalam kepailitan, maka kurator dapat menentukan mana kreditur yang memiliki hak untuk didahulukan dan mana yang tidak, sehingga asas keadilan sebagaimana yang dianut UU KPKPU dapat diterapkan. Berkaitan dengan asas keadilan, dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.[5]\n\nDisamping itu, menentukan sifat tagihan kreditur juga penting dalam proses kepailitan yaitu untuk menentukan suara dalam pemungutan suara guna menentukan rencana perdamaian yang diatur dalam Pasal 151 dan Pasal 152 UU KPKPU.\n\nDengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa akibat cessie terhadap hak tanggungan dalam kepailitan adalah cessie belum menyebabkan hak tanggungan beralih dari pemberi cessie kepada penerima cessie sebelum penerima cessie mendaftarkan hak tanggungan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional.\n\nBaca juga: Perbedaan Cessie dan Subrogasi\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\n3. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/node/19/uu-no-37-tahun-2004-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\nREFERENSI:\n1. Akhmad Budi Cahyono. Cessie sebagai Bentuk Pengalihan Piutang atas Nama. Lex Jurnalica, Vol. 2, No. 1, 2004\n2. J. Satrio. Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cet. ke-2. Bandung: Alumni, 1999\n3. Soeharnoko dan Endah Hartati. Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2008\n4. Subekti. Hukum Perjanjian, cet. ke-17. Jakarta: Intermasa, 1998.\n[1] Akhmad Budi Cahyono. Cessie sebagai Bentuk Pengalihan Piutang atas Nama. Lex Jurnalica, Vol. 2, No. 1, 2004, hal. 14[2] Soeharnoko dan Endah Hartati. Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2008, hal. 101[3] Subekti. Hukum Perjanjian, cet. ke-17. Jakarta: Intermasa, 1998, hal. 71[4] J Satrio. Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cet. ke-2. Bandung: Alumni, 1999, hal. 47[5] Penjelasan Umum Bagian I angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah karyawan kontrak (PKWT berdasarkan jangka waktu), saya sudah melewati masa percobaan selama 3 bulan, kemudian lanjut ke kontrak pertama selama 1 tahun, dan diperpanjang ke kontrak ke-2 selama 1 tahun. Setelah beres kontrak ke-2, saya mengikuti test untuk calon pegawai, tapi hampir 5 bulan setelah test tersebut belum ada kepastian, saya mau menanyakan apa yang harus saya lakukan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada ketentuan yang terdapat pada  UU Ketenagakerjaan sebagaimana diperbaharui oleh UU Cipta Kerja. Selain itu, perlu Anda ketahui bahwa perjanjian kerja terdapat dua jenis, yaitu:[1]\n\nPerjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”); danPerjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).\n\nPKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, yang ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.[2] Dalam praktik, pekerja PKWT sering disebut juga dengan pekerja/karyawan kontrak. Sementara PKWTT dikenal dengan perjanjian untuk karyawan tetap, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 PP 35/2021.\nMasa Percobaan Kerja untuk Karyawan PKWT, Adakah?\n\nSelanjutnya, penting untuk mengetahui terlebih dahulu mengenai ketentuan masa percobaan atau probation yang terdapat pada UU Ketenagakerjaan dan perubahannya. Pada dasarnya, masa percobaan kerja hanya dapat disyaratkan pada PKWTT saja[3], atau dalam kata lain tidak ada masa percobaan kerja atau probation untuk karyawan kontrak.\n\nBagi karyawan PKWTT, masa percobaan kerja paling lama 3 bulan.[4] Lalu, dalam masa percobaan ini, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.[5]\n\nSebagai informasi, syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.[6]\n\nAdapun apabila PKWT mensyaratkan adanya masa percobaan, maka masa percobaan yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (14) Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 58 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.\n\nDalam kasus Anda, menurut hemat kami istilah batal demi hukum artinya status masa percobaannya yang batal demi hukum, namun masa kerja tersebut dianggap menjadi sebuah awal dibuatnya PKWT. Itu artinya, PKWT pertama Anda adalah selama 3 bulan.\n\nHal senada juga disampaikan oleh Mantan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan, batal demi hukum itu artinya masa percobaan dianggap tidak pernah ada, sehingga PKWT tetap berjalan tanpa masa percobaan. Apabila PKWT dibuat 1 tahun, tapi ada masa percobaan untuk 3 bulan, maka percobaan batal demi hukum yang berakibat PKWT 1 tahun tetap dihitung. Begitu juga jika 3 bulan percobaan sebelum PKWT, maka percobaan itu batal demi hukum dan masa 3 bulan tersebut dianggap sebagai PKWT (bukan percobaan).\n\nBaca juga: Apakah Karyawan Kontrak Ada Masa Percobaan?\nKetentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu\n\nKemudian mengenai ketentuan perpanjangan PKWT, pengaturannya dapat ditemukan pada Pasal 81 angka 15 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:\n\nPerjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; pekerjaan yang bersifat musiman; pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.\nAdapun peraturan pemerintah yang mengatur mengenai PKWT adalah PP 35/2021. Pada dasarnya, PKWT berdasarkan jangka waktu dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun.[7] Dalam hal jangka waktu PKWT akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai dapat dilakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.[8]\n\nSementara untuk PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja.[9] Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari lamanya waktu yang disepakati, maka PKWT putus demi hukum\npada saat selesainya pekerjaan.[10] Namun jika pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan sesuai lamanya waktu yang disepakati, maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan.[11]\n\nMerujuk pada pertanyaan Anda, berikut kami ilustrasikan PKWT Anda:\n\nMasa Percobaan (3 bulan) + PKWT I (1 tahun) + PKWT III (diperpanjang 1 tahun)\n\nSeharusnya, berdasarkan Pasal 81 angka 15 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 8 PP 35/2021, PKWT Anda sebagai berikut:\n\nPKWT I (3 bulan) + PKWT II (diperpanjang 1 tahun) + PKWT III (diperpanjang 1 tahun)\nLangkah Hukum yang Dapat Dilakukan\n\nApa langkah hukum yang dapat Anda lakukan terkait dengan kasus yang Anda alami ini?\n\nSebagai langkah awal, Anda dapat meminta hak yang Anda miliki (meminta kejelasan status perjanjian kerja atau ditetapkan menjadi karyawan tetap) kepada pengusaha secara kekeluargaan atau yang dikenal dengan perundingan secara bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, yang diatur pada Pasal 3 ayat (1) UU PPHI. Jangka waktu bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak diadakannya perundingan bipartit. Apabila salah satu pihak menolak untuk berunding, atau tidak sepakat maka perundingan bipartit dianggap gagal.[12]\n\nJika perundingan bipartit gagal, dilanjutkan perundingan tripartit yaitu mediasi. Dalam hal mediasi gagal, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[13]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta kerja;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.\n\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan via pesan singkat pada 12 Desember 2018 pukul 15.46 WIB.\n\n[1] Pasal 81 angka 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 12  Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 14 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 58 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[5] Pasal 60 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[6] Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[7] Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“35/2021”)[8] Pasal 8 ayat (2) PP 35/2021[9] Pasal 9 ayat (1) PP 35/2021[10] Pasal 9 ayat (3) PP 35/2021[11] Pasal 9 ayat (4) PP 35/2021[12] Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[13] Lihat Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1) dan (2), Penjelasan Umum angka 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial" }
{ "from": "human", "value": "Jelaskan akibat hukum bagi pemegang saham apabila terjadi pengurangan modal pada perseroan terbatas?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT, pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri. Seperti kita ketahui, modal Perseroan terdiri atas modal dasar serta modal ditempatkan dan disetor. Modal dasar Perseroan sedikitnya Rp50 juta, serta modal ditempakan dan disetor sedikitnya 25% dari modal dasar atau Rp12,5 juta. Terkait dengan pengurangan modal, Pasal 47 ayat (1) UU PT diatur mengenai pengurangan modal ditempatkan dan disetor yaitu, Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal saham. Apa akibat hukum pengurangan modal, dalam hal ini modal ditempatkan dan disetor, bagi pemegang saham? Seperti dijelaskan di atas, pengurangan modal merupakan perubahan anggaran dasar, yang mungkin berakibat merugikan pemegang saham atau Perseroan. Oleh karena itu, setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar jika perubahan Anggaran Dasar merugikan pemegang saham atau Perseroan [Pasal 62 ayat (1) huruf a UU PT]. Di sisi lain, UU PT tidak mengatur secara khusus tentang pengurangan modal dasar. Namun, karena setiap pengurangan modal merupakan perubahan anggaran dasar, maka setiap pemegang saham juga berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar jika perubahan anggaran dasar merugikan pemegang saham atau Perseroan seperti diatur dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a UU PT. Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat." }
{ "from": "human", "value": "Selamat pagi. Ada informasi yang saya peroleh bahwa apabila seseorang berutang kepada kita dan orang tersebut memberikan cek yang dapat dicairkan sesuai jatuh tempo yang ditentukan tetapi kemudian pada saat jatuh tempo tersebut diketahui ternyata cek tersebut kosong/tidak ada dana, maka orang yang memberikan cek tersebut dapat dipidana. Sedangkan, apabila kita memperoleh Bilyet Giro dan ternyata saat jatuh tempo Giro tersebut tidak ada dana/dana tidak cukup, hal tersebut tidak berimplikasi secara pidana. Mohon pencerahan dan penjelasan bapak/ibu apakah memang demikian? Jika benar, mengapa giro dan cek memiliki implikasi pidana yang berbeda? Terima kasih atas penjelasannya, Salam Iman." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Definisi Cek, Bilyet Giro, dan Cek/Bilyet giro kosong dapat ditemui dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/10/Dasp Tahun 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong (“SEBI 2/10/2000”) yang menyatakan sebagai berikut: a. Cek adalah surat perintah membayar sebagaimana diatur dalam Kitab UU Hukum Dagang (“KUHD”) . KLINIK TERKAIT Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan? 25 Apr 2024 Apa yang Dimaksud dengan Cek Kosong dan Cek Bertanggal Mundur? 15 Feb 2022 Bolehkah Pembelian Reksa Dana Secara 'Back Date'? 03 Nov 2011 Perlukah Pakai Debt Collector Jika Debitur Tak Kunjung Lunasi Utang? 12 Agt 2011 Sedangkan, dijelaskan dalam situs Bank Indonesia bahwa Cek adalah surat perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah dana yang tercantum dalam cek.  Penarikan cek dapat dilakukan baik \"atas nama\" maupun \"atas unjuk\" dan merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan (negotiable paper). Pengaturan Cek dalam KUHD dapat ditemui dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 229. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Bilyet Giro adalah surat perintah pemindahbukuan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro . Pada situs Bank Indonesia tersebut juga dijelaskan bahwa Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindah bukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya. c. Cek/Bilyet Giro kosong adalah Cek/Bilyet Giro yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup atau Rekening telah ditutup. 2. Informasi yang Anda dapatkan mengenai perbedaan aspek pidana dari penarikan cek dan bilyet giro kosong, mungkin berdasarkan pengaturan UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong (“UU Cek Kosong”) , yang secara khusus menyatakan bahwa tindak pidana penarikan cek kosong adalah kejahatan ( Pasal 3 UU Cek Kosong ). Pengaturan UU Cek Kosong ini menyebabkan perbedaan aspek pidana dari penarikan cek kosong dengan penarikan bilyet giro kosong. Hal ini juga dijelaskan dalam buku Hukum Dagang yang ditulis oleh Farida Hasyim (hlm. 273). Namun perlu kami sampaikan bahwa UU Cek Kosong ini sudah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan UU No. 17 Tahun 1964 (“Perpu No. 1 Tahun 1971”). Menurut artikel Sejarah Bank Indonesia: Sistem Pembayaran Periode 1966-1983 yang diterbitkan oleh Unit Khusus Museum Bank Indonesia (hlm. 7), berdasarkan UU Cek Kosong , penarikan cek kosong yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1971 . Maka pada saat ini penarikan cek kosong bukan lagi dianggap sebagai suatu kejahatan. Praktis tidak terdapat lagi perbedaan yang signifikan antara penarikan cek kosong dengan bilyet giro kosong dari segi hukum pidana. 3. Cek dan Bilyet Giro sendiri merupakan alat pembayaran, sedangkan kegagalan pembayaran utang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, yaitu keadaan apabila salah satu pihak di dalam satu perjanjian tidak melaksanakan prestasi atau kewajibannya dan bukan karena keadaan memaksa ( overmacht ). Hal ini dijelaskan juga dalam artikel Cek Kosong . Menurut Pasal 1234 Kitab UU Hukum Perdata (“KUHPer”) prestasi terbagi dalam tiga macam: a. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237 KUHPer ); b. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPer ); dan c. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPer ). Jadi, pada dasarnya mengenai kegagalan pembayaran adalah termasuk ke dalam ranah hukum perdata. Namun, menurut artikel Cek Kosong , memang terdapat juga kemungkinan kegagalan pembayaran tersebut dilakukan untuk melakukan tindak pidana, misalnya tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab UU Hukum Pidana (“KUHP”) . Terhadap kasus yang terakhir ini, apabila apabila unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi dan terbukti bahwa pemberian cek atau bilyet giro kosong dilakukan untuk melakukan kejahatan, maka pemidanaan tetap dapat dilakukan. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23). 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43). 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732). 4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan UU No. 17 Tahun 1964. 5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro. 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/Dasp Tahun 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong." }
{ "from": "human", "value": "Saya pernah membaca bahwa penyebutan para pihak dalam perjanjian tidak harus menggunakan sebutan/nama Pihak I dan Pihak II tetapi juga sebutan/nama lain yang disepakati para pihak. Yang penting adalah konsistensi dalam penggunaan sebutan/nama yang telah dipilih dalam suatu perjanjian. Atas hal tersebut, apakah ada dampak jika penulisan sebutan/nama tidak konsisten dalam perjanjian? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITLangkah Menuntut Prestasi Jika Jangka Waktu Perjanjian Tak Dicantumkan15 Jul 2024Akibat Hukum Perjanjian Backdate03 Jun 2024Apa itu Klausula Eksonerasi dan Keabsahannya dalam Perjanjian02 Mei 2024Pembaruan Otomatis (Automatic Renewal) Perjanjian Bisnis23 Apr 2024\n\nPembuatan perjanjian secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan ataupun akta autentik, selain bertujuan sebagai alat bukti (pembuktian), juga bertujuan untuk memudahkan para pihak dalam memahami kewajiban masing-masing.\n\nAdapun, dalam pembuatan perjanjian (kontrak), wajib diuraikan dengan jelas identitas dan kapasitas atau kewenangan bertindak (komparisi) para pihak. Kami mengambil contoh akta notaris yang diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) dan (3) UU 2/2014, bahwa setiap akta terdiri atas awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta. Dalam badan akta, memuat:\n\nnama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan; dannama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.\nUmumnya, untuk memudahkan penyebutan atau uraian selanjutnya mengenai identitas para pihak, maka selanjutnya dapat disingkat atau disebut “Pihak I” “Pihak II” atau nama lain yang disepakati.\n\nPenyebutan para pihak tersebut sebagaimana telah Anda sampaikan, harus konsisten digunakan. Apabila terdapat penyebutan yang tidak konsisten maka dapat mengakibatkan:\n\nPara pihak atau pihak ketiga (auditor, advokat, hakim, dan lain-lain) kesulitan dalam memahami isi perjanjian atau kewajiban para pihak sehingga menimbulkan ketidakjelasan atau ketidakpastian;Hambatan dalam pelaksanaan perjanjian dan tuntutan kewajiban yang telah diperjanjikan;Dapat memengaruhi keabsahan perjanjian apabila tidak dapat ditentukan dengan jelas objek perjanjian, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.\nDengan demikian, inkonsistensi penyebutan para pihak tersebut dapat mengakibatkan sengketa atau perselisihan mengenai pemahaman atau pemaknaan kewajiban masing-masing pihak.\nJika Terjadi Sengketa Akibat Inkonsistensi Penyebutan Para Pihak\nApabila ada inkonsistensi penyebutan para pihak dalam perjanjian, maka dapat dilakukan penafsiran atau interpretasi dalam memahami isi atau kewajiban para pihak dalam perjanjian tersebut. Jika merujuk pada KBBI, penafsiran berarti upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas. Penafsiran atau interpretasi adalah suatu metode untuk mencari atau menemukan makna intrinsik (yang sebenarnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan lain-lain. Singkatnya penafsiran bertujuan untuk “melihat yang tersirat daripada yang tersurat”.[1]\n\nDapat pula diartikan bahwa penafsiran merupakan proses dimana seseorang memberikan makna dari suatu simbol ekspresi yang digunakan oleh orang lain (baik dalam bentuk bahasa lisan, tulisan, dan atau perbuatan).[2]\n\nAdapun, mengenai metode penafsiran perjanjian tersebut diatur di dalam Pasal 1342- 1351 KUH Perdata. Lebih spesifik, Pasal 1348 KUH Perdata menjelaskan bahwa semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya. Sehingga, apabila ada inkonsistensi penyebutan para pihak dalam perjanjian, maka dapat dilakukan inpretasi atau penafsiran dengan melihat isi perjanjian secara keseluruhan.\n\nDengan demikian, sepanjang perjanjian para pihak telah memenuhi syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka ketidaksesuaian penyebutan para pihak dalam perjanjian tidak mengakibatkan perjanjian menjadi batal atau tidak sah. Adapun, untuk menentukan maksud para pihak tersebut dapat menggunakan metode penafsiran atau interpretasi.\n\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi\n\nOleh karena itu, mengingat potensi perselisihan yang dapat terjadi, maka dalam menyusun kontrak perlu konsisten dalam penyebutan dan perumusan yang jelas mengenai identitas dan kapasitas bertindak para pihak dalam perjanjian.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\nREFERENSI:\n1. Agus Yudha Hernoko dkk. Method Determining the Contens of the Contract. Hasanuddin Law Review, Vol. 3 Issue 1, 2017\n2. Ridwan Khairandy. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003\n3. Penafsiran, yang diakses pada Selasa, 16 Juli 2024, pukul 14.10 WIB.\n\n[1] Agus Yudha Hernoko dkk. Method Determining the Contens of the Contract. Hasanuddin Law Review, Vol. 3 Issue 1, 2017, hal. 95-96.\n\n[2] Ridwan Khairandy. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003, hal. 217." }
{ "from": "human", "value": "1. Bagaimana akibat hukum jika jaminan fidusia belum didaftarkan, kemudian dijadikan pengikat sebagai peminjaman kredit pada bank? 2. Jika kemudian kredit belum sempat dilunasi, dan debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, apa akibat yang diterima oleh bank sebagai pemberi kredit? 3. Apakah dalam hal ini ahli waris dapat dipertanggung-gugatkan oleh bank, atas utang pewaris pada bank?" }
{ "from": "gpt", "value": "1. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . ” Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung ( parate executie ), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. KLINIK TERKAIT Hukumnya Melakukan Prank Ojol Saat Memesan Makanan 26 Nov 2021 Pertanggungjawaban Hukum Jika Daycare Lalai Menjaga Anak 16 Des 2019 Langkah Jika Perusahaan Tidak Mengurus Santunan Kecelakaan Kerja 29 Okt 2019 Tanggung Jawab Polantas Jika Terjadi Kecelakaan Lalu Lintas 02 Sep 2019 Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia . M engutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan , s aat ini, banyak lembaga pembiayaan ( finance ) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen ( consumer finance ), sewa guna usaha ( leasing ), anjak piutang ( factoring ). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF. 2. Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung . Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan . Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF ) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan. Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. M engingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian. Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa: “ Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia . Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.” 3. Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata . Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “ Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata ). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata ). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata ). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) ; 3. U ndang- U ndang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan F idusia . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Banyaknya kasus kekerasan dalam proses penyidikan yang terjadi di tingkat kepolisian terutama di daerah-daerah yang disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan hukum menjadi landasan pertanyaan ini. Saya ingin menanyakan bagaimana jika dalam proses penyidikan terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pihak penyidik dan konsekuesi hukum terhadap BAP tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Penyidik dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun saat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, yakni dalam proses penyidikan. Jika Berita Acara Penyidikan (“BAP”) dibuat dalam keadaan tersangka disiksa secara fisik, maka BAP tersebut tidak sah dan dapat diupayakan praperadilan, serta dapat juga dijadikan dasar untuk membatalkan dakwaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Dasar Hukum Pelaksanaan Rekonstruksi oleh Penyidik , tata cara penyidikan itu dilakukan berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana (“Juklak dan Juknis Penyidikan”) . Bab III angka 8.3.e.6 Juklak dan Juknis Penyidikan telah yang menegaskan: KLINIK TERKAIT Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana 12 Jan 2024 Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan 13 Jul 2023 Jika Polisi Korupsi, Lembaga Apa yang Berwenang Menangani Kasusnya? 16 Agt 2022 Prosedur Bila Polisi Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara 09 Mar 2020 “ Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan. ” Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik . Penjelasan lebih lanjut mengenai hak-hak di atas dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Hak Tersangka & Terpidana . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengaturan lain soal penyelenggaraan tugas kepolisian ini juga antara lain terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”) yang menegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Anda benar bahwa berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang [ Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana - “KUHAP” ]: a. pemeriksaan tersangka; b. penangkapan; c. penahanan; d. penggeledahan; e. pemasukan rumah; f. penyitaan benda; g. pemeriksaan surat; h. pemeriksaan saksi; i. pemeriksaan di tempat kejadian; j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Sesuai pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Juklak dan Juknis Penyidikan , hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mengenai BAP ini M. Yahya Harahap dalam bukunya “ Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan ” menjelaskan (hlm. 137) bahwa jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa, maka BAP yang diperoleh dengan cara seperti ini tidak sah . Dalam praktiknya, berdasarkan penelusuran kami, hakim pernah membatalkan suatu dakwaan karena penyidikan dilakukan tidak sah. Dalam artikel Penyidikan Tidak Sah, Hakim Batalkan Dakwaan disebutkan bahwa hakim menyatakan surat dakwaan batal demi hukum karena saat penyidikan tidak tersedia bantuan hukum bagi tersangka . Sedangkan berdasarkan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP, setiap tersangka yang dijerat dengan tindak pidana yang ancaman hukumannya minimal lima tahun, wajib didampingi pengacara, yang mana tindak pidana pencurian yang didakwakan kepada tersangka diancam dengan hukuman maksimal tujuh tahun. Ketersediaan bantuan hukum bagi tersangka menjadi salah satu tolak ukur keabsahan penyidikan. Hakim menyatakan bahwa surat dakwaan perkara anak dengan terdakwa DS, batal demi hukum karena ia menilai surat dakwaan jaksa dibuat berdasarkan BAP yang tidak sah . Akibatnya, jaksa diperintahkan untuk menghentikan penuntutan terhadap DS. Hakim menemukan bukti dalam BAP yang menunjukkan DS telah menandatangani surat pernyataan dan sebuah berita acara. Dua dokumen itu isinya menyatakan bahwa DS secara sadar menolak didampingi pengacara. Dengan demikian, hakim berpandangan bahwa proses penyidikan DS tidak sah karena tak didampingi pengacara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 2. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Referensi: Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. kekerasan hukumonline kepolisian penyidikan hukum bap klinik persidangan klinik hukumonline praperadilan polisi" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau tanya pak tentang penyitaan yaitu, apa akibat hukum dari penyitaan yang dilakukan penyidik terhadap benda yang didapat tersangka sebelum tindak pidana dilakukan? Terima kasih pak. Mohon bantuannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami. KLINIK TERKAIT Apa Perbedaan Benda Sitaan dengan Barang Bukti? 27 Mar 2024 Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana 12 Jan 2024 Masalah Penyitaan dan Benda Sitaan 04 Jun 2013 Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? 10 Nov 2011 Pengertian dari Penyitaan menurut Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“ KUHAP ”), adalah: “.... serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya, dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan: (1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Dari ketentuan yang telah kami sampaikan di atas, dapat dilihat bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana. Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut akan segera dikembalikan kepada orang yang berhak. Terkait pertanyaan Anda mengenai akibat hukum dari penyitaan terhadap benda tersebut, menurut ketentuan Pasal 44 KUHAP disebutkan: (1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. (2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga. Ketentuan di atas senada dengan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (“ PERKAP Nomor 10 Tahun 2010 ”), yang menyatakan sebagai berikut: (1) Barang bukti temuan yang telah disita penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib diserahkan kepada PPBB*. (2) PPBB yang menerima penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pencatatan ke dalam buku register dan disimpan pada tempat penyimpanan barang bukti. (3) Dalam hal barang bukti temuan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan, dapat diambil tindakan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana. (4) Dalam hal barang bukti temuan berupa narkotika jenis tanaman, dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib dimusnahkan sejak saat ditemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. *Catatan: PPBB adalah Pejabat Pengelola Barang Bukti Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa benda yang disita tersebut untuk sementara waktu akan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan ini hanya bersifat sementara, sampai benda tersebut dianggap sudah tidak diperlukan lagi dalam proses pemeriksaan atau menunggu perkara berkekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 46 KUHAP disebutkan: (1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. (2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Pada tahap penyidikan barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai pihak yang berhak. Dalam Pasal 23 PERKAP Nomor 10 Tahun 2010 , disebutkan: Barang bukti yang disita dan disimpan di tempat khusus hanya dapat dipinjam pakaikan kepada pemilik atau pihak yang berhak. Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap barang yang disita akan dikembalikan kepada orang yang berhak. Tetapi jika benda tersebut dianggap berbahaya, akan disita oleh negara untuk dimusnahkan ataupun dirusakkan agar tidak lagi dapat dipakai. Demikian yang dapat kami sampaikan, kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda untuk mengambil langkah hukum selanjutnya. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia kuhap barang sitaan penyitaan barang bukti" }
{ "from": "human", "value": "Apabila seseorang ditahan dan dalam surat penahanan dicantumkan pasal yang disangkakan kepada tersangka, apakah penyidik wajib membuktikan pasal yang dikenakan ke tersangka? Dan bagaimana apabila ternyata pasal tersebut tidak sesuai dengan perbuatan/kesalahan orang tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Jadi, penahanan tidak hanya dapat dilakukan oleh penyidik tetapi juga penuntut umum dan hakim. KLINIK TERKAIT 5 Ciri Pinjol Legal yang Harus Kamu Tahu 20 Mar 2023 Pinjol Ilegal Tak Usah Dibayar, Benarkah? 28 Feb 2023 Diteror Pinjol Buat Bayar Utang, Lakukan Langkah Ini 06 Feb 2023 Jerat Hukum Pinjol Ilegal yang Sebar Data Pribadi 08 Des 2022 Oleh karena Anda menyinggung mengenai penyidik dan tersangka, maka kami asumsikan bahwa proses pemeriksaan masih dalam tahap penyidikan. Seorang tersangka ditahan oleh penyidik apabila adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana ( Pasal 21 ayat [1] KUHAP ). Selain itu, perlu diingat bahwa penahanan tersangka juga harus didasarkan adanya bukti yang cukup. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perintah penahanan oleh penyidik dilakukan dengan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan ( Pasal 21 ayat [2] KUHAP ). Tembusan surat perintah penahanan harus diberikan kepada keluarga tersangka ( Pasal 21 ayat [3] KUHAP ). Terhadap pasal yang didakwakan kepada tersangka bukan merupakan kewajiban penyidik, serta juga bukan kewajiban tersangka (lihat Pasal 66 KUHAP ). Pihak yang harus membuktikan pasal yang dikenakan/didakwakan kepada tersangka adalah penuntut umum. Setelah penyidik melakukan proses penyidikan, maka penuntut umum menerima berkas penyidikan perkara untuk selanjutnya dibuat surat dakwaan sebagai dasar penuntutan di sidang pengadilan ( Pasal 14 huruf a, huruf d, dan huruf g KUHAP ). Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 387), surat dakwaan adalah surat yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan ( Pasal 1 angka 15 KUHAP ). Akan tetapi, kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaan memiliki pengecualian. Misalnya, perkara tersebut merupakan tindak pidana korupsi (pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima gratifikasi) yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Sedangkan, jika nilainya kurang dari Rp10 juta barulah merupakan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan sebagaimana diatur Pasal 12B ayat [1] UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”). Selain itu untuk tindak pidana korupsi, terdakwa memang memiliki hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi yang diatur dalam Pasal 37 UU 20/2001 : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Apabila dakwaan penuntut umum tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa, berarti dakwaan tidak terbukti sehingga hakim seharusnya memberi putusan bebas sebagaimana diatur Pasal 191 ayat (1) KUHAP : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Jadi, pihak yang harus membuktikan dakwaan kepada terdakwa adalah penuntut umum. Apabila dakwaan kepada terdakwa tidak terbukti, maka dia harus dibebaskan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi penahanan" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah Debitor sebagai salah satu subjek dalam kepailitan dapat melakukan perbuatan hukum dalam proses kepailitan? 2. Bagaimana akibat hukumnya jika Debitor tetap melakukan perbuatan hukum, dalam artian melakukan perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor tersebut secara rata? Sedangkan di Pasal 10 UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa Debitor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Peran OJK sebagai Pemohon Pailit Perusahaan Asuransi 15 Agt 2023 Dapatkah Mengajukan PKPU Setelah Permohonan Pailit Ditolak Pengadilan? 15 Nov 2016 Akibat Kepailitan Perusahaan Induk Terhadap Perusahaan Cabang 31 Okt 2016 Kewenangan Kurator dalam Membereskan Harta Pailit Berupa Saham 17 Okt 2016 Intisari: Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan dan selama kepailitan Debitor telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, Debitor sudah tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang meliputi kekayaannya. Akibat hukum jika Debitor tetap melakukan perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor adalah tindakan Debitor tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Akibat Kepailitan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) . Akibat dari kepailitan adalah debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan . [1] Debitor dalam Proses Kepailitan Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak putusan pernyataan pailit diucapkan dan selama kepailitan, Debitor telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, Debitor sudah tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang meliputi kekayaannya termasuk yang diperoleh selama kepailitan. Hal ini juga ditegaskan dalam Paragraf 9 Penjelasan Umum UU PKPU yang menyatakan: Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum , menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Selanjutnya terhadap pertanyaan Anda yang kedua, akibat hukum jika Debitor tetap melakukan perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor adalah tindakan Debitor tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini karena yang berwenang untuk melakukan pembagian pembayaran utang-utang Debitor kepada Kreditor adalah Kurator berdasarkan prinsip keseimbangan dalam Kepailitan ( Pari Passu Pro Rata Parte ) dengan memperhatikan adanya kreditur-kreditur yang haknya didahulukan (Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis). [2] Yang dimaksud dengan \" pro rata \", adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing. [3] Jika Perbuatan Hukum Debitor Merugikan Kreditor Sebagai informasi, jika perbuatan hukum yang Debitor lakukan sebelum putusan pernyataan pailit itu diucapkan merugikan Kreditor, maka berlaku Pasal 41 UU KPKPU : (1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. Akibat hukumnya, setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas. Jika orang tersebut tidak dapat mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi kepada harta pailit. [4] Implikasi Pidana Tindakan Debitor yang Menggunakan Harta Pailit Selanjutnya, karena Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, [5] maka tindakan Debitor melakukan pembayaran dengan menggunakan harta pailit yang berstatus sita umum juga dapat berimplikasi secara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Pasal-pasal KUHP tentang perbuatan merugikan pemiutang ( schuldeischer ) atau orang yang mempunyai hak (rechtthebbende) dalam keadaan pailit ( Pasal 396-Pasal 405 KUHP ). Selanjutnya, Kurator berdasarkan kewenangannya dapat meminta kepada Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, untuk menempatkan Debitor untuk ditahan baik di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri. [6] Selanjutnya menyorot soal Pasal 10 UU KPKPU yang Anda sebut, berikut bunyi lengkapnya: (1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor , kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk: a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor ; atau b. menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi: 1) pengelolaan usaha Debitor; dan 2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan, Pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh Pengadilan. Jadi, kami luruskan bahwa yang berhak melakukan pengajuan permohonan sita jaminan terhadap kekayaan Debitor kepada Pengadilan adalah Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan dan bukan oleh Debitor . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . [1] Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU [2] Pasal 176 dan Pasal 189 UU KPKPU [3] Penjelasan Pasal 176 huruf a UU KPKPU [4] Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU KPKPU [5] Pasal 1 angka 1 UU KPKPU [6] Pasal 93 ayat (1) UU KPKPU perdata klinik hukumonline sita jaminan kredit pailit kurator debitor hukumonline piutang pengadilan niaga acara peradilan kreditor penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan hukum klinik utang perusahaan pidana" }
{ "from": "human", "value": "PKPU telah berakhir dan disepakati perdamaian yang menyatakan si Debitur (Koperasi) membayar paling lambat bulan Agustus ini. Tapi, kalau si Debitur sampai saat ini hanya membayar beberapa orang saja dari ribuan Kreditur (anggota Koperasi) dan belum membayar ke semua Kreditur hingga lewatnya batas waktu tanpa adanya kejelasan, apa yang bisa diupayakan oleh si Kreditur? Benarkah langsung otomatis bisa disebut pailit atau harus berproses lagi di Pengadilan? Kemudian jika benar-benar pailit, bagaimana perhitungannya nanti? Benarkah Kreditur hanya mendapatkan sisa-sisa saja? Lalu, bisakah kami melaporkan ke Polisi atas dugaan penipuan atas kejadian ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Batas Waktu Kerja Lembur 08 Jun 2023 Masalah Pemotongan Waktu Kerja Lembur Karena Melaksanakan Ibadah 19 Mar 2013 Ketentuan Waktu dan Upah Kerja Lembur di Sektor Tertentu 20 Feb 2013 Sanksi Pidana Jika Pengusaha Melanggar Ketentuan Jam Istirahat Pekerja 09 Jan 2013 Jika Debitur Lalai Memenuhi Isi Perdamaian Dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”), Debitur wajib mengajukan rencana perdamaian kepada para Krediturnya untuk kemudian dilakukan pemungutan suara terhadap rencana perdamaian sesuai dengan ketentuan Pasal 281 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) . Perdamaian menjadi sah dan mengikat setelah disahkan oleh Pengadilan [1] dan terhadap pengesahan tersebut tidak diajukan kasasi atau diajukan kasasi namun ditolak. [2] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Setelah perdamaian disahkan dan telah berkekuatan hukum tetap, maka Debitur wajib melaksanakan isi perdamaian tersebut. Jika kemudian ternyata Debitur tidak melaksanakan isi perdamaian atau melaksanakan namun tidak sesuai dengan isi perdamaian (Debitur hanya melaksanakan pembayaran kepada beberapa kreditur saja) atau dengan kata lain Debitur lalai, maka sekaligus menjawab pertanyaan pertama, kreditur yang tidak menerima pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran dalam perdamaian tersebut dapat mengajukan upaya hukum pembatalan perdamaian , hal ini diatur dalam Pasal 291 jo . Pasal 170 dan Pasal 171 UU KPKPU . Pasal 170 ayat (1) dan (2) UU KPKPU Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut . Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. Dalam hal diajukan pembatalan perdamaian, Pengadilan Niaga kemudian memberikan kelonggaran kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 hari setelah putusan pemberian kelonggaran itu diucapkan. [3] Selanjutnya menjawab pertanyaan kedua, apakah Debitur otomatis pailit jika lalai dalam melaksanakan isi perdamaian? Anda bisa merujuk bunyi ketentuan Pasal 171 UUKPKPU yang menyatakan: Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit. Dengan demikian, jika Debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian, maka Debitur tidak otomatis menjadi pailit dan perdamaian batal, namun harus diajukan terlebih dahulu pembatalan perdamaian ke Pengadilan Niaga. Jika dalam pemeriksaan pembatalan perdamaian, majelis hakim mengabulkannya, maka debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, kemudian rencana perdamaian juga tidak bisa diajukan kembali. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 291 ayat (2) dan Pasal 292 UU KPKPU : Pasal 291 ayat (2) UUKPKPU Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit . Pasal 292 UUKPKU Dalam suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian . Sehingga menjawab pertanyaan ketiga, karena Debitur dinyatakan pailit, maka Kreditur harus mengajukan kembali tagihan kepada Kurator untuk kemudian diverifikasi dan akan dimasukkan dalam daftar piutang. Hal ini diatur dalam Pasal 115 dan Pasal 117 UU KPKPU : Pasal 115 UUKPKU Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Atas penyerahan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor berhak meminta suatu tanda terima dari Kurator. Pasal 117 UUKPKPU Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. Dalam rapat pencocokan piutang akan dibacakan daftar piutang yang diakui sementara dan yang dibantah. Lalu Kreditur dapat membantah kebenaran piutang, adanya hak untuk didahulukan atau hak untuk menahan suatu benda. Jika tidak ada kesepakatan dalam daftar piutang, Hakim Pengawas dapat menunda rapat dan menentukan rapat selanjutnya selama 8 hari sejak ditunda. Jika akhirnya Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan pihak-pihak yang berselisih mengenai daftar piutang, maka para pihak dapat menyelesaikan melalui pengadilan atau yang sering disebut renvoi procedure . [4] Apabila daftar piutang telah final, maka biasanya Kurator akan membuat daftar piutang tetap yang nanti akan digunakan sebagai dasar pembagian kepada kreditur. Pembagian kepada Para Kreditur Kembali menjawab pertanyaan Anda, apakah kreditur akan mendapat sisa-sisa ? Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa perhitungan pembagian kepada para kreditur sesuai dengan hasil pemberesan harta pailit yang akan dibayarkan secara proporsional kecuali terhadap tagihan-tagihan yang memang menurut undang-undang harus didahulukan ( preferen ) atau tagihan-tagihan yang dijamin dengan jaminan kebendaan ( separatis ). Hal ini pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1131, 1132, dan 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Kemudian berdasarkan penjelasan tersebut, besarnya pembagian kepada Kreditur tergantung beberapa hal yaitu : Apakah hasil pemberesan harta pailit mencukupi untuk menutup seluruh utang kreditur atau tidak? Artinya, besar atau kecilnya hasil pemberesan akan berbanding lurus dengan nilai pembayaran terhadap para Kreditur, semakin besar hasil pemberesan maka akan semakin besar proporsi pembayaran kepada para Kreditur, begitu pula sebaliknya. Apakah tagihan Kreditur termasuk tagihan yang didahulukan (kreditur preferen) atau tagihan yang dijamin dengan hak kebendaan (kreditur separatis)? Artinya, jika kreditur tersebut termasuk kreditur di antara keduanya, maka pembayaran dilakukan, sesuai ketentuan kedudukannya. Baca juga: Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan Sehingga, jika Kreditur bukanlah kreditur preferen dan bukan kreditur separatis, maka bisa dibilang statusnya sebagai kreditur konkuren yang pembayarannya bisa berasal dari 2 sumber: Pembayaran dari hasil pemberesan benda-benda yang tidak menjadi jaminan kreditur separatis setelah dikurangi biaya-biaya, imbalan jasa Kurator, dan pembayaran kepada kreditur preferen; Pembayaran dari hasil pemberesan benda-benda yang menjadi jaminan kreditur separatis setelah dikurangi biaya-biaya, imbalan jasa Kurator, pembayaran kepada kreditur preferen, dan pembayaran kepada kreditur separatis itu sendiri. Bisakah Debitur yang Lalai Dilaporkan ke Polisi? Kemudian mengenai laporan ke polisi, pada prinsipnya masyarakat berhak untuk mengajukan laporan pidana, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan: Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana . Namun demikian, polisi berwenang untuk menilai layak atau tidaknya laporan tersebut diterima atau tidak, hal ini tertuang pada Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan: Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk: menjamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan polisi; melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan memberikan pelayanan yang optimal bagi warga masyarakat yang melaporkan atau mengadu kepada Polri. Maka dari itu, jika Kreditur membuat laporan ke polisi atas dugaan penipuan, maka kepolisian akan mengkaji apakah laporan tersebut layak atau tidak dibuatkan laporan polisi, mengingat perdamaian dalam PKPU adalah produk putusan pengadilan, sehingga jika hanya didasarkan semata-mata perdamaian yang tidak dijalankan oleh Debitur kemungkinan besar laporan akan ditolak. Namun demikian, jika memang ditemukan unsur pidana selain karena tidak dipenuhinya perdamaian, bisa saja laporan itu diterima, sehingga di sini diperlukan kejelian dan kemampuan pelapor dalam merumuskan dasar laporan agar laporan bisa diterima. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana [1] Pasal 286 UU KPKPU [2] Pasal 288 jo . Pasal 285 ayat (4) UU KPKPU [3] Pasal 170 ayat (3) UUKPKPU [4] Pasal 124 dan 127 UUKPKPU kreditur konkuren kepailitan debitur rencana perdamaian pkpu kreditur" }
{ "from": "human", "value": "Sedikit cerita pada tahun 2016 ada teman dekat saya yang \"meminjam\" kartu kredit saya untuk membeli berbagai macam kebutuhannya, awalnya setiap bulan dia selalu membayar tagihannya tapi, pada tahun 2017 sampai sekarang (Desember 2018) dia sudah tidak membayar tagihannya. Saya sudah tagih berkali-kali tapi dia selalu mengulur waktu, saya tagih ke orang tuanya tapi tidak mau tahu dan pada bulan Juli 2018 dia mengambil laptop saya tanpa izin dan tidak dikembalikan sampai sekarang (bisa dikatakan mencuri). Apakah saya bisa melaporkannya ke pihak berwajib? Karena saya sangat dirugikan tapi sayangnya saya tidak punya bukti hanya punya saksi." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Penggunaan kartu kredit oleh teman Anda dilakukan atas dasar kesepakatan dan pengetahuan Anda. Teman Anda pada tahun 2016 sampai 2017 membayar tagihan pemakaian kartu kepada Anda, namun sejak tahun 2017 sampai 2018 ia masih menggunakan kartu kredit tapi tidak membayar tagihannya kepada Anda. Hal itu berarti teman Anda telah melakukan wanprestasi perjanjian (tidak membayar tagihan kartu kredit yang ia pakai pada Anda) dan Anda berhak memperoleh ganti kerugian. Atas tindakan teman Anda tersebut, Anda tidak dapat melaporkan perbuatannya ini ke polisi melainkan menggugatnya melalui pengadilan atas dasar perbuatan wanprestasi. Tetapi, tindakan teman Anda yang mengambil laptop Anda dapat dilaporkan ke polisi atas dasar tindak pidana pencurian. Lalu bagaimana jika alat bukti yang Anda miliki hanya keterangan saksi dan tidak ada bukti tertulis? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ketentuan Kartu Kredit Berdasarkan informasi yang kami dapatkan melalui laman Edukasi Bank Indonesia , kartu kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu (“APMK”) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus ( charge card ) ataupun dengan pembayaran secara angsuran. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“PBI APMK”) ditegaskan bahwa pemegang kartu adalah pengguna yang sah dari APMK. Dengan demikian, Andalah pengguna yang sah dari kartu kredit tersebut dan Anda juga yang berkewajiban untuk melunasi tagihannya, meskipun teman Anda yang menggunakannya untuk berbagai macam kebutuhannya (dalam hal ini sejak teman Anda tidak lagi membayar tagihan kartu pada Anda dari tahun 2017 sampai Desember 2018). Meminjam Kartu Kredit Berkaitan dengan perbuatan teman Anda yang meminjam kartu kredit Anda, kemudian ia tidak membayar tagihannya, berikut penjelasannya: Meminjam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , sebagaimana yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, ialah: memakai barang (uang dan sebagainya) orang lain untuk waktu tertentu (kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan). Lalu apa arti meminjam menurut hukum? Perbuatan meminjam menurut hukum didasarkan pada suatu perjanjian (perpanjian pinjam meminjam) yang harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , yang berbunyi: Sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Pada kasus yang Anda tanyakan terdapat dua perjanjian. Pertama , perjanjian kredit yang dilakukan antara Anda dengan bank (menimbulkan kewajiban Anda untuk membayar tagihan kartu yang telah dipakai). Kedua , perjanjian pinjaman yang dilakukan antara Anda dengan teman Anda, yang kami asumsikan perjanjian tersebut dilaksanakan secara sukarela tanpa ada paksaan dan secara lisan (perjanjian terebut mengakibatkan teman Anda wajib untuk membayar tagihan kartu yang ia pakai pada Anda). Penggunaan kartu kredit oleh teman Anda tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan dan pengetahuan Anda. Sesuai yang Anda ceritakan bahwa teman Anda pada tahun 2016 sampai tahun 2017 membayar tagihan pemakaian kartu kepada Anda, namun sejak tahun 2017 sampai 2018 teman Anda masih menggunakan kartu kredit dan ia tidak membayar tagihannya kepada Anda. Hal itu berarti teman Anda telah melakukan wanprestasi perjanjian (tidak membayar tagihan kartu kredit yang ia pakai pada Anda) dan Anda berhak memperoleh ganti kerugian. Wanprestasi diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata : Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh teman Anda, Anda tidak dapat melaporkan perbuatannya ini ke polisi karena ini merupakan ranah hukum perdata dan menurut Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Namun, Anda dapat mengajukan gugatan wanprestasi pada pengadilan. Mengambil Laptop Tanpa Izin dan Tidak Dikembalikan Tetapi, perbuatan teman Anda yang mencuri laptop dapat Anda laporkan pada polisi karena mencuri merupakan perbutan yang dapat di pidana. Pencurian diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 900 ribu. [1] R. Soesilo berpendapat dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) sebagaimana kami rangkum, bahwa “pencurian biasa”, elemen-elemennya adalah sebagai berikut: Perbuatan mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Yang diambil harus sesuatu barang, Barang di sini adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang. Dalam pengertian barang, masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis; Barang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain; Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak); Berdasarkan penjelasan dari R. Soesilo tersebut, teman Anda dapat dipidana karena melakukan pencurian (mengambil laptop tanpa sepengetahuan Anda) apabila memenuhi unsur-unsur dari Pasal 362 KUHP. Kedudukan Saksi Sebagai Bukti Apakah Anda dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan (perdata) serta melaporkan (pidana) teman Anda karena pencurian ke polisi hanya dengan saksi saja? Kedudukan Saksi dalam Hukum Pidana Perlu dipahami bahwa keterangan saksi (dalam hukum pidana) juga merupakan alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), alat bukti yang sah terdiri dari: keterangan saksi ; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Menurut Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali ( hal. 286), alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Sehingga Anda tetap dapat melaporkan teman Anda yang melakukan pencurian pada polisi dengan keterangan saksi yang Anda miliki. Kedudukan Saksi dalam Hukum Perdata Demikian halnya dalam hukum perdata (dalam hal ingin mengajukan gugatan perdata) keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Yang disebut alat-alat bukti berdasarkan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) tentang Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.) (“HIR”) , yaitu: bukti dengan surat; bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; sumpah. Dalam buku Yahya Harahap lainnya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (hal. 623), tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi: Sama sekali penggutan tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan atau Alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan. Lebih lanjut Yahya mengatakan bahwa salam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya , ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Menurut Yahya, pada prinsipnya alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau alat bukti tulisan, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) tentang Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Referensi : R. Soesilo.1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia.; Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika; Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Catatan : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , diakses pada 17 Desember 2018, pukul 14.00 WIB. Edukasi Bank Indonesia , diakses pada 8 Januari 2019, pukul 14.43 WIB. [1] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma 2/2012”). perbankan hukumonline perdata kartu kredit kuh perdata pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang terjadi jika mengajukan alat bukti palsu/merekayasa alat bukti untuk kelengkapan tuntutan di pengadilan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik 18 Agt 2021 Keabsahan Faksimile Sebagai Alat Bukti 13 Des 2018 E-mail Sebagai Alat Bukti Perkara Perdata 12 Des 2018 Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? 10 Nov 2011 Intisari: Kita ambil contoh salah satu alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana adalah keterangan saksi. Jika dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Jika keterangan saksi yang tidak benar itu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa harus dibebaskan. Hal ini karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab, ada baiknya kami jelaskan dulu apa saja yang menjadi alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana terbagi menjadi: [1] 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa Dari alat bukti yang sah tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami ambil salah satu contoh saja, yaitu keterangan saksi. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu [2] , termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” (setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana) . [3] Merekayasa/Memalsukan Keterangan Saksi Menyorot soal keterangan saksi yang direkayasa atau palsu, berdasarkan yurisprudensi , sebagian saja dari keterangan saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim. Demikian yang dijelaskan dalam artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan . Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Penjelasan selengkapnya tentang pasal ini dapat Anda simak artikel Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan . Dari sisi hukum positif Indonesia, berbohong pada umumnya belum dapat dikualifisir sebagai tindak pidana. Begitulah pendapat akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana . Menurut Gandjar, berbohong di pengadilan adalah tindak pidana. Lebih lanjut dapat Anda simak artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan . Contoh Misalnya dalam perkara pencurian. Sebenarnya saksi tidak mendengar adanya suara, derap langkah, atau suara-suara lain yang membuat dia bisa mengenal terdakwa. Akan tetapi, dalam persidangan, saksi mengatakan hal yang sebaliknya. Jika saksi memberikan keterangan tidak benar/palsu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa harus dibebaskan. Dengan catatan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas . [4] Hal ini karena yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . [1] Pasal 184 ayat (1) KUHAP [2] Pasal 1 angka 27 KUHAP [3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 [4] Pasal 191 ayat (1) KUHAP pengadilan hukumonline peradilan tuntutan keterangan saksi rekayasa alat bukti hukum tindak pidana klinik persidangan klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "1) UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 12 huruf A menyatakan notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat akibat dinyatakan pailit. Yang jadi pertanyaan, apa yang menjadi dasar pemikiran pasal itu? Bukankah notaris yang pailit itu hanya tidak cakap dalam lapangan hukum kekayaannya saja? Mengapa harus jabatannya (yang bergerak di bidang jasa) yang dipertaruhkan yang notabene tidak berhubungan sama sekali dengan dengan kepailitan? Padahal Pasal 22 huruf B UU Kepailitan mengecualikan dalam kepailitan (harta sita pailit) apa-apa yang didapat oleh debitor pailit dari uang jasa, penggajian dan lain-lain. 2) UU Kepailitan mengenal rehabilitasi, yang menurut saya berarti mengembalikan keadaan hukum debitor seperti semula sama dengan keadaan sebelum pailit. Dengan adanya rehabilitasi ini secara otomatis kepailitan dianggap berakhir. Pertanyaannya, apakah notaris yang diberhentikan seperti disebut di atas dapat diangkat lagi? Untuk catatan dalam hal ini UU No. 30/2004 tidak menjelaskan hal ini." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Notaris dan Pailit yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 15 Juli 2010. KLINIK TERKAIT Notaris Pengganti Pasar Modal 26 Jun 2020 Tanda Tangan PPAT Dalam Akta Sehubungan dengan Tanah 30 Okt 2017 Fungsi Garis-garis pada Akta Notaris 26 Jun 2015 Perbedaan Legalisasi dan Waarmerking Dokumen 23 Mar 2015 Intisari: Notaris diberhentikan secara tidak hormat karena dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut hemat kami, rehabilitasi debitor pailit tidak menyebabkan notaris diangkat kembali oleh Menteri. Rehabillitasi itu sendiri adalah pemulihan nama baik Debitor yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitor telah memenuhi kewajibannya. Rehabilitasi debitor pailit tidak menyebabkan notaris diangkat kembali oleh Menteri karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sendiri hanya mengatur mengenai pengangkatan kembali notaris untuk notaris yang diberhentikan secara sementara karena dalam proses pailit, jadi bukan karena dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak ada pengaturan lainnya mengenai pengangkatan kembali notaris yang telah diberhentikan, baik secara hormat maupun tidak hormat. Oleh karena itu, menurut kami, rehabilitasi pailit tidak menyebabkan seorang notaris yang telah diberhentikan karena dinyatakan pailit dapat kembali diangkat menjadi notaris oleh Menteri. Jadi, rehabilitasi bukanlah mengembalikan keadaan hukum debitor seperti semula sama dengan keadaan sebelum pailit, melainkan hanya pemulihan nama baiknya saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. 1. Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 30/2004”) selengkapnya menyatakan: Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk mengetahui pasti dasar pemikiran pasal tersebut, maka Anda perlu membaca risalah pembahasan RUU Jabatan Notaris di DPR. Meski demikian, kami akan coba untuk memahami maksud dari Pasal 12 huruf a UU 30/2004 dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) . Dalam Penjelasan Umum UU KPKPU dinyatakan: Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Jadi, seseorang yang dinyatakan pailit menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum . Oleh karena itu, seorang notaris yang dinyatakan pailit tidak dapat lagi menjadi notaris, yang berwenang untuk: a. membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta; b. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; d. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; e. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; f. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; g. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; h. membuat akta risalah lelang. ( Pasal 15 ayat [1] dan ayat [2] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ). Semua kewenangan notaris di atas adalah merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum menurut Hukumpedia adalah perbuatan yang memiliki akibat-akibat hukum. Seluruh kewenangan notaris di atas jelas merupakan perbuatan-perbuatan yang memiliki akibat-akibat hukum. Oleh karena itu, seorang yang dinyatakan pailit tidak bisa menjadi notaris karena ia tidak dapat melaksanakan kewenangannya pada saat ia berada dalam keadaan tidak cakap. 2. Pasal 215 UU KPKPU mengatur bahwa setelah berakhirnya kepailitan, baik karena perdamaian, pembayaran utang kepada kreditur atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat, ataupun berakhirnya kepailitan dari harta kekayaan debitur yang meninggal dunia, maka debitur atau ahli waris diperbolehkan mengajukan rehabilitasi. S etelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166, Pasal 202, dan Pasal 207 maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit . Yang dimaksud dengan rehabillitasi adalah pemulihan nama baik Debitor yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitor telah memenuhi kewajibannya. [1] Jadi, rehabilitasi bukanlah mengembalikan keadaan hukum debitor seperti semula sama dengan keadaan sebelum pailit, melainkan hanya pemulihan nama baiknya saja. Berkaitan dengan Pasal 12 UU 30/2004, diatur bahwa notaris diberhentikan secara tidak hormat karena dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut hemat kami, rehabilitasi debitor pailit tidak menyebabkan notaris diangkat kembali oleh Menteri. Hal ini karena UU 30/2004 hanya mengatur mengenai pengangkatan kembali notaris untuk notaris yang diberhentikan secara sementara karena dalam proses pailit , jadi bukan karena dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. [2] Tidak ada pengaturan lainnya mengenai pengangkatan kembali notaris yang telah diberhentikan, baik secara hormat maupun tidak hormat. Oleh karena itu, menurut kami, rehabilitasi pailit tidak menyebabkan seorang notaris yang telah diberhentikan karena dinyatakan pailit dapat kembali diangkat menjadi notaris oleh menteri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . [1] Penjelasan Pasal 215 UU KPKPU [2] Pasal 10 ayat (1) UU 30/2004 hukumonline kepailitan profesi hukum hukum klinik hukumonline notaris" }
{ "from": "human", "value": "Berdasarkan Perma 2/2015, penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari sejak sidang pertama. Apabila penyelesaian gugatan sederhana tersebut lebih dari 25 hari, apa yang akan terjadi? Apakah hasil putusan sah atau tidak? Di mana kita dapat melihat landasan hukumnya?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT10 Asas Hukum Acara Perdata, Anak Hukum Wajib Tahu!02 Mar 2023Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan via LAPS SJK25 Mei 2022Seluk Beluk Gugatan Sederhana 05 Mar 2021Cara Mempertahankan dan Membuktikan Rahasia Dagang11 Jan 2021\n\nGugatan sederhana merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana.[1]\n\nSelengkapnya, berikut ini kami rincikan kriteria gugatan sederhana:[2]\n\nPenggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama;Penggugat dan tergugat berdomisili dalam daerah hukum yang sama. Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka tidak bisa diajukan gugatan sederhana. Lain halnya jika penggugat berada di luar domisili tergugat, penggugat menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di domisili tergugat dengan surat tugas institusi penggugat;Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap sidang dengan atau tanpa didampingi kuasa, kuasa insidentil, atau wakil dengan surat tugas institusi penggugat.Jenis perkara berupa cidera janji dan/ataupun perbuatan melawan hukum, kecuali sengketa atas tanah atau perkara yang penyelesaian sengketanya masuk yurisdiksi pengadilan khusus;Nilai gugatan materiil paling banyak Rp500 juta.\nBaca juga: Seluk Beluk Gugatan Sederhana\nHukumnya Jika Melebihi Lamanya Penyelesaian Gugatan Sederhana\nMengenai lamanya penyelesaian gugatan sederhana, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Perma 2/2015 berbunyi sebagai berikut:\n\nPenyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari sejak hari sidang pertama.\nKetentuan ini harus diterapkan oleh hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara gugatan sederhana ini. Apabila dilanggar, maka perkara gugatan sederhana tersebut kehilangan maknanya. Sehingga berakibat gugatan yang sedang diperiksa menjadi tidak sederhana lagi. Secara otomatis, perkara tersebut menjadi perkara gugatan perdata biasa dan akan diterapkan ketentuan hukum acara perdata biasa.\n\nKemudian bagaimana dengan putusan dari gugatan sederhana yang penyelesaiannya melebihi 25 hari? Menurut pandangan kami, karena sudah tidak termasuk perkara gugatan sederhana, putusan yang bersangkutan tetap sah dan mengikat sebagai putusan perkara perdata biasa. Sehingga apabila penggugat atau tergugat keberatan atas putusan, tidak lagi bisa digunakan upaya hukum berdasarkan Perma 2/2015 dan perubahannya.\n\nSebab seharusnya sedari awal, hakim memeriksa materi gugatan sederhana dan menilai sederhana atau tidaknya pembuktian. Jika dalam pemeriksaan, hakim berpendapat gugatan tidak termasuk gugatan sederhana, hakim lalu mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara ke penggugat.[3]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.\n\n[1] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (“Perma 4/2019”)[2] Pasal 3 dan 4 Perma 4/2019[3] Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, 1. Apakah dimungkinkan \"walk out\" dalam persidangan yang sedang berlangsung? 2. Apabila itu terjadi dan dilakukan oleh saksi, penasihat hukum, atau bahkan hakim, apakah mungkin dan apa akibat hukumnya? 3. Apa implikasi pada persidangan yang diwarnai \"walk out\"?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Dasar Hukum Penyebutan “Yang Mulia” di Sidang MKD 16 Des 2015 Posisi Duduk Panitera Pengganti dalam Persidangan 08 Des 2014 Atribut yang Wajib Dipakai Hakim Saat Bersidang 21 Agt 2014 Kondisi-kondisi yang Menyebabkan Sidang Ditunda 25 Feb 2014 Intisari: Walk out adalah tindakan merugikan diri sendiri. Sebagai contoh, jika yang walk out itu adalah penasihat hukum, akibat hukumnya adalah hilangnya kesempatan yang diberikan untuk menggali kebenaran fakta-fakta persidangan yang seharusnya bisa didapat dari keterangan para saksi di persidangan. Menggali fakta-fakta persidangan sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi pembelaan oleh penasihat hukum. Sehingga jika tidak dilakukan, yang rugi adalah terdakwa sendiri. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ibarat pertandingan olah raga, persidangan (dalam hal ini kami asumsikan persidangan perkara pidana) adalah arena untuk membuktikan kebenaran dari masing-masing pihak yang berselisih. Antara Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum, negara, masyarakat dan korban kejahatan melawan penasihat hukum yang mewakili kepentingan terdakwa. Aturan telah dibuat dengan sangat ketat dan semua pihak wajib mematuhinya. Pertandingan dipimpin oleh hakim sebagai wasit. Sebagaimana pertandingan, karena merasa tidak puas, ada kalanya salah satu pihak keluar dari arena pertandingan sebelum pertandingan usai ( walk out ). Hal ini tentu ada konsekuensi hukumnya. Aksi Walk Out oleh Saksi Saksi adalah pihak yang didengar keterangannya di persidangan. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. [1] Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 , Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, yakni tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP . Memberikan keterangan pada persidangan adalah wajib hukumnya bagi seluruh warganegara. Menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana. [2] Sehingga tidak ada alasan bagi saksi untuk walk out . Jika saksi memberikan keterangan sesuai dengan yang dilihat, didengar dan dialaminya, tidak ada sanksi hukum bagi saksi. Aksi Walk Out oleh Penasihat Hukum Jika yang walk out itu adalah penasihat hukum, akibat hukumnya adalah hilangnya kesempatan yang diberikan untuk menggali kebenaran fakta-fakta persidangan yang seharusnya bisa didapat dari keterangan para saksi di persidangan. Menggali fakta-fakta persidangan sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi pembelaan oleh penasihat hukum. Sehingga jika tidak dilakukan, yang rugi adalah terdakwa sendiri. Jika Terdakwa keberatan dengan sikap penasihat hukum tersebut, Terdakwa bisa meminta kepada Majelis Hakim untuk mengganti penasihat hukumnya. Juga, Terdakwa bisa melaporkan si penasihat hukum (advokat) kepada organiasi advokat tempat si penasihat hukum terdaftar menjadi anggota karena si penasihat hukum sudah menelantarkan Terdakwa di persidangan. [3] Sebagai contoh suatu persidangan dimana penasihat hukumnya melakukan walk out adalah persidangan perkara Anggodo Widjojo di Pengadilan Tipikor sebagaimana diberitakan dalam artikel Rekaman Tak Ada, Pengacara Anggodo Walk Out . Aksi ini dilakukan oleh Tim Penasihat Hukum O.C. Kaligis lantaran Penuntut Umum belum bisa menghadirkan rekaman percakapan. Namun Kaligis dan tim penasihat hukum Anggodo tak sepenuhnya meninggalkan ruang sidang. Mereka duduk di kursi pengunjung. Aksi Walk Out oleh Hakim Hakim dilarang walk out . Jika keamanan persidangan dan kemanan pribadi para hakim tidak terjamin, sidang dihentikan dan ketua majelis hakim meminta kepada Ketua Mahkamah Agung RI (melalui Ketua Pengadilan Negeri) agar lokasi persidangan dipindahkan ke pengadilan di kota lain. Jika salah satu anggota majelis hakim walk out , ketua majelis hakim meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengganti hakim tersebut dengan hakim lain. Jika seluruh majelis hakim yang walk out , ketua Pengadilan wajib mengganti majelis hakim tersebut dengan hakim lain. Dalam praktik, sangat jarang hakim melakukan walk out . Yang pernah terjadi adalah hakim menghentikan persidangan karena faktor keamanan yang tidak terjamin dan persidangan dipindahkan ke pengadilan di kota lain. Atau, hakim mengundurkan diri, karena ada benturan kepentingan atau conflict of interest dengan salah satu pihak yang berperkara. [4] DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ; 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; 5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ; 6. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 . [1] Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) [2] Pasal 224 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [3] Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat [4] Pasal 157 ayat (1) KUHAP pengadilan klinik hukumonline saksi korban hakim sidang penuntut umum hukumonline profesi hukum jaksa persidangan acara peradilan google terdakwa hukum klinik penasihat hukum pembelaan pidana" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimanakah bila perusahaan tidak melakukan perjanjian kerja terhadap karyawannya dikarenakan perusahaan masih baru beroperasi? Apa fungsi dan tugas utama seorang legal di perusahaan pengembang property perumahan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan “tidak melakukan perjanjian kerja terhadap karyawan” adalah tidak adanya perjanjian kerja yang tertulis antara pekerja dengan perusahaan. KLINIK TERKAIT Sahkah Perjanjian Kerja secara Lisan? 16 Jul 2024 Perusahaan Tidak Memberikan Salinan Kontrak Kerja kepada Pekerja, Bolehkah? 01 Des 2023 Masalah Ganti Rugi dan Penahanan Ijazah Karena Pengunduran Diri 04 Okt 2012 Karena Buta Hukum, 10 Tahun Berstatus Karyawan Kontrak 27 Sep 2012 Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis. Berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PKWT”). Dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa PKWT harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”). Selain itu, dalam hal perusahaan tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis (PKWTT) dengan pekerjanya, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan ( Pasal 63 UU Ketenagakerjaan ). Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. Jadi, dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, memang tidak harus dilakukan dengan perjanjian kerja tertulis, akan tetapi perusahaan wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerjanya. Kami asumsikan yang Anda maksud “legal di perusahaan” adalah legal officer . Mengenai lingkup pekerjaan seorang legal officer di perusahaan, telah kami bahas di dalam artikel Tugas Legal Officer . Di dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain sebagai berikut: Lingkup pekerjaan seorang legal officer atau staf hukum perusahaan akan bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan dan akan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan perusahaan tersebut. Jimmy Joses Sembiring, S.H., M.Hum. dalam buku “ Legal Officer, Panduan Mengelola Perizinan, Dokumen, HaKI, Ketenagakerjaan dan Masalah Hukum di Perusahaan ” (hal. 1) menjelaskan bahwa posisi legal officer dalam suatu perusahaan tidak hanya mengurus masalah internal perusahaan, tapi juga mengurus masalah eksternal perusahaan. Lebih lanjut, Jimmy Joses menjelaskan bahwa tugas seorang legal officer untuk perusahaan yang berskala besar dapat dibagi menjadi beberapa bagian, seperti legal officer yang bertugas menangani dokumen dan perizinan atau legal officer yang bertugas menangani permasalahan hukum, baik untuk masalah perdata maupun pidana. Namun, di perusahaan skala menengah, legal officer menangani semua hal termasuk dokumen dan permasalahan hukum. Selain tugas-tugas tersebut di atas, legal officer juga berwenang melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan operasional perusahaan (Jimmy Joses Sembiring, hal. 4). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja" }
{ "from": "human", "value": "Saya dan istri adalah sesama PNS dan telah menikah selama 4 tahun dan dikaruniai anak berumur 3 tahun. Kini saya berencana akan menggugat cerai istri karena ketidakcocokan dalam rumah tangga. Yang saya tanyakan, bagaimana dengan gaji saya dan istri? Saya dengar apabila PNS bercerai maka gaji PNS saya akan dipotong dan diberikan pada istri, benarkah itu? Padahal kami sesama PNS dan istri sebagai PNS juga memiliki pemasukan tetap sendiri, masakan gaji tetap dipotong? Mohon bantuannya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Kami turut prihatin atas masalah rumah tangga Anda. Idealnya suatu perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, kami sarankan Anda lakukan upaya-upaya menyelesaikan permasalahan Anda dengan Istri Anda tanpa melalui perceraian. KLINIK TERKAIT Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai 19 Mei 2023 Hak Istri Atas Gaji Suami 01 Des 2011 Bagaimana Prosedur Cerai Jika Suami Anggota Militer? 17 Sep 2011 Izin Cerai Anggota Polri 08 Feb 2011 Menjawab pertanyaan Anda, informasi mengenai pemotongan gaji suami yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) bila menceraikan istrinya yang juga PNS adalah benar. Hal tersebut diatur dalam PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) sebagaimana telah diubah oleh PP No. 45 Tahun 1990 . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal 8 ayat (1) PP 10/1983 menyatakan ” apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya. ” Jadi kewajiban untuk menyerahkan sebagian gaji tersebut hanya timbul bila perceraian adalah atas kehendak suami. Dalam hal ini, Anda dianggap sebagai pihak yang menghendaki perceraian, karena Andalah yang berencana menggugat cerai Istri Anda. Padahal “ Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya ” (lihat Pasal 8 ayat [5] PP 10/1983 ). Lebih lanjut Pasal 8 ayat (2) PP 10/1983 menyatakan “ Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya. ” Jadi, bila Anda menggugat cerai Istri Anda, maka sepertiga dari gaji Anda sebagai PNS akan dibagi untuk menghidupi Istri Anda. Selain itu, Anda juga harus membagi sepertiga gaji Anda untuk menghidupi Anak Anda. Sedangkan, Anda hanya berhak menerima sepertiga dari gaji Anda sebagai PNS, karena duapertiga gaji Anda harus diberikan kepada bekas Istri dan Anak Anda. Sebagai tambahan, ketentuan Pasal 8 ayat (7) PP 10/1983 menyatakan bahwa “ Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi , maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi. ” Jadi, kewajiban untuk memberikan sepertiga gaji Anda kepada Istri Anda akan hapus bila Istri Anda kawin lagi dengan orang lain.  Baca juga artikel Hak Isteri atas Gaji Suami: Gaji Pokok atau Penghasilan? 2. Kewajiban untuk memberikan sebagian dari gaji Anda kepada bekas Istri Anda tetap ada walaupun Istri Anda juga menerima gaji sebagai pemasukan tetap. Hal ini merupakan kewajiban yang diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu: DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ; 2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ." }
{ "from": "human", "value": "Jika seorang aparat polisi sedang menjalankan tugas berkata kasar (anjing kau) lalu saya balas (kau anjing) apakah aparat polisi bisa dipidana? Apakah saya juga bisa dipidana karna membalas ucapan polisi itu?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Polisi Berkata Kasar saat Bertugas Seorang anggota kepolisian berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tindakan mengatakan kata-kata kasar termasuk kedalam tindak pidana berdasarkan Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp 4,5 juta. [1] Menurut R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.228), mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. Agar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ). Apabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum: dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri; bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina. Lebih lanjut R. Soesilo menjelasakan penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan. Lebih lanjut dijelaskan oleh R Soesilo perbuatan penghinaan ringan tersebut contohnya adalah misal A di tempat umum mengatakan B adalah anjing, meskipun B pada waktu itu tidak ada di situ dan tidak mendengar sendiri, tokoh A dapat dihukum. Berdasarkan penjelasan di atas, jika polisi dan Anda menggunakan kata kasar (berkata anjing) maka dapat dikatakan termasuk perbuatan penghinaan ringan. Jika kita berpedoman pada kode etik kepolisian, dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”) membagi ruang lingkup etika polisi menjadi: Etika Kenegaraan; Etika Kelembagaan; Etika Kemasyarakatan; dan Etika Kepribadian Dari keempat etika di atas, yang berkaitan dengan perilaku polisi yang berkata-kata kasar (mengatai Anda dengan sebutan anjing) adalah Etika Kepribadian. Pada artikel Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran dijelaskan bahwa Etika Kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan Anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan, ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Etika Kepribadian memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam hubungan: kehidupan beragama; kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum; dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Merujuk di artikel yang sama, berarti apabila anggota polisi melontarkan kata-kata kasar kepada Anda dapat dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (“SPK”) pada kantor polisi terdekat sehingga dapat diproses menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum dan kemungkinan polisi tersebut bisa dipidana. Sedangkan untuk proses pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan, akan ditindaklanjuti secara terpisah oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (“Divpropam Polri”). Membalas Perkataan Kasar Polisi Sebagai manusia tentunya Anda memiliki emosi, namun Anda perlu mengontrol emosi Anda. Terhadap perbuatan polisi yang berkata kasar tanpa alasan dapat Anda laporkan sesuai penjelasan di atas. Apabila Anda membalas polisi tersebut dengan kata-kata kasar yang sama, Anda juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 315 KUHP. Karena Anda telah sama melontarkan perkataan kasar yang termasuk kedalam penghinaan ringan. Menurut hemat kami, harusnya masalah ini tidak ditanggapi secara serius sampai ke jalur pidana. Masalah ini hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin dan kekeluargaan karena hukum pidana merupakan jalan terakhir ( ultimum remedium ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP [1] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma 2 Tahun 2012”) hukumonline pidana online kepolisian profesi hukum hukum klinik hukumonline polisi pelanggaran" }
{ "from": "human", "value": "Salam hormat. Saya mohon bantuan sebelumnya dari tim klinik hukumonline. Saya hendak membangun rumah tinggal dengan menggunakan uang pinjaman bank, kemudian saya memilih (sebut saja A) untuk melaksanakan pembangunan rumah saya tersebut. Saya dan A membuat perjanjian bermaterai dan ada saksi-saksinya. Di perjanjian tersebut terdapat beberapa tahapan dimana saya diwajibkan untuk menyetorkan uang kepada A. Uang tersebut telah saya setorkan kepada Sdr. A. Nahas, belum sempat rumah saya dikerjakan, Sdr. A meninggal dunia terlebih dahulu. Apa langkah yang harus saya ambil? Apakah saya bisa meminta uang saya untuk dikembalikan oleh ahli waris dari Sdr. A ataukah uang saya musnah? Sedangkan saya berhutang ke bank juga untuk mendapatkan dana tersebut. Kami mohon bantuannya kepada tim hukum online. Terima kasih atas perhatian dan bantuannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Suatu persetujuan (perjanjian) adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) . Menurut J. Satrio dalam buku Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya (hal. 50), perikatan (yang dilahirkan melalui perjanjian ini) dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu: KLINIK TERKAIT Wajibkah Melunasi Utang Saudara Kandung atau Keluarga? 28 Apr 2023 Menentukan Bunga dan Denda dalam Wanprestasi 08 Okt 2013 Gagal Menyerahkan Seluruh Pesanan Pada Waktunya, Termasuk Penipuan? 08 Okt 2012 Jika Utang Pewaris Lebih Besar dari Harta Warisan 10 Mar 2012 1. Untuk memberikan sesuatu; 2. Untuk melakukan/berbuat sesuatu ; 3. Untuk tidak melakukan sesuatu. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam kasus Anda, maka perikatan yang terjadi adalah perikatan untuk melakukan sesuatu. Perikatan yang tercipta karena perjanjian itu dapat berakhir karena: (lihat Pasal 1381 KUHPer ) 1. pembayaran; 2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. pembaruan utang; 4. perjumpaan utang atau kompensasi; 5. percampuran utang; 6. pembebasan utang; 7. musnahnya barang yang terutang; 8. kebatalan atau pembatalan; 9. berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan 10. lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri. Melihat pada ketentuan di atas, pada dasarnya, meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian tidak serta merta membuat kewajiban pihak tersebut hilang/tidak perlu dilakukan. Mengenai permasalahan Anda, Anda dapat membahas masalah ini terlebih dulu kepada para ahli waris dari si A. Ini karena ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari pewaris, sekaligus berkewajiban membayar utang dan kewajiban-kewajiban pewaris ( Pasal 833 dan Pasal 1100 KUHPer ). Ini dinamakan hak saisine . J. Satrio, S.H. dalam buku Hukum Waris (hal. 87) mengatakan bahwa hak saisine adalah hak daripada ahli waris untuk tanpa berbuat suatu apa, otomatis/demi hukum menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum kekayaan. Hak dan kewajiban pewaris (secara otomatis menjadi hak dan kewajiban ahli waris), sekalipun si ahli waris belum/tidak mengetahui adanya pewarisan. Sehubungan dengan itu, maka dalam hal adanya suatu hubungan hukum antara dua orang yang telah ditetapkan oleh suatu keputusan pengadilan, maka matinya salah satu pihak, tidak menghilangkan atau membatalkan hubungan hukum tersebut, tetapi hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tersebut beralih kepada para ahli waris. Jika para ahli waris menolak untuk memberikan kembali uang Anda, Anda dapat menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi . P erlu diketahui bahwa wujud wanprestasi itu ada 3 (tiga) sebagaimana dijelaskan oleh J. Satrio ( J. Satrio: Hukum Perjanjian, hal. 122), yaitu: 1. debitur sama sekali tidak berprestasi; 2. debitur keliru berprestasi; 3. debitur terlambat berprestasi. Perlu diingat bahwa dalam hal perikatan tersebut timbul dari suatu perjanjian timbal balik (sehingga pada kedua belah pihak ada kewajiban prestasi dari yang satu kepada yang lain) maka sebelum kreditur dapat menuntut debitur atas dasar wanprestasi, harus dipenuhi syarat lebih dahulu, yaitu kreditur sendiri harus telah memenuhi kewajibannya terhadap lawan janjinya ( J. Satrio: Hukum Perjanjian , 134). Yang mana dalam hal ini Anda telah memenuhi kewajiban Anda , yaitu dengan menyerahkan sejumlah uang . Kemudian, akibat dari wanprestasi itu sendiri antara lain ( J. Satrio: Hukum Perjanjian , hal 144): 1. Kreditur berhak menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ( Pasal 1236 dan Pasal 1243 KUHPer ). 2. Sejak debitur wanprestasi, r i siko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur ( Pasal 1237 KUHPer ). 3. Kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan Pasal 1266 KUHPer , kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi. Sebagai contoh bahwa hak dan kewajiban pewaris secara otomatis menjadi hak dan kewajiban ahli waris setelah pewaris meninggal dunia, dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1030 K/Pdt/2007 . Dalam kasus tersebut, almarhum suami penggugat membuat perjanjian di bawah tangan dengan tergugat mengenai jual beli tanah dan rumah. Akan tetapi, hingga almarhum suami penggugat meninggal, tergugat tidak juga melakukan kewajibannya melunasi harga yang telah disepakati. Oleh karena itu penggugat melayangkan gugatan wanprestasi kepada tergugat. Mahkamah Agung menyatakan tergugat melakukan wanprestasi. Contoh lain adalah dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1159 K/Pdt/2012 , dimana penggugat menggugat tergugat sebagai ahli waris yang harus melunasi utang pembelian telur yang dilakukan oleh pewaris tergugat. Baik Pengadilan Negeri Blitar, Pengadilan Tinggi Blitar, maupun Mahkamah Agung menyatakan pewaris memang melakukan wanprestasi serta menghukum para tergugat sebagai ahli waris secara tanggung renteng untuk membayar/melunasi hutang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Referensi: 1. J. Satrio. 1992. Hukum Waris. Alumni: Bandung; 2. J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Alumni: Bandung. Putusan: 1. Putusan Mahkamah Agung No. 1030 K/Pdt/2007 ; 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1159 K/Pdt/2012 ." }
{ "from": "human", "value": "Dalam Undang-Undang Hukum Dagang, CV dikatakan suatu persekutuan perdata di mana apabila terjadi permasalahan yang ditimbulkan di dalamnya akan menjadi tanggung renteng (Pasal 20 dan 21). Yang saya ingin tanyakan, apabila komanditer dalam CV tersebut terbukti melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan putusan pengadilan negeri maka modal yang telah dimasukkan ke dalam CV dapat ditariknya kembali?" }
{ "from": "gpt", "value": "Persekutuan Komanditer ( commandiraire vennootschap atau CV) adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau oleh beberapa orang yang mempercayakan uang dan atau barang kepada seseorang atau beberapa orang yang menjalankan pengurusan yang dikenal sebagai sekutu aktif ( sekutu komplementer ) dan orang yang mempercayakan uang (pemberi modal) tersebut disebut sekutu komanditer. KLINIK TERKAIT Apakah Sekutu Pasif = Komisaris CV? 06 Okt 2023 Prosedur Mengubah Badan Usaha CV Menjadi PT Secara Berurutan 02 Mar 2022 Debitur Berubah dari CV menjadi PT 23 Feb 2011 Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH 08 Sep 2010 Lebih jauh mengenai sekutu aktif dan sekutu pasif dalam CV, simak beberapa artikel berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Tanggung Jawab Direktur dan Sekutu Komanditer Jika CV Merugi : - Gugatan Terhadap CV ; - CV Bubar, Bagaimana Dengan Utangnya? Dalam hal sekutu pasif melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan (CV) baik dengan atau tanpa pemberian kuasa, maka berlaku Pasal 21 KUHD yaitu bahwa sekutu tersebut bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk seluruhnya terhadap semua utang dan perikatan perseroan itu. Dengan kata lain apabila kemudian CV mengalami kerugian, pertanggungjawaban sekutu pasif yang melakukan pengurusan menjadi sama dengan tanggung jawab sekutu aktif (hingga ke harta pribadi). M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” (hal. 18) juga menjelaskan bahwa kerugian Perseroan Komanditer yang ditanggung sekutu komanditer, hanya terbatas sebesar jumlah modal yang ditanamkan ( beperkte aansprakelijkheid, limited liability ) (lihat Pasal 20 KUHD ). Sedangkan, bagi anggota atau pemegang saham yang bertindak sebagai pengurus ( daden van beheer ) yang disebut sekutu komplimentaris, mempunyai tanggung jawab yang tidak terbatas ( unlimited liability ) sampai meliputi harta pribadi mereka (hal. 20). Mengenai masalah yang Anda tanyakan, kami kurang jelas apakah perbuatan melawan hukum (PMH) yang Anda maksudkan terkait dengan kegiatan CV tersebut atau tidak. Namun, pada dasarnya PMH yang dilakukan sekutu pasif dan kemudian telah dibuktikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidaklah terkait dengan hak sekutu pasif untuk dapat atau tidak dapat menarik kembali modal yang telah dimasukkannya. Terlebih lagi jika modal yang dimasukkan ke CV tersebut bukan dari hasil PMH yang dimaksud. Apabila putusan pengadilan membuktikan bahwa sekutu pasif tersebut telah melakukan PMH, sekutu pasif tersebut tetap berhak menarik ataupun tidak menarik modal yang telah dimasukkannya dalam CV tersebut, terlepas dari PMH yang dilakukannya. Kecuali  kemudian dapat dibuktikan modal tersebut diperoleh dari hasil PMH, maka berdasarkan proses di pengadilan, maka dimungkinkan pihak yang dirugikanlah yang kemudian berhak atas modal yang telah ditanamkan tersebut. Di sisi lain, jika PMH yang dilakukan oleh sekutu pasif tersebut adalah terkait dengan kegiatan/pengurusan perseroan, maka tanggung jawab sekutu pasif itu kemudian menjadi tidak terbatas, dapat melibatkan baik modal yang telah ditanamkannya maupun sampai ke harta pribadinya. Jadi, pada dasarnya, modal yang dimasukkan oleh sekutu pasif adalah sepenuhnya menjadi hak sekutu tersebut untuk dapat menariknya atau tidak sesuai yang diperjanjikan dan ditentukan dalam Anggaran Dasar CV yang bersangkutan. Namun, bila sekutu pasif melakukan PMH yang berakibat pada kerugian CV, maka pertanggungjawabannya menjadi tidak terbatas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43). Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Saya sering dengar dalam praktek sehari-harinya banyak orang yang mengajukan somasi kepada orang lain. Pertanyaan saya:\n\nApa itu somasi?\nApa saja hal yang dapat menimbulkan somasi?\nApakah pemberian somasi kepada seseorang harus dilakukan langsung secara tatap muka?\nApa akibat hukum yang dapat timbul jika somasi yang diberikan ternyata diabaikan oleh calon tergugat?\n\nTerima kasih, mohon pencerahannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, menurut Yahya Harahap dalam buku Segi-Segi Hukum Perjanjian oleh Yahya Harahap (hal. 62), somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran atas kelalaian yang telah disampaikan kreditor kepadanya. Dalam somasi tersebut, kreditor menyatakan kehendaknya bahwa perjanjian harus dilaksanakan dalam batas waktu tertentu.\nSelanjutnya, dasar hukum somasi dapat ditemukan dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Maka, dapat kami simpulkan bahwa surat perintah atau somasi dapat dijadikan dasar untuk menentukan pada saat kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi.\n\nAnda dapat membaca lebih lanjut mengenai pengertian somasi dalam artikel Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya. Menyambung pertanyaan kedua Anda, apa hal yang dapat menimbulkan somasi? Berikut ulasannya.\nSebab yang Menimbulkan Pemberian Somasi\nPada dasarnya, pemberian somasi dilakukan sebagai upaya dari kreditor untuk memberitahukan, menegur dan memperingatkan kapan waktu paling lama debitur harus melaksanakan prestasinya.[1]\n\nBaca juga: Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum\n\nMenurut Subekti, wanprestasi yang dilakukan oleh seorang debitur dapat berupa empat jenis, yaitu:[2]\n\ntidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sesuai seperti yang dijanjikan;melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.\n\nDengan demikian, menurut hemat kami hal yang menyebabkan pemberian somasi adalah keadaan belum dilakukannya suatu prestasi oleh pihak debitur, sehingga pihak kreditor harus memperingatkan debitur untuk berprestasi dengan cara mengirimkan somasi.\nKetentuan Pemberian Somasi\n\nAdapun menurut M. Khoidin dalam buku Tanggung Gugat Dalam Hukum Perdata (hal. 43), bentuk somasi meliputi:\n\nDengan surat perintah yang berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan, yakni juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya ia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut exploit juru sita.Somasi yang dilakukan dengan akta sejenis yang dapat berupa akta di bawah tangan atau dengan akta notariil.Somasi tersimpul dari perikatan itu sendiri, artinya sejak pembuatan perjanjian, kreditor sudah menentukan dalam akta perjanjian saat kapan adanya suatu wanprestasi dianggap telah terjadi.\n\nKemudian menjawab pertanyaan Anda yang ketiga, somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan, akan tetapi untuk mempermudah pembuktian di hadapan hakim jika wanprestasi tersebut digugat ke pengadilan, maka pada umumnya somasi diberikan secara tertulis.[3] Sehingga, pada dasarnya tidak ada ketentuan spesifik yang mengatur bahwa pemberian somasi harus dilaksanakan secara lisan atau tertulis.\n\nSebagai informasi, dalam hal somasi diberikan secara tertulis dan dikirim sebagai peringatan agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya, setelah surat somasi tersebut disampaikan, pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat (debitur). Hal tersebut bertujuan untuk membuktikan bahwa pengirim somasi telah beriktikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara di pengadilan. Kemudian, pembuatan berita acara ini juga memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa calon tergugat beriktikad buruk.[4]\nAkibat Hukum Jika Somasi Diabaikan\n\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda yang terakhir, disarikan dari artikel Langkah Jika Somasi Diabaikan yang Harus Diketahui, dalam menghadapi perkara somasi, jika wanprestasi digugat ke pengadilan, tergugat harus memenuhi panggilan persidangan. Karena pada dasarnya, somasi yang tidak dibalas menjadi salah satu bentuk tidak bertanggung jawab selama menyelesaikan perkara tertentu. Selain itu, jika somasi diabaikan dan penggugat menghadapi gugatan, maka pihak yang digugat harus mendatangi dan merespon pengadilan. Apabila tetap tidak hadir di persidangan, hakim akan memakai surat penggugat sebagai dasar.\n\nSelain itu, menurut hemat kami, mengabaikan somasi dapat diartikan sebagai tindakan mengabaikan kewajiban melaksanakan prestasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hukum perdata dikenal tanggung gugat yang perlu dilakukan debitur karena wanprestasi yaitu:[5]\n\nMembayar Kerugian yang Diderita oleh Pihak Lain\n\nMengenai pembayaran ganti rugi, hal ini sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1246 KUHPerdata bahwa bentuk penggantian kerugian yang dapat dituntut menurut undang-undang adalah biaya, kerugian, dan bunga.\nDisarikan dari artikel Apakah Wanprestasi Sama dengan Penipuan?, biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan. Kemudian rugi merupakan kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Lalu, bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditor apabila debitur tidak lalai.\n\nPembatalan Perjanjian\n\nDengan adanya pembatalan perjanjian, maka situasi ini akan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.[6]\n\nPeralihan Risiko\n\nDalam hal risiko karena act of god atau force majeure dan mengakibatkan wanprestasi yang awalnya tidak beralih kepada debitur menjadi dapat dialihkan sepenuhnya kepada si pihak yang wanprestasi sebagai sanksi dari wanprestasi.[7]\n\nMembayar Biaya Perkara\nSanksi ini hanya dapat dimintakan ketika sudah terbukti di persidangan, dengan adanya penetapan dari hakim sehingga debitur dapat membayar ganti rugi berupa uang yang timbul karena perselisihan dalam menyelesaikan sengketa.[8]\n\nPaksaan untuk Pemenuhan Perjanjian Dengan atau Tanpa Disertai Pembayaran Ganti Rugi\n\nPaksaan yang dimaksud adalah tuntutan yang diberikan agar seseorang melakukan suatu perjanjian.[9] Adapun pemberian ganti rugi disini akan bersifat efektif dilakukan jika salah satu pihak telah wanprestasi atau tidak melaksanakan prestasinya.[10]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\n\nREFERENSI:\n1. Baharian Rizky dan Husni Syawali. Pertanggungjawaban PT. Nindya Berlyn 1 Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang Rotan kepada PT. Bariq Kemilau berdasarkan Surat Perjanjian No. 003/Surat Kontrak Kerja/VI/2021 Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung Conference Series: Law Studies, Vol. 2, No. 2, 2022\n2. Dermina Dalimunthe. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jurnal Al-Maqasid, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2017\n3. Ines Age Santika (et.al). Penyelesaian Sengketa Dan Akibat Hukum Wanprestasi Pada Kasus Antara PT Metro Batavia Dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Jurnal Private Law, Edisi 07, Januari-Juni 2015\n4. Jonaedi Efendi. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016\n5. M. Khoidin. Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata. Yogyakarta: Laksbang Justitia, 2020\n6. Niru Anita Sinaga dan Nurlely Darwis. Wanprestasi dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 7, No. 2, 2015\n7. Olga A. Pangkerego dan Roy V. Karamoy. Kajian Terhadap Tanggung Gugat Karena Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum, Vol. X, No. 1, Januari 2022\n8. R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pembimbing Masa, Cet. Ke-IV, 1979\n9. Taryana Soenanda. Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam rangka memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 tahun. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001\n10. Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 2006.\n\n[1] Olga A. Pangkerego dan Roy V. Karamoy. Kajian Terhadap Tanggung Gugat Karena Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum, Vol. X, No. 1, Januari 2022, hal. 241.[2] R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pembimbing Masa, Cet. Ke-IV, 1979, hal. 592.[3] Olga A. Pangkerego dan Roy V. Karamoy. Kajian Terhadap Tanggung Gugat Karena Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum, Vol. X, No. 1, Januari 2022, hal. 241.[4] Jonaedi Efendi. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hal. 372.[5] M. Khoidin. Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata. Yogyakarta: Laksbang Justitia, 2020, hal. 45.[6] Niru Anita Sinaga dan Nurlely Darwis. Wanprestasi dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 7, No. 2, 2015, hal. 52-53.[7] Ines Age Santika (et.al). Penyelesaian Sengketa Dan Akibat Hukum Wanprestasi Pada Kasus Antara PT Metro Batavia Dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Jurnal Private Law, Edisi 07, Januari-Juni 2015, hal. 59.[8] Dermina Dalimunthe. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jurnal Al-Maqasid, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2017, hal. 22.[9] Taryana Soenanda. Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam rangka memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 tahun. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 75.[10] Baharian Rizky dan Husni Syawali. Pertanggungjawaban PT. Nindya Berlyn 1 Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang Rotan kepada PT. Bariq Kemilau berdasarkan Surat Perjanjian No. 003/Surat Kontrak Kerja/VI/2021 Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung Conference Series: Law Studies, Vol. 2, No. 2, 2022, hal. 134." }
{ "from": "human", "value": "Dalam proses persidangan anak ke-1 dan ke-2, si anak nakal mendustakan umurnya sehingga Hakim menganggap anak nakal tersebut masih di bawah umur 18 tahun. Namun dalam persidangan ke-3 ternyata si anak nakal telah berumur 20 tahun. Pertanyaannya adalah apakah sidang tersebut batal demi hukum? Apa yang dilakukan oleh Hakim terhadap persidangan tersebut? Apakah kasus tersebut masih digolongkan kasus anak? Mohon tanggapannya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Mengenal Ragam Hukuman Pidana untuk Anak 30 Apr 2024 Sanksi Bagi Pemegang Anggota Tubuh Anak Perempuan 06 Des 2018 Apakah Sanksi Kebiri Berlaku bagi Anak Pelaku Kejahatan Seksual? 09 Jun 2016 Hukumnya Jika Saat Putusan Pengadilan, Anak Telah Masuk Usia Dewasa 28 Mar 2016 Intisari: Persidangan yang dimaksud TIDAK batal demi hukum, sebab tidak dikenal persidangan dinyatakan “batal demi hukum”. Apabila ternyata si pelaku telah berumur di atas 18 tahun dan melakukan tindak pidana yang didakwakan juga ketika yang bersangkutan berusia di atas 18 tahun maka Majelis Hakim/Hakim Tunggal dapat menjatuhkan Putusan Sela yang pada pokoknya menyatakan Surat Dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena tidak memenuhi syarat formil terkait hukum acara pidana yang harusnya dipergunakan (hukum formil) , meskipun agenda sidang yang berjalan telah masuk pada agenda sidang pembuktian (ex officio) . Perkara tersebut dapat menjadi perkara anak apabila si pelaku belum berusia 18 tahun ketika ia melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, meskipun usia si pelaku adalah 20 tahun ketika perkara disidangkan. Namun, perkara yang Anda maksud bukan perkara anak apabila si pelaku berusia di atas 18 tahun ketika ia melakukan tindak pidana yang didakwakan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Anak di bawah 18 tahun yang Anda maksud, disebut dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (“Anak”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sist e m Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) , yang selengkapnya berbunyi demikian: “Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Perlu diketahui bahwa k etentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan anak, kecuali ditentukan lain dalam UU SPPA . [1] Yang berarti dalam menyidangkan perkara anak dipergunakan hukum acara pidana sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( “ KUHAP ” ) dan dalam UU SPPA. Dalam KUHAP, u mur seseorang merupakan bagian dari identitas terdakwa yang menjadi syarat formil dalam surat dakwaan sesuai yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP ya ng selengkapnya berbunyi demikian: Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a) nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir , jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam poin b di atas batal demi hukum. [2] Jadi dalam KUHAP sendiri tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa kesalahan umur menyebabkan surat dakwaan menjadi batal demi hukum. Anda kurang memberikan keterangan yang rinci mengenai kapan pelaku melakukan tindak pidana. Jika ia melakukan tindak pidana sebelum berumur 1 8 tahun, maka pelaku akan tetap diajukan ke Sidang Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU SPPA yang selengkapnya berbunyi demikian: “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang anak.” Sehingga menjawab pertanyaan Anda dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Apakah sidang tersebut batal demi hukum? Persidangan yang dimaksud TIDAK batal demi hukum, sebab tidak dikenal persidangan dinyatakan “batal demi hukum”. Perlu diketahui, yang dapat dinyatakan “batal demi hukum” adalah surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum ketika syarat materiilnya tidak terpenuhi , yang mana hal tersebut dapat dilakukan ketika: 1.1. Terdakwa mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) setelah Surat Dakwaan dibacakan dalam persidangan, yang pada pokoknya keberatan tersebut berisi bahwa tidak terpenuhinya syarat materiil di dalam Surat Dakwaan, sehingga apabila keberatan tersebut diterima maka Majelis Hakim/Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo maka dapat dijatuhkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa Surat Dakwaan dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materiil suatu Surat Dakwaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP , atau 1.2. atas inisiatif aktif Majelis Hakim/Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena jabatan dan kewenangannya ( ex officio ) memandang perlu untuk membuat suatu Putusan Sela bahwa Surat Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum harus dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materiil suatu Surat Dakwaan. 2. Apa yang dilakukan oleh Hakim terhadap persidangan tersebut? Merujuk pada kasus posisi yang Anda sampaikan sebelumnya, terdapat keadaan yang kurang detail disampaikan , terkait kapan tindak pidana yang dimaksud dilakukan si pelaku, apakah sebelum si Pelaku berusia 18 tahun atau sesudah si pelaku berusia di atas 18 tahun . Oleh karenanya, menjawab pertanyaan Anda terdapat 2 (dua) jawaban, yaitu: 2.1. Apabila si pelaku melakukan tindak pidana sebelum berusia 18 tahun, namun baru disidangkan ketika si pelaku telah berusia 20 tahun, maka Majelis Hakim/Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap akan melanjutkan persidangan sampai dengan Putusan Akhir . 2.2. Apabila tindak pidana dilakukan ketika pelaku berusia di atas 18 tahun, maka Majelis Hakim/Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dapat menjatuhkan Putusan Sela yang pada pokoknya menyatakan Surat Dakwaan yang telah disusun oleh Jaksa Penuntut Umum harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil (dilanggarnya hukum formil) suatu Surat Dakwaan . Syarat formil di sini bukan hanya terkait dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP , namun juga meliputi hukum acara pidana (hukum formil) yang dipergunakan, sebab ketika seorang dewasa (melakukan tindak pidana di atas usia 18 tahun) disidangkan dengan menggunakan hukum acara peradilan anak maka hal tersebut telah melanggar syarat formil suatu Surat Dakwaan sebab di sini hukum formilnya telah dilanggar. Kembali kepada substansi pertanyaan, apabila ternyata si pelaku telah berumur di atas 18 tahun dan melakukan tindak pidana yang didakwakan juga ketika yang bersangkutan berusia di atas 18 tahun maka Majelis Hakim/Hakim Tunggal dapat menjatuhkan Putusan Sela yang pada pokoknya menyatakan Surat Dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena tidak memenuhi syarat formil terkait hukum acara pidana yang harusnya dipergunakan (hukum formil) , meskipun agenda sidang yang berjalan telah masuk pada agenda sidang pembuktian (ex officio) . 3. Apakah kasus tersebut masih digolongkan kasus anak? Perkara tersebut dapat menjadi perkara anak apabila si pelaku belum berusia 18 tahun ketika ia melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, meskipun usia si pelaku adalah 20 tahun ketika perkara disidangkan. Namun, perkara yang Anda maksud bukan perkara anak apabila si pelaku berusia di atas 18 tahun ketika ia melakukan tindak pidana yang didakwakan. Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sist e m Peradilan Pidana Anak . [1] Pasal 16 UU SPPA [2] Pasal 143 ayat (3) KUHAP hukumonline terdakwa hukum tindak pidana klinik klinik hukumonline anak berhadapan dengan hukum pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah bisa kita menarik kembali hak milik atas tanah yang telah kita jual? Karena tanah tersebut ialah tanah warisan yang dalam surat jual beli tersebut tidak ada surat tanahnya, dan surat jual beli tersebut belum ditandatangani oleh pewaris. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Kamis, 10 Januari 2013. KLINIK TERKAIT Masalah Penghunian Rumah dengan Cara Bukan Sewa Menyewa 14 Mar 2017 Apakah Hibah Dapat Ditarik Kembali untuk Membayar Utang Pewaris ? 29 Agt 2012 Jika Ada Ahli Waris yang Tidak Setuju Menjual Rumah Warisan 25 Mei 2012 Menggadaikan Rumah Warisan 08 Okt 2010 Intisari: Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris. Jika ingin dilakukan penjualan, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan . Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris . Jika ada pihak yang menjual tanah warisan tersebut tanpa persetujuan para ahli waris, para ahli waris dapat menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum. Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim. Penjelasan lebih lanjut silakan simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan cerita Anda, pertama-tama perlu kami luruskan bahwa “pewaris” yang Anda maksud mungkin pihak yang mendapatkan warisan, yang sebenarnya disebut dengan ahli waris . Kami berasumsi bahwa yang Anda maksud tidak ada surat tanahnya adalah bahwa jual beli tersebut tidak menyertakan sertifikat tanah yang sebenarnya sudah ada, serta belum ditandatanganinya surat jual beli oleh para ahli waris. Ini berarti jual beli tersebut sebenarnya belum terjadi karena belum ada tanda tangan dari para ahli waris sebagai bentuk kesepakatan. Kami asumsikan juga bahwa tidak ada persetujuan dari ahli waris mengenai jual beli tanah warisan tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan dengan dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”) . Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut. [1] Dalam proses jual beli tersebut, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (hal. 17-21), sebagaimana kami sarikan, dalam transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. Data Tanah: a. PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya); b. Sertifikat Asli Tanah ; c. Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional); d. Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada); e. Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan. 2. Data Penjual dan Pembeli : a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk suami/istri Penjual dan Pembeli; b. Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah; c. Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli. Dibutuhkan data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu benda (menjual merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang memiliki hak milik atas benda tersebut. Hal senada juga ditegaskan Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. Hal ini juga didukung oleh Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) , yang berbicara mengenai jual beli, yang secara implisit mempersyaratkan bahwa penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual: Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain. Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPer : Pasal 833 ayat (1) KUHPer: Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Pasal 832 ayat (1) KUHPer: Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Oleh karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan. Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. , dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 176-177), sebagaimana kami sarikan, mengatakan jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan . Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris . Jika jual beli tersebut telah terjadi dan tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris), maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer di atas, jual beli tersebut batal . Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris. Selain itu, jual beli tanpa menyertakan sertifikat tanah juga bertentangan dengan persyaratan dalam proses jual beli tanah. Langkah Hukum yang Dapat Diambil Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer , yang berbunyi: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut . Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut: a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); b. Perbuatan itu harus melawan hukum; c. Ada kerugian; d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; e. Ada kesalahan. (penjelasan selengkapnya mengenai perbuatan melawan hukum dapat Anda simak artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras ) Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila; 4. Bertentangan dengan asas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum, Anda harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini didukung juga dengan adanya Pasal 834 KUHPer , yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta peninggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas petitio . Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim. Lebih lanjut, mengenai gugatan perdata (termasuk mengenai petitum), Anda dapat membaca artikel Tentang Posita, Petitum, Replik, dan Duplik dan Membuat Surat Gugatan . Pasal 1365 KUHPer jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan ganti rugi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ; 4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . [1] Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pertanahan hukumonline google perdata warisan jual beli tanah hukum klinik waris klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana perlindungan hukum bagi anggota terkait pailitnya koperasi? Apa akibat hukum bagi anggota jika koperasi tersebut dipailitkan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dapat membubarkan Koperasi apabila Koperasi dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dan modal penyertaan yang dimilikinya . Selain itu, terhadap rencana pembubaran Koperasi yang didasarkan pada alasan pailit, tidak dapat diajukan keberatan oleh Pengurus atau anggota Koperasi, karena pembubaran Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Penjelasan lebih lanjut, simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Koperasi Sebelum menjawab pertanyaan pokok Anda, perlu dipahami definisi dari koperasi berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (“UU Perkoperasian”) sebagai berikut: Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 . [1] Koperasi dapat berbentuk: [2] Koperasi Primer , dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang; atau Koperasi Sekunder , dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi. Keanggotaan Koperasi Selanjutnya, a nggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi. [3] Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar (“AD”). Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota. [4] Untuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan Koperasi yang Anda maksud adalah Koperasi Primer. Dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Perkoperasian dijelaskan bahwa yang dapat menjadi anggota Koperasi Primer adalah orang-seorang yang telah mampu melakukan tindakan hukum dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Koperasi yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan sebagai konsekuensi Koperasi sebagai badan hukum. Namun demikian khusus bagi pelajar, siswa dan/atau yang dipersamakan dan dianggap belum mampu melakukan tindakan hukum dapat membentuk Koperasi, tetapi Koperasi tersebut tidak disahkan sebagai badan hukum dan statusnya hanya Koperasi tercatat. Oleh karena itu, kami asumsikan kembali bahwa anggota Koperasi yang Anda maksud adalah yang telah mampu melakukan tindakan hukum. Perangkat Organisasi Koperasi Perlu menjadi perhatian bahwa perangkat organisasi Koperasi terdiri dari: [5] Rapat Anggota , merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi; [6] Pengurus , merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota; [7] Pengawas , bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. [8] Selain itu, perlu dipahami bahwa rapat anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban pengurus dan pengawas mengenai pengelolaan Koperasi. [9] Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada rapat anggota atau rapat anggota luar biasa. [10] Modal Koperasi Modal Koperasi terdiri dari: [11] Modal sendiri , adalah modal yang menanggung risiko atau disebut modal ekuiti, dapat berasal dari: [12] simpanan pokok , adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada Koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota; [13] simpanan wajib , adalah jumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama yang wajib dibayar oleh anggota kepada Koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu; [14] dana cadangan, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha, yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian Koperasi bila diperlukan; [15] hibah. Modal pinjaman , untuk pengembangan usahanya yang dapat berasal dari: anggota , termasuk calon anggota yang memenuhi syarat; [16] Koperasi lainnya dan/atau anggotanya; bank dan lembaga keuangan lainnya; penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; sumber lain yang sah, adalah pinjaman dari bukan anggota yang dilakukan tidak melalui penawaran secara umum. [17] Jadi dapat dipahami bahwa anggota Koperasi dapat berkontribusi perihal modal untuk Koperasi melalui simpanan pokok, simpanan wajib, dan pinjaman dari anggota. Pembubaran Koperasi karena Dinyatakan Pailit Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan: [18] keputusan Rapat Anggota; atau keputusan Pemerintah. Untuk menjawab pertanyaan Anda, mari kita bahas perihal pembubaran Koperasi berdasarkan keputusan Pemerintah yang dapat dilakukan apabila: [19] terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini; kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan . Dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU Perkoperasian dijelaskan bahwa keputusan pembubaran karena alasan kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan, antara lain karena dinyatakan pailit . Lebih jelas lagi, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah (“PP 17/1994”) bahwa Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dapat membubarkan Koperasi apabila Koperasi dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. [20] Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan & PKPU”) kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Koperasi sebagai debitor untuk dapat dinyatakan pailit, harus mempunyai 2 (dua) atau lebih kriditor dan tidak mampu membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pernyataan pailit harus dimohonkan ke Pengadilan Niaga (dalam lingkup peradilan umum), baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan 1 (satu) atau lebih kreditornya. [21] Perlindungan dan Akibat Hukum bagi Anggota Koperasi Dalam Pasal 55 UU Perkoperasian dijelaskan bahwa dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dan modal penyertaan yang dimilikinya. Ketentuan di atas merupakan penegasan bahwa anggota hanya menanggung kerugian terbatas pada simpanan pokok dan simpanan wajib serta modal penyertaannya. Sedangkan yang merupakan modal pinjaman Koperasi dari anggota tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. [22] Selain itu, terhadap rencana pembubaran Koperasi yang didasarkan pada alasan pailit, tidak dapat diajukan keberatan oleh Pengurus atau anggota Koperasi, karena pembubaran Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. [23] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah [1] Pasal 3 UU Perkoperasian [2] Pasal 15 jo. Pasal 6 UU Perkoperasian [3] Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU Perkoperasian [4] Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) UU Perkoperasian [5] Pasal 21 UU Perkoperasian [6] Pasal 22 ayat (1) UU Perkoperasian [7] Pasal 29 ayat (2) UU Perkoperasian [8] Pasal 38 ayat (2) UU Perkoperasian [9] Pasal 25 UU Perkoperasian [10] Pasal 31 UU Perkoperasian [11] Pasal 41 UU Perkoperasian [12] Penjelasan Pasla 41 ayat (2) UU Perkoperasian [13] Penjelasan Pasal 41 ayat (2) huruf a UU Perkoperasian [14] Penjelasan Pasal 41 ayat (2) huruf b UU Perkoperasian [15] Penjelasan Pasal 41 ayat (2) huruf c UU Perkoperasian [16] Penjelasan Pasal 41 ayat (3) huruf a UU Perkoperasian [17] Penjelasan Pasal 41 ayat (3) huruf e UU Perkoperasian [18] Pasal 46 UU Perkoperasian [19] Pasal 47 ayat (1) UU Perkoperasian [20] Pasal 1 huruf d PP 17/1994 [21] Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan & PKPU [22] Penjelasan Pasal 55 UU Perkoperasian [23] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) PP 17/1994 pengawas koperasi hukumonline kepailitan anggota pailit perusahaan klinik hukumonline pengurus" }
{ "from": "human", "value": "Pada tahun 2008, kami membeli sebuah rumah yang cukup besar di lokasi yang bagus. Karena harga rumah yang tinggi, akhirnya sebagian dana untuk pembelian rumah kami pinjam dari orang tua/ayah saya. Dengan pertimbangan dana pinjaman orang tua lebih besar, kami putuskan sertifikat tanah dan rumah tersebut atas nama orang tua/ayah saya. Rencananya rumah tersebut akan dihibahkan pada saya, namun belum sempat terlaksana karena ayah saya telah wafat beberapa bulan lalu. Mohon Bapak/Ibu berkenan memberi pandangan terhadap masalah saya ini. Terima kasih atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam penjelasan Anda di atas, Anda tidak menyebutkan apakah Anda mempunyai saudara atau Anda adalah anak tunggal dari orangtua Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Balik Nama Sertifikat Tanah Hanya Berdasarkan Kuitansi? 23 Apr 2024 Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA) 28 Jul 2017 Bagaimana Menjual Tanah Jika Pemiliknya Sudah Pikun? 01 Okt 2012 Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Jawa 06 Agt 2012 Dalam hal sertifikat tanah tersebut atas nama salah satu orangtua Anda, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , tanah dan rumah tersebut merupakan harta bersama orangtua Anda (dengan asumsi tidak ada perjanjian perkawinan sebelum orangtua Anda menikah), karena tanah dan rumah tersebut diperoleh dalam perkawinan. Sehingga pada saat ayah Anda meninggal, tanah dan rumah tersebut termasuk ke dalam harta warisan yang akan dibagi di antara ahli warisnya (dalam hal ini adalah Ibu Anda, Anda, dan saudara-saudara Anda). Karena dalam hal ini Ayah Anda yang meninggal dunia, maka dapat diadakan pembagian harta warisan Ayah Anda dengan rincian sebagai berikut (sebagaimana pernah dibahas oleh Evi Risna Yanti, S.H. dalam artikel Pembagian Harta Warisan Ayah, Ketika Ibu Masih Hidup ): Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan Ayah dan Ibu; 2. Harta Bawaan Ayah (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh beliau sebelum masa pernikahan dengan Ibu; 3. Juga bisa jadi Ayah memperoleh hadiah dari seseorang, dari keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa dimasukkan ke dalam harta warisan Ayah; 4. Satu lagi adalah warisan yang diperoleh Ayah dari Pihak keluarganya, maka harta warisan tersebut dimasukkan kedalam kelompok harta warisan Ayah, yang akan dibagikan kepada semua ahli warisnya. Jadi dalam hal ini, ada kemungkinan Anda akan mendapatkan tanah dan rumah tersebut sebagai warisan dari Ayah Anda. Sedangkan jika sebelum meninggal, Ayah Anda telah menghibahkan tanah dan rumah tersebut kepada Anda, apabila Anda memiliki banyak saudara, ada kemungkinan tanah dan rumah yang dihibahkan tersebut dapat ditarik kembali dalam hal bagian mutlak ( legitime portie ) yang seharusnya diterima para ahli waris tidak terpenuhi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan Pasal 924 KUHPer : Pasal 920 Pemberian-pemberian atau hibah-hibah, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi pada waktu terbukanya warisan itu, tetapi hanya atas tuntutan para legitimaris dan para ahli waris mereka atau pengganti mereka. Namun demikian, para legitimaris tidak boleh menikmati apa pun dan pengurangan itu atas kerugian mereka yang berpiutang kepada pewaris. Pasal 924 Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme portie. Bila hibah-hibah semasa hidup pewaris harus dikurangi, maka pengurangan harus dimulai dan hibah yang diberikan paling akhir, ke hibah-hibah yang dulu-dulu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Pasal manakah yang bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang telah mengintimidasi anak/memarahi anak di depan umum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu) berupa gertakan atau ancaman. Anak yang diintimidasi akan menderita kekerasan psikis. Pelaku kekerasan psikis pada anak dapat dijerat pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Penganiayaan PRT Anak 22 Jul 2024 Jerat Pasal Bullying di Sekolah 22 Feb 2024 Sanksi Bagi Pemegang Anggota Tubuh Anak Perempuan 06 Des 2018 Jerat Hukum bagi Pelaku Pencabulan terhadap Penderita Gangguan Mental 23 Mei 2018 Bentuk Intimidasi D efinisi intimidasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman; meng·in·ti·mi·da·si , v menakut-nakuti; menggertak; mengancam: alat negara tidak dibenarkan ~ rakyat Dari definisi mengintimidasi di atas, dapat kita lihat bahwa tidak ada perbuatan kekerasan fisik atau kontak fisik dalam intimidasi. Intimidasi dilakukan dalam bentuk gertakan atau ancaman. Oleh karena itu, kami simpulkan bahwa mengintimidasi atau memarahi anak di depan umum itu tidak dilakukan dengan cara memukul, menampar, mencubit, atau perilaku kontak fisik lainnya. Jadi, melihat dari bagaimana bentuk intimidasi itu, dapat kita ketahui bahwa mengintimidasi atau memarahi anak merupakan bentuk kekerasan psikis. Definisi kekerasan psikis dapat kami temukan dalam sebuah tulisan Problema dan Solusi Strategis Kekerasan Terhadap Anak yang kami akses dari laman resmi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI Kementerian Sosial (“Kemensos RI”) : “Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan , hilangnya rasa percaya diri , hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.” Masih soal perlindungan dari kekerasan psikis, kami juga berpedoman pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) : “Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental , penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan.” Hak Anak Terbebas dari Kekerasan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan , dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya” Adapun arti kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis , seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. [1] Menjawab pertanyaan Anda, karena penderitaan psikis merupakan dampak dari perbuatan kekerasan, maka seseorang yang mengintimidasi anak hingga menderita secara psikis dapat dijerat pasal tentang larangan menempatkan, membiarkan, melakukan , menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak yang terdapat dalam Pasal 76C UU 35/2014 . Ancaman sanksi bagi larangan dalam Pasal 76C UU 35/2014 terdapat dalam Pasal 80 UU 35/2014 : (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya. Contoh Kasus Sebagai contoh kasus dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim . Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan bahwa ancaman kekerasan merupakan kekerasan dalam bentuk psikologis seperti mengalami ketakutan secara terus menerus, menerima ancaman, membuat seseorang dalam perasaan terhina. Berdasarkan fakta hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa pergi meninggalkan rumah tempat kediaman bersama, lalu kembali ke rumah untuk mengambil dan membawa dokumen yang antara lain milik saksi F S (anak) merupakan perbuatan yang dikualifikasi sebagai bentuk ancaman psikologis yakni menimbulkan perasaan terancam dan takut . Hakim memutus terdakwa bersalah berdasarkan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak dan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Melakukan Ancaman Kekerasan Terhadap Anak Kandung” dan menjatuhkan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak . Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim . Referensi: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 7 September 2015 pukul 11.31 WIB. [1] Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“ UU 35/2014”) hukum hukumonline intimidasi kekerasan orang tua klinik hukumonline anak psikis klinik" }
{ "from": "human", "value": "Pada 2008, CV. Indah meminjam uang di bank. CV tersebut terdiri dari direktur, wakil direktur dan 1 komanditer. Pada 2009, Direktur CV. Indah meninggal dunia dan digantikan oleh wakil direktur menjadi direktur dan masuk anggota lain sebagai wakil direktur. Terhadap perjanjian pinjaman di bank, apakah perlu dilakukan novasi atau dapat dilakukan adendum saja jika pinjaman tersebut jatuh tempo untuk diperpanjang? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Kami berasumsi bahwa yang Anda maksud dengan CV adalah Commanditair Vennootschap ( Persekutuan Komanditer ). CV diatur dalam Pasal 16 – Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”). KLINIK TERKAIT Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya 14 Jun 2024 Bolehkah Merangkap Jabatan Sebagai Direksi PT dan CV? 24 Jun 2013 Utang Lebih Besar dari Aset, Bagaimana Pertanggungjawaban Pemilik CV? 17 Des 2012 Pengurusan Perseroan Jika Direksi Meninggal 09 Nov 2012 Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Akibat Hukum Jika Sekutu Komanditer Melakukan PMH , persekutuan Komanditer ( commandiraire vennootschap atau CV) adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau oleh beberapa orang yang mempercayakan uang dan atau barang kepada seseorang atau beberapa orang yang menjalankan pengurusan yang dikenal sebagai sekutu aktif ( sekutu komplementer ) dan orang yang mempercayakan uang (pemberi modal) tersebut disebut sekutu komanditer ( Pasal 19 KUHD ). CV bukanlah badan hukum, oleh karena itu dalam melakukan tindakan hukum, CV diwakili oleh sekutu aktifnya. M. Yahya Harahap , dalam bukunya yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal. 18-19), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa anggota dari CV yang bertindak keluar adalah anggota yang melakukan pengurusan, yang disebut sekutu komplementaris (sekutu aktif). Kepada para sekutu komplementaris berlaku ketentuan mengenai keanggotaan Firma. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ini berarti bahwa terhadap para sekutu aktif, berlaku Pasal 18 KUHD yang mana tiap-tiap sekutu secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari persekutuan. Lebih lanjut mengenai CV, Anda dapat membaca beberapa artikel berikut: 1. Akibat Hukum Jika Sekutu Komanditer Melakukan PMH ; 2. CV Bubar, Bagaimana dengan Utangnya? ; 3. Tanggung Jawab Direktur dan Sekutu Komanditer Jika CV Merugi ; 4. Debitur Berubah dari CV menjadi PT ; 5. Gugatan terhadap CV . Mengenai apakah perlu dilakukan novasi atau tidak, pertama kita lihat dulu apa itu novasi. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Cara-cara Pembaruan Utang (Novasi) , dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), novasi diterjemahkan sebagai pembaruan utang . J. Satrio , dalam bukunya yang berjudul Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang (hal. 102-103), menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 1413 KUHPer , ada tiga macam jalan untuk pembaruan utang: 1. Pertama disebutkan tentang penggantian perikatan lama dengan perikatan baru untuk orang yang mengutangkan (novasi objektif); 2. Kedua, di mana ada debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama (novasi subjektif pasif); 3. Ketiga dan yang terakhir, peristiwa di mana kreditur baru ditunjuk menggantikan kreditur lama (novasi subjektif aktif). Bunyi selengkapnya Pasal 1413 KUHPer adalah sebagai berikut: Ada tiga macam jalan untuk pembaruan utang: 1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya; 2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dan perikatannya; 3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dan perikatannya. Jika ingin dilakukan novasi (dalam hal ini, novasi subjektif pasif atau pembaharuan akibat perubahan debitur), kita harus melihat pada pengertian novasi subjektif pasif itu sendiri. Novasi subjektif pasif pada dasarnya adalah pembaharuan utang yang terjadi ketika debitur menawarkan kepada krediturnya seorang debitur yang baru, yang bersedia untuk mengikatkan dirinya demi keuntungan kreditur (bersedia untuk membayar utang-utang debitur). Sedangkan dalam CV, sebenarnya debiturnya adalah pihak yang sama, hanya saja orang yang mewakilkan berbeda. Ini karena tindakan yang dilakukan oleh sekutu aktif (yang bertindak untuk dan atas nama CV) menjadi tanggung jawab para sekutu aktif secara tanggung menanggung. Karena itu, sebenarnya yang menjadi debitur adalah sama yaitu si CV sendiri. Dengan demikian, dalam memperpanjang perjanjian kredit dengan perubahan orang yang mewakili dalam perjanjian kredit tersebut dapat dilakukan hanya dengan perubahan perjanjian kredit. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang . cv" }
{ "from": "human", "value": "Ibu saya meminta tolong kepada saya untuk membeli sebuah laptop (untuk keperluan ibu sendiri) dengan pembayaran secara kredit melalui sebuah perusahaan yaitu Ad**a Finance. Pada aplikasi kreditnya menggunakan nama saya sehingga saya yang menandatangani surat perjanjiannya. Beberapa bulan setelah itu ibu saya memindahkan kepemilikan (menjual) laptop kepada si X tanpa sepengetahuan saya. Kemudian, si X memindahkan kepemilikan (menjual) laptop tersebut kepada si Y. Dan ternyata setelah laptop berpindah tangan kepada si X pembayaran kreditnya macet. Sehingga pihak Ad**a Finance memberikan peringatan pada saya untuk melakukan pembayaran penunggakan. Di lain sisi, ibu saya pada saat pertanyaan ini kami muat sudah meninggal 3 bulan yang lalu. Bagaimana solusi hukumnya antara saya dan pihak Ad**a Finance? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Karena perjanjian merupakan kesepakatan antara para pihak yang menandatangani, dan mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak, maka pihak yang menandatangani perjanjian tersebut lah yang wajib membayar utang dimaksud (lihat Pasal 1338 KUHPer ). Dalam hal ini, jika salah satu pihak memindahtangankan  obyek utang tanpa memberitahukan kepada pihak lainnya, maka hal tersebut merupakan tanggung jawab pihak yang memindahtangankan. Agar suatu pembayaran untuk melunasi suatu utang berlaku sah, orang yang melakukannya haruslah pemilik mutlak barang yang dibayarkan dan pula berkuasa  untuk memindahtangankan barang itu. Oleh karena mendiang Ibu Saudara bukanlah pemilik mutlak barang yang dibayarkan dan berkuasa untuk memindahtangankan barang tersebut, sehingga permintaan kepada X dan Y untuk melakukan pembayaran melunasi suatu utang terhadap Ad**a Finance tidak berlaku sah (lihat Pasal 1384 KUHPer ). Apabila Saudara tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya pembayaran utang itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun Saudara tidak ada itikad buruk atas hal tersebut, maka saudara harus untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga (lihat Pasal 1244 KUHPer ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)" }
{ "from": "human", "value": "Mohon info, apa sanksi hukumnya bagi perusahaan yang melanggar Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Sayangnya, Anda kurang spesifik menanyakan ayat berapa dari Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang Anda maksud. KLINIK TERKAIT Sanksi Bagi Perusahaan Outsourcing yang Tidak Berizin 20 Apr 2023 Pengalihan Pegawai Honorer Daerah ke Perusahaan Outsourcing 15 Mar 2013 Apakah Karyawan Outsourcing Bisa Jadi Karyawan Tetap? 28 Feb 2013 Bolehkah Mempekerjakan Office Boy dengan Status Outsourcing? 28 Des 2012 Ada beberapa materi muatan yang diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui penyediaan jasa pekerja/buruh atau dalam praktik biasa disebut outsourcing . Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan misalnya yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsug dengan proses produksi. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan y ang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsungdengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok ( core business ) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan ( cleaning service ), usahapenyediaan makanan bagi pekerja/buruh ( catering ), usaha tenaga pengaman( security /satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan,serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Mengenai jenis-jenis kegiatan jasa penunjang ini juga diatur dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (“Permenaker 19/2012”) . Materi muatan lain yang dikandung dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan outsourcing . Ini diatur dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3), yaitu: adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a dituangkan secara tertulis dan ditandatangani kedua pihak dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu; perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Lebih lanjut persyaratan-persyaratan tersebut di atas diatur lebih rinci dan teknis lagi di Permenaker 19/2012. Semisal kewajiban mendaftarkan perjanjian antara perusahaan penyedia pekerja outsourcing dengan perusahaan pengguna pekerja outsourcing ke instansi ketenagakerjaan setempat. Kemudian juga ada persyaratan kewajiban bagi perusahaan penyedia pekerja outsourcing seperti harus berbadan hukum Perseroan Terbatas, memiliki izin usaha, izin operasional dan nomor pokok wajib pajak.  Selain itu, perusahaan penyedia pekerja outsourcing juga harus mendaftarkan perjanjian kerja pekerja outsourcing- nya di instansi ketenagakerjaan di kabupaten/kota. Sedangkan mengenai apa sanksi hukum bagi perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda dapat merujuk pada Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan . Dalam Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa apabila ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak terpenuhi, dalam arti pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan . Lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “demi hukum” dapat Anda simak penjelasannya dalam artikel Apa Arti Frasa ‘Demi Hukum’? . Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.04/MEN/VIII/2013 sebagai pedoman pelaksana dari Permenaker 19/2012 ada juga sanksi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia pekerja outsourcing. Yaitu bagi perusahaan outsourcing yang tidak mendaftarkan perjanjian kerjasama dengan perusahaan pengguna outsourcing . Juga terhadap perusahaan outsourcing yang tidak mencatatkan perjanjian kerja pekerja outsourcing -nya. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, tidak ada sanksi pidana secara spesifik bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh maupun perusahaan pemberi kerja yang melanggar praktik outsourcing sesuai Pasal 66 UU Ketenagakerjaan . Namun yang ada hanyalah pencabutan izin operasional perusahaan penyedia pekerja outsourcing dan perubahan status hubungan kerja pekerja outsourcing . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain 3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.04/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain." }
{ "from": "human", "value": "Apakah salah (berdasarkan peraturan perundangan) apabila sebuah badan hukum melakukan pembelian/ganti rugi terhadap penguasaan masyarakat terhadap lokasi yang belum diajukan permohonan izin lokasi (OSS dan lainnya)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan Hukum yang Berlaku Aturan hukum yang berlaku saat ini terkait izin lokasi adalah, di antaranya, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi (“Permen ATR/BPN 17/2019”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP OSS”) . Baik dalam Permen ATR/BPN 17/2019 maupun PP OSS, izin lokasi didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usaha dan/atau kegiatannya. [1] Subjek Izin Lokasi Subjek izin lokasi merupakan pelaku usaha, baik perseorangan dan nonperseorangan, yang memerlukan tanah untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan namun belum memiliki atau menguasai tanah. [2] Pelaku usaha nonperseorangan tersebut terdiri atas: [3] perseroan terbatas; perusahaan umum; perusahaan umum daerah; badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara; badan layanan umum; lembaga penyiaran; badan usaha yang didirikan oleh yayasan; atau koperasi; persekutuan komanditer ( commanditaire vennootschap ); persekutuan firma ( venootschap onder firma ); dan persekutuan perdata. Sehingga, perlu diketahui apakah badan hukum yang Anda maksud adalah pelaku usaha yang ingin memperoleh tanah untuk kegiatan usahanya atau bukan. Apabila demikian, maka badan hukum yang Anda maksud juga termasuk subjek izin lokasi. Hak Pemegang Izin Lokasi Pemegang izin lokasi yang sudah berlaku efektif, berhak untuk melakukan pembebasan tanah berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [4] Sesudah tanah dibebaskan dari hak dan kepentingan pihak lain, baru pemegang izin lokasi dapat diberikan hak atas tanah, yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya. [5] Perlu diperhatikan bahwa tanah yang diperoleh di luar lokasi izin lokasi tidak dapat diproses permohonan hak atas tanahnya. [6] Lebih tegas lagi, pada Pasal 17 Permen ATR/BPN 17/2019 dinyatakan bahwa: izin lokasi berdasarkan komitmen yang telah berlaku efektif, pertimbangan teknis pertanahan dan persetujuan pemenuhan komitmen merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipergunakan sebagai syarat bagi pelaku usaha untuk mengajukan permohonan hak atas tanah . Berkaitan dengan pertanyaan Anda, tanah yang telah diperoleh/dibebaskan tanpa izin lokasi, apabila keperluannya adalah untuk kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam PP OSS dan Permen ATR/BPN 17/2019, maka telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi, sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat ketentuan sanksi administratif maupun pidana terhadap pelanggaran tersebut. Menurut Andrey , Konsultan EasyBiz , dalam praktiknya, memang tidak jarang badan hukum untuk membebaskan atau memperoleh tanah terlebih dahulu, meski izin lokasi belum diperoleh. Hal ini memang tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan secara eksplisit. Namun patut diperhatikan bahwa izin lokasi merupakan salah satu syarat pengajuan permohonan hak atas tanah yang merupakan dasar kewenangan untuk menggunakan tanah tersebut . Selain itu, menurut Andrey, izin lokasi juga merupakan syarat untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) dari pemerintah daerah setempat, karena pembangunan dalam rangka kegiatan usaha badan hukum tersebut berpotensi mengubah rencana tata ruang wilayah daerah setempat. Dengan demikian, meskipun badan hukum yang Anda maksud telah membebaskan tanah dengan membeli atau mengganti rugi pemilik hak atas tanah sebelumnya, badan hukum tersebut: tidak akan dapat mengajukan permohonan hak atas tanah atas tanah tersebut; tidak akan mendapatkan IMB, sehingga tidak dapat melakukan pembangunan untuk kegiatan usahanya. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Andrey , Konsultan EasyBiz, pada 1 September 2020 , pukul 16.48 WIB . [1] Pasal 1 angka 18 PP OSS jo . Pasal 1 angka 1 Permen ATR/BPN 17/2019 [2] Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 17/2019 [3] Pasal 6 ayat (4) Permen ATR/BPN 17/2019 [4] Pasal 21 ayat (2) Permen ATR/BPN 17/2019 [5] Pasal 21 ayat (5) Permen ATR/BPN 17/2019 [6] Pasal 15 ayat (4) Permen ATR/BPN 17/2019 lingkungan hidup hukumonline investasi" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, bagaimana dampak atau akibat hukum terhadap akta notaris yayasan, jikalau SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum yayasan dicabut dan dibatalkan oleh PTUN yang telah inkracht? Kemudian, apakah yayasan yang tidak memiliki SK Menkumham tetap dapat beroperasi secara legal, dengan hanya mengandalkan akta notaris yayasan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengesahan Akta Pendirian Yayasan Perlu Anda ketahui sebelumnya, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. [1] Dalam artikel Prosedur Pendirian Yayasan di Indonesia , ada 3 tahap dalam proses pendirian yayasan, yaitu pendirian, pengesahan, dan pengumuman. Setelah ketiga proses tersebut dijalankan, yayasan telah sah didirikan menjadi suatu badan hukum . Terkait pertanyaan Anda, pengesahan akta pendirian yayasan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang Anda maksud merupakan tahapan pengesahan dan yayasan memperoleh status badan hukumnya setelah akta pendirian tersebut disahkan. [2] Permohonan pengesahan tersebut dilampiri : [3] salinan akta pendirian yayasan ; fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap yayasan yang ditandatangani oleh pengurus yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan yayasan; surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan kekayaan awal tersebut; bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman yayasan. Jadi, pengesahan akta pendirian yayasan merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses pendirian yayasan sebagai badan hukum. Artikel dalam laman Easybiz yang berjudul Mau Mendirikan Yayasan dan Mengurus Legalitasnya? Perhatikan 9 Hal Ini mengutip Rudhi Prasetya dalam bukunya Yayasan Dalam Teori dan Praktek yang menyatakan bahwa dengan memperoleh status badan hukum, maka yang bertanggung jawab adalah badan hukum itu sendiri terlepas dari manusia-manusia yang terkait, semata-mata dan terbatas pada harta kekayaan yang dimiliki oleh badan itu. Akibat Hukum Pencabutan Pengesahan Akta Pendirian Yayasan Jika pengesahan akta pendirian yayasan dicabut oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka akta pendirian yayasan tersebut hilang status sahnya. Berdasarkan ketentuan di atas, jika terhadap akta pendirian yayasan tidak dilakukan pengesahan, maka yayasan tidak memperoleh status badan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum pun menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng. [4] Untuk mengetahui lebih lanjut akibat hukum dari pencabutan pengesahan akta pendirian yayasan, kami merujuk pada Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 111/G/2009/PTUN-JKT . Dalam kasus tersebut, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menerbitkan surat keputusan yang pada intinya membatalkan dan mencabut surat keputusan yang diterbitkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan akta pendirian yayasan Penggugat (hal. 13). Oleh karena surat keputusan yang mencabut pengesahan akta pendirian yayasan tersebut, pengurus tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan dalam menyelenggarakan kegiatan lembaga pendidikan formal tersebut maupun kegiatan lainnya yang berhubungan dengan lembaga-lembaga swasta dan/atau instansi atau dinas/pejabat pemerintah untuk kepentingan yayasan (hal. 14). Dalam amar putusan, Pengadilan menyatakan tidak sah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (hal. 51). Hal ini dikarenakan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak berwenang menerbitkan surat keputusan tersebut (hal. 49). Pengadilan mewajibkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut surat keputusan tersebut (hal. 51). Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 10/B/2010/PT.TUN.JKT menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut (hal. 7). Yang patut diperhatikan dari putusan tersebut adalah akibat dari penerbitan surat keputusan mengenai pencabutan pengesahan akta pendirian yayasan, karena Penggugat menjadi tidak dapat melakukan perbuatan hukum sebagai yayasan untuk kepentingan yayasan. Menurut hemat kami, serupa dengan kasus Anda, maka akibat hukum dari pencabutan pengesahan akta pendirian yayasan tersebut adalah: hilangnya status badan hukum yayasan; pengurus tidak lagi dapat bertindak atas nama yayasan demi kepentingan yayasan; pertanggungjawaban atas perbuatan pengurus menjadi tanggung jawab renteng, bukan tanggung jawab yayasan. Menurut Legal Analyst & Content Easybiz , Syarief Toha , akibat hukum dari pencabutan pengesahan akta pendirian yayasan adalah yayasan yang Anda maksud menjadi tidak berbadan hukum. Akibatnya, sesuai dengan Pasal 13A UU 28/2004, pengurus tidak dapat melakukan perbuatan hukum atas nama yayasan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban perbuatan hukum yang dilakukan berada di pihak pengurus secara tanggung renteng. Seandainya bersikeras melakukan perbuatan hukum, misalnya pada pembuatan perjanjian, padahal yayasan tidak memiliki pengesahan akta pendirian, maka perjanjiannya dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat subyektif, secara khusus kecakapan para pihak. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Jika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian yayasan dan perizinan berusaha, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian yayasan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan Putusan : Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 111/G/2009/PTUN-JKT ; Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 10/B/2010/PT.TUN.JKT . Referensi : Mau Mendirikan Yayasan dan Mengurus Legalitasnya? Perhatikan 9 Hal Ini , diakses pada 7 Agustus 2020, pukul 19.02 WIB. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Legal Analyst & Content Easybiz , Syarief Toha via WhatsApp pada 11 Agustus 2020 , pukul 12.30 WIB . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 16/2001”) [2] Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ( “UU 28/2004”) [3] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan [4] Pasal 13A UU 28/2004 perusahaan hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Seorang dosen bergelar guru besar atau profesor dicabut gelarnya oleh Mendikbudristek. Apa dasar hukum kewenangan atau alasan tertentu bagi Mendikbudristek mencabut gelar profesor?" }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu diketahui sebelumnya, guru besar atau profesor termasuk dalam jenjang jabatan fungsional tertinggi bagi dosen atau jabatan akademik dosen.[1] Pangkat/golongan guru besar adalah pembina utama madya (IV-D) atau pembina utama (IV-E).[2]\n\nDisarikan dari Jabatan Akademik Dosen yang dibuat oleh Imam Aschuri, syarat naik jabatan regular ke guru besar adalah antara lain sebagai berikut:" }
{ "from": "human", "value": "Adakah akibat hukum tertentu apabila perjanjian ditandatangani pada bulan April 2024 sementara jangka waktu perjanjian dimulai dari bulan Januari 2024 (backdate)? Apakah perjanjian backdate itu memang dibolehkan (sah)? Jika sah adakah syarat khususnya? Mohon berikan contoh dalam kondisi apa perjanjian backdate itu sah/boleh dan tidak boleh." }
{ "from": "gpt", "value": "Apa yang dimaksud dengan perjanjian backdate? Perjanjian backdate adalah suatu perjanjian yang dibuat guna mengakomodir perbuatan hukum yang telah dilakukan sebelumnya atau yang telah lampau yaitu tindakan memberikan tanggal “kembali” dalam sebuah perjanjian sehingga dapat terlihat seolah-olah perjanjian dibuat pada tanggal tersebut, yang mana biasanya dilakukan atas dasar adanya kesepakatan dari para pihak.\nLantas bolehkah membuat perjanjian secara backdate? Untuk menjawab hal tersebut, maka perlu ditinjau kembali asas-asas perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dalam pembuatan perjanjian backdate.\n\nAsas Konsensualisme\n\nAsas konsensualisme menjelaskan persesuaian kehendak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat pertama dalam perjanjian yaitu kesepakatan.\nSebagaimana diketahui, Pasal 1320 KUH Perdata mengatur empat syarat sah perjanjian, yakni:\n\nkesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu pokok persoalan tertentu;suatu sebab yang tidak terlarang.\n\nKonsensual artinya perjanjian itu terjadi ketikakedua belah pihak ada kata sepakat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perjanjiantersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum sejak terjadinya kesepakatan antara para pihak mengenai isi perjanjian yang dimaksudkan. Asas ini menekankan perjanjian pada bentuk kesepakatan sebagai sumber utama.\n\nAkan tetapi, dalam praktiknya pembuatan perjanjian backdate rawan tidak memenuhi syarat utama sahnya perjanjian, dan justru timbul adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Terkait dengan hal tersebut, Anda dapat menyimak Pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi:\n\nTiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.\n\nKesepakatan yang di dalamnya terdapat unsur kekhilafan, maka suatu perjanjian akan dianggap tidak sempurna dan dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan.\n\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi\n\nAsas Kebebasan Berkontrak\n\nKUH Perdata memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk membuat kontrak atau perjanjian. Agus Yudho Hernoko dalam buku Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (hal. 110) menuliskan bahwa menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Akan tetapi, terdapat pembatasan terhadap kebebasan itu berupa ketertiban umum dan kesusilaan.\n\nAdapun, terkait dengan perjanjian backdate, maka terhitung sejak para pihak telah bersepakat untuk saling terikat dalam suatu perjanjian, maka tidak menutup kemungkinan perjanjian backdate dapat diakui keberadaannya oleh pihak-pihak yang membuatnya.\n\nAsas Iktikad Baik\n\nAsas ini merujuk pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik.\n\nUntuk membuat suatu perjanjian, pihak-pihak yang terikat di dalamnya berpijak pada suatu kepercayaan satu sama lain, sehingga diharapkan adanya iktikad baik dari masing-masing pihak. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya peluang dirugikan satu sama lain dan dampak buruk bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian backdate tersebut.\n\nBaca juga: Asas-asas dalam Pasal 1338 KUH Perdata\n\nDengan demikian, menurut pendapat kami, perjanjian backdate adalah sah di mata hukum, jika tidak melanggar syarat-syarat ketentuan sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan asas-asas perjanjian.\nAkibat Hukum Perjanjian Backdate\n\nNamun demikian, perjanjian backdate berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila dilakukan tanpa mempertimbangkan kemungkinan risiko yang dapat terjadi, di antaranya:\n\nPerjanjian backdate dapat menimbulkan dugaan terjadinya pelanggaran hukum. Dugaan ini muncul utamanya dari pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan adanya perjanjian backdate tersebut, sehingga pihak-pihak yang membuatnya dianggap telah melakukan pemalsuan atau memanipulasi tanggal perjanjian.Perjanjian backdate dapat dipertanyakan perihal keabsahan hukumnya, jika salah satu pihak ternyata tidak mengakui adanya perjanjian tersebut. Hal ini sering kali terjadi manakala timbul sengketa hukum di pengadilan.Perjanjian backdate dapat berpotensi menimbulkan rusaknya tatanan administrasi legalitas surat menyurat yang sebelumnya sudah tersusun rapi dan runtut pada suatu organisasi, kelembagaan ataupun korporasi. Sehingga, berpeluang menjadi salah satu faktor kendala dalam upaya pemenuhan tertib administrasi maupun kepastian hukum berkenaan dengan legalitas suatu objek.\n\nMeskipun tidak ada regulasi khusus yang mengatur perjanjian backdate, penting untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan iktikad baik dan mematuhi prinsip-prinsip yang tercantum dalam KUH Perdata. Selain itu, perlu diperhatikan apakah tindakan backdating tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat atau pihak ketiga.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\n\nREFERENSI:\n1. Agus Yudho Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Edisi Pertama. Cetakan ke-4. Jakarta: Kencana, 2014." }
{ "from": "human", "value": "Saya mau menanyakan terkait putusan yang dinyatakan non-eksekutabel. Apa akibat hukumnya apabila putusan perkara perdata yang telah memasuki tahap sita eksekusi dinyatakan non-eksekutabel oleh hakim? Apakah eksekusi harus dihentikan?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apa Maksud Putusan Bersifat Final dan Mengikat? 23 Apr 2024 Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim 01 Mar 2022 Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator 19 Nov 2021 Contempt of Court dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan 21 Feb 2017 Intisari: Eksekusi yang tidak dapat dijalankan ( non-executable ) antara lain ditetapkan dalam hal: a. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada b. Putusan bersifat deklaratoir c. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga d. Eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel e. Barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga Pada saat eksekusi ditetapkan oleh hakim dalam suatu penetapan menjadi non-executable , maka eksekusi berhenti setelah adanya penetapan non-executable tersebut. Namun demikian, pihak yang tidak puas dengan penetapan non-executable tersebut masih dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sehubungan dengan putusan yang dinyatakan non-executable , Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, Edisi 2013, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, menjelaskan bahwa suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dinyatakan non-executable oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila: a. Putusan bersifat deklaratoir dan konstitutief; Putusan deklarator atau deklaratif ( declatoir vonnis ) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau  penetapan tentang sesuatu hak atau title maupun status dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. Putusan constitutief ( constitutief vonnis ) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua putusan tersebut dapat Anda simak Arti Putusan Deklarator, Putusan Constitutief dan Putusan Condemnatoir . b. Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan Tergugat/Termohon eksekusi; c. Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan Barang yang disebutkan di dalam amar putusan; d. Amar Putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan; e. Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable , sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan, kecuali tersebut pada butir a. Penetapan non-executable harus didasarkan Berita Acara yang dibuat oleh Juru Sita yang diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut. Lebih lanjut, M. Yahya Harahap dalam buku nya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (BAB 12) menjelaskan mengenai eksekusi yang tidak dapat dijalankan ( non-executable ), yaitu dalam hal: a. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada b. Putusan bersifat deklaratoir c. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga d. Eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel e. Barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga f. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya g. Perubahan status tanah menjadi milik negara h. Barang objek eksekusi berada di luar negeri i. Dua putusan yang saling berbeda j. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama. Akibat Hukum Putusan yang Dinyatakan Non-Executable Sehubungan dengan pertanyaan Anda, apabila putusan perkara perdata yang telah memasuki tahap sita eksekusi dinyatakan non-executable oleh hakim, apakah eksekusi harus dihentikan? Kami jelaskan sebagai berikut: Terhadap suatu penetapan pengadilan negeri, masih dapat diajukan suatu upaya hukum kasasi sebagaimana ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. (4) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Mahkamah Agung . Berdasakan penjelasan hal-hal tersebut di atas, pada saat eksekusi ditetapkan oleh hakim dalam suatu penetapan menjadi non-executable, maka eksekusi berhenti setelah adanya penetapan non-executable tersebut. Namun demikian, pihak yang tidak puas dengan penetapan non-executable tersebut masih dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan kedua kali oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung . pengadilan perdata ma klinik hukumonline perkara perdata penetapan pengadilan penetapan benda hakim mahkamah agung kasasi hukumonline barang eksekusi aset profesi hukum acara peradilan google putusan hakim putusan hukum klinik" }
{ "from": "human", "value": "Apakah penjatuhan talak oleh suami, menurut hukum formal, wajib dilakukan lewat pengadilan agama? Lalu, bagaimana talak yang diucapkan suami tanpa lewat proses di pengadilan agama? Apakah talak tersebut sah? Apakah talak seperti itu dapat disebut talak di bawah tangan? Apa saja akibat hukum talak yang dijatuhkan di luar pengadilan agama? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Pengaturan masalah perkawinan di Indonesia diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya. Pengaturan lebih khusus bagi orang Islam tentang perkawinan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam ( Inpres No.1 Tahun 1991 ). Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UUP , sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Dalam pengertian, perkawinan adalah sah apabila telah dilaksanakan menurut rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut. Sedangkan, pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap peristiwa perkawinan yang terjadi beserta akibat-akibatnya. KLINIK TERKAIT Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara 25 Apr 2024 Biaya Gugat Cerai dari Pihak Istri yang Perlu Dikeluarkan 29 Agt 2023 Bolehkah Nikah Beda Agama di Indonesia? Ini Hukumnya 31 Jul 2023 Istri Meninggalkan Suami, Apakah Jatuh Talak? 10 Mar 2023 Dengan demikian, di dalam praktiknya, maka ada perkawinan  yang tercatat dan ada yang tidak tercatat. Perkawinan yang tidak tercatat, biasa dikenal di dalam masyarakat dengan sebutan perkawinan di bawah tangan atau kawin siri. Oleh karena Anda tidak menyebutkan secara tegas apakah yang ditanyakan tentang talak untuk perkawinan tercatat atau untuk perkawinan yang tidak tercatat (siri), maka kami mengasumsikan talak yang dimaksud adalah talak dalam perkawinan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Berdasarkan Pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan. Sedangkan berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), putusnya ikatan perkawinan karena perceraian dapat diakibatkan karena adanya talak dari suami atau adanya gugatan dari  istri. Pasal 114 KHI menyatakan: “ P utusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan pertanyaan Anda yaitu apakah penjatuhan talak oleh suami, menurut hukum formal, wajib dilakukan lewat pengadilan agama, maka kami menjawab dengan merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUP , bahwa perceraian  hanya bisa dilakukan melalui proses sidang di pengadilan, dalam hal ini untuk orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama. Pasal 39 ayat (1) UUP menyatakan: “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ”. Dengan demikian, maka perceraian baik cerai karena talak maupun cerai karena gugatan hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang di Pengadilan Agama yang mewilayahi  tempat tinggal istri. Di dalam hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 117 KHI menyatakan: “ Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131 ”. Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami-istri. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . 3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimanakah akibat hukum dari tanah yang dinyatakan oleh negara sebagai tanah terlantar? Apakah akibat hukumnya jika bank menerima tanah terlantar sebagai jaminan kredit?" }
{ "from": "gpt", "value": "Akibat hukum dari tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah dengan objek tanah, kemudian tanah tersebut dikuasai kembali oleh Negara . Demikian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar : “ (2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a , penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (3)  Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. ” Objek tanah yang dikuasai oleh Negara tanpa adanya hak atas tanah bukan merupakan objek dari Hak Tanggungan. Sehingga apabila bank menerima tanah terlantar sebagai jaminan kredit, maka akibat hukumnya adalah bank tersebut tidak bisa memberikan pembebanan Hak Tanggungan atas objek tanah tersebut. Hal tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah : “ Pasal 4 (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik ; b. Hak Guna Usaha ; c. Hak Guna Bangunan . (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di-bebani Hak Tanggungan. ” Dasar hukum : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana status utang-piutang dengan PT yang akta perubahannya belum disahkan oleh Menkumham dalam perikatan hukum? Kemudian dapatkah dilakukan langkah hukum jika PT tersebut wanprestasi. Mohon pendapat Tim Hukum Online.. Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam hal ini kami berasumsi bahwa akta perubahan yang Anda maksud adalah akta perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas (“PT”). Pada dasarnya tidak ada pengaturan yang mengatur secara eksplisit bagaimana status perikatan yang dibuat sebelum akta perubahan anggaran dasar mendapat persetujuan Menteri atau telah diberitahukan kepada Menteri. Perlu Anda ketahui, dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) , mengenai perubahan anggaran dasar, dikatakan bahwa ada perubahan anggaran dasar yang harus mendapatkan persetujuan Menteri ( Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (2) UUPT ), dan ada yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri ( Pasal 21 ayat (3) UUPT ). Dari rumusan Pasal 21 UUPT, dapat kita lihat bahwa UUPT tidak menyebutnya dengan “disahkan”, tetapi “mendapat persetujuan” atau “diberitahukan”. KLINIK TERKAIT Jumlah Direksi dalam Anggaran Dasar Tak Sesuai Fakta, Ini Hukumnya 24 Nov 2023 Haruskah Pengangkatan Kembali Pengurus PT Dicatatkan? 15 Sep 2023 Konsekuensi Hukum Jika Ada Perubahan Nama PT 12 Jul 2023 Simak! Ini 5 Langkah Merger PT 22 Mei 2023 Untuk perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai persetujuan anggaran dasar ( Pasal 23 ayat (1) UUPT ). Sedangkan dalam hal perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan kepada Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri ( Pasal 23 ayat (2) UUPT ). Dalam Pasal 30 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (“TBN”) mengenai akta pendirian perseroan serta akta perubahan anggaran dasar (baik perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri maupun yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri). Pasal 30 UUPT: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: a. akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. M. Yahya Harahap, S.H. , dalam bukunya yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal. 230-231) mengatakan bahwa sehubungan dengan pengumuman ini, terkandung dua permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian. Pertama; pengumuman dari segi hukum, merupakan asas “publisitas” ( publiciteit, publicity ) kepada masyarakat atau pihak ketiga. Keabsahannya kepada pihak ketiga sebagai perseroan boleh dikatakan digantungkan pada pengumumannya dalam TBN. Oleh karena itu, meskipun perseroan telah mendapat pengesahan dari Menteri sebagai badan hukum atau perubahan anggaran dasar telah mendapat persetujuan Menteri maupun telah disampaikan pemberitahuannya, maka selama hal itu belum diumumkan dalam TBN, belum sah dan belum mengikat kepada pihak ketiga . Kedua; kelalaian ( negligence ) Menteri mengumumkan pengesahan perseroan sebagai badan hukum, atau kelalaian mengumumkan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari tenggang waktu yang ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Anda tidak menyebutkan apa perubahan yang dilakukan atas anggaran dasar perseroan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perubahan anggaran dasar mengikat pihak ketiga setelah ada pengumuman dalam TBN, maka perjanjian utang piutang antara perseroan dengan pihak ketiga masih terikat dengan anggaran dasar perseroan sebelum perubahan. Tentu saja dapat dilakukan langkah hukum jika PT tersebut wanprestasi. Ini karena perubahan anggaran dasar tidak dapat menghilangkan hak pihak ketiga untuk melakukan gugatan atas dasar wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Selain itu, selama pihak ketiga merasa bahwa haknya dilanggar oleh PT berdasarkan perjanjian di antara keduanya, pihak ketiga dapat bertindak sebagai penggugat, menggugat PT atas dasar wanprestasi. Menurut Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H. , di dalam buku berjudul Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktek (hal. 3) mengatakan penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Di dalam hukum acara perdata, inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat. Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Pihak yang Dapat Bertindak Sebagai Penggugat . Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel yang berjudul Kapan Perubahan Direksi Efektif Berlaku? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ." }
{ "from": "human", "value": "Apakah gugatan yang tidak mencantumkan permintaan untuk pembebanan biaya perkara menjadi obscuur libel? Lalu apakah bila Majelis Hakim memutuskan untuk membebankan biaya perkara kepada penggugat atau tergugat, putusan tersebut akan menjadi ultra petita? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Gugatan yang obscuur libel dapat terjadi dalam hal adanya ketidaksesuaian isi fakta hukum /fundamentum petendi dengan tuntutan/ petitum . Pada prinsipnya, tidak dicatumkannya permintaan pembebanan biaya perkara kepada para pihak dalam gugatan tidak menjadikan gugatan tersebut kabur/ obscuur libel , sebab pencantuman pembebanan biaya perkara dalam gugatan bersifat tambahan atau tidak termasuk dalam tuntutan primer. Apabila dalam petitum gugatan tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara namun majelis hakim dalam putusannya membebankan pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara (yang mana tentang biaya perkara memang wajib dicantumkan dalam putusan), putusan tersebut tidaklah bersifat ultra petita. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda secara lebih mendalam, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa itu gugatan dan apa hubungannya gugatan tersebut dengan obscuur libel sesuai dengan pertanyaan Anda di atas. Syarat Gugatan Perdata Gugatan menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa. Secara sederhana gugatan itu berisi mengenai tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum karena dirinya menderita kerugian akibat perbuatan pihak lain. Kemudian Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 47) mendefinisikan gugatan perdata sebagai gugatan yang mengandung sengketa di antara para pihak yang berperkara dengan posisi para pihak: Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut sebagai penggugat ( plaintiff ); Yang ditarik sebagai lawan berkedudukan sebagai tergugat ( defendant ) ; Dalam teknik penyusunan gugatan harus benar-benar diperhatikan mengenai persyaratan gugatan tersebut yakni syarat formil dan syarat materiil sesuai dengan Pasal 8 nomor 3 Rv ( Reglement of de Rechtsvordering ) . Apabila suatu gugatan mengandung kecacatan baik formil maupun materiil , maka gugatan tersebut akan ditolak atau tidak dapat diterima . Lebih lanjut Yahya harahap (hal. 51-67) menjelaskan bahwa hal-hal yang penting dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai berikut: Syarat formil\n: gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangan relatif, diberi tanggal, ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, serta adanya identitas para pihak. Syarat Materil\n: dasar gugatan atau dasar tuntutan ( fundamentum petendi ), dan tuntutan ( petitum ) penggugat yang nantinya diputuskan oleh hakim berdasarkan gugatan atau dasar tuntutan tersebut. Gugatan Obscuur Libel Setelah mengetahui apa itu gugatan dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar gugatan tidak cacat secara hukum, maka selanjutnya dijelaskan hubungannya surat gugatan tersebut dengan obscuur libel . Hubungan antara gugatan dengan gugatan yang obscuur libel itu sendiri terletak dari ketidaksesuaian isi fakta hukum yang terjadi ( fundamentum petendi ) dengan tuntutan ( petitum ), sebab apabila seseorang membuat gugatan yang tidak memenuhi syarat, maka akibatnya adalah gugatan itu disebut sebagai gugatan yang obscuur libel atau tidak jelas sehingga menyebabkan gugatan “tidak dapat diterima”. Merujuk pada artikel Arti Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima , Yahya Harahap (hal. 811), menjelaskan bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) . Adapun arti gugatan yang cacat formil menurut Yahya adalah: gugatan tidak memiliki dasar hukum; gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium ; gugatan mengandung cacat atau obscuur libel ; atau gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya. Apakah Gugatan yang Tidak Mencantumkan Petitum Biaya Perkara Menjadi Gugatan Obscuur Libel ? Untuk menjawab pertanyaan di atas harus dimulai terlebih dahulu dengan penjelasan sifat petitum pembebanan biaya perkara itu sendiri. Menurut Sudikno Mertokusumo (hal.61), seringkali di samping petitum atau tuntutan pokok dapat dijumpai tuntutan tambahan atau pelengkap pada tuntutan pokok yang biasanya disebut sebagai tuntutan tambahan yaitu t untutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara. Adapun yang dimaksud dengan biaya perkara ialah: Biaya kantor kepaniteraan; Biaya saksi, ahli, dan juru sita; Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim lainnya; Biaya gaji pejabat yang disuruh melakukan pemanggilan pemberitahuan dan segala surat juru sita yang lain; Gaji yang harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pejabat lain karena menjalankan putusan hakim. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dari itu sifat petitum mengenai pembebanan biaya perkara merupakan suatu “tuntutan tambahan” . Oleh karena itu, maka surat gugatan yang tidak mencantumkan petitum perihal pembebanan biaya perkara tidaklah obscuur libel . Hal itu didukung dengan bunyi Pasal 183 HIR yakni : Banyaknya biaya perkara, yang dijatuhkan pada salah satu pihak harus disebutkan dalam keputusan. Oleh karena berdasarkan kententuan Pasal 183 HIR banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang kalah (baik penggugat atau tergugat) harus disebutkan dalam keputusan, maka dari itu menurut hemat kami, tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara pada gugatan tidak serta merta membuat suatu surat gugatan obscuur libel. Mengenai biaya perkara tersebut baru wajib disebutkan dalam putusan hakim. Dalam praktiknya, pada bagian petitum gugatan dicantumkan pembebanan biaya perkara yang harus dibayarkan oleh pihak yang kalah sesuai sesuai ketentuan dalam Pasal 181 ayat (1) HIR yakni: Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum membayar biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, saudara laki-laki dan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika dua belah fihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal. Setelah mengetahui hubungan antara pembebanan biaya perkara dalam petitum gugatan bukanlah obscuur libel , maka terkait dengan pertanyaan Anda mengenai putusan majelis hakim merupakan ultra petita karena memutus untuk membebankan biaya perkara dalam gugatan juga sudah terjawab berdasarkan ketentuan Pasal 181 dan 183 HIR di atas. Selengkapnya mengenai biaya perkara Anda dapat simak artikel Siapa yang Membayar Biaya Perkara Jika Gugatan Dikabulkan Sebagian? . Sebelum memahami lebih lanjut mengenai putusan majelis hakim terkait pencantuman biaya perkara dalam petitum gugatan bukan merupakan ultra petita , maka pertama kita harus memahami terlebih dahulu apa itu ultra petita . Asas ultra petita atau sering disebut sebagai asasiu dex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur diatur dalam Pasal 178 a yat (2) dan a yat (3) HIR serta dalam Pasal 189 a yat (2) dan a yat (3) Rbg j o. Pasal 67 huruf c Undang–Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang artinya jika hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang dimintakan (petitum), maka putusan tersebut merupakan putusan yang ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada itikad baik maupun telah sesusai dengan kepentingan umum. Oleh sebab itu, apabila dalam petitum gugatan tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara namun majelis makim dalam putusannya membebankan pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara, putusan tersebut tidaklah bersifat ultra petita. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Herzien Inlandsch Reglement Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Referensi : Sudikno Mertokusumo. 1977. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty; Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan . Jakarta: Sinar Grafika. perkara gugatan hukumonline perdata online klinik hukumonline hukum biaya" }
{ "from": "human", "value": "Tindakan hukum apa yang dapat diambil apabila sebuah merek telah didaftar akan tetapi sampai dengan saat ini tidak pernah dipakai?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 12 Agustus 2014 . Intisari: Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan. Jangka waktu pelindungan tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Bagaimana dengan Merek yang telah terdaftar, namun tidak pernah digunakan? Menjawab pertanyaan tersebut, Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan langkah hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap Merek terdaftar yang tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, yaitu dengan mengajukan gugatan penghapusan atas Merek terdaftar ke Pengadilan Niaga . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) . Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan. [1] Jangka waktu pelindungan tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. [2] Gugatan Penghapusan Merek Terdaftar Bagaimana dengan Merek yang telah terdaftar, namun tidak pernah digunakan? Menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat pengaturan mengenai penghapusan Merek terdaftar dalam Pasal 74 UU MIG sebagai berikut: Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran [3] atau pemakaian terakhir. Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya: larangan impor; larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penghapusan Merek terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Tata Cara Gugatan pada Pengadilan Niaga Gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Dalam hal salah satu pihak bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. [4] Panitera mendaftarkan gugatan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. [5] Panitera menyampaikan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. [6] Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan disampaikan, ketua Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menunjuk majelis hakim untuk menetapkan hari sidang. [7] Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan didaftarkan. [8] Sidang pemeriksaan sampai dengan putusan atas gugatan penghapusan Merek terdaftar harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah perkara diterima oleh majelis yang memeriksa perkara tersebut dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. [9] Putusan atas gugatan penghapusan Merek terdaftar yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. [10] Isi putusan Pengadilan Niaga wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan penghapusan Merek terdaftar diucapkan. [11] Jadi menjawab pertanyaan Anda , Pasal 74 ayat (1) UU MIG memberikan langkah hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap Merek terdaftar yang tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, yaitu dengan mengajukan gugatan penghapusan atas Merek terdaftar ke Pengadilan Niaga . Sebagai contoh, Anda dapat melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 754 K/Pdt.Sus/2012 . Dalam kasus ini, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan penghapusan merek “Pagoda Brand + Hua Tiao Chiew” yang sebelumnya sudah terdaftar atas nama Hengki Arifin pada 16 April 2008. Alasannya karena Hengki tidak menggunakan merek itu selama tiga tahun secara berturut-turut sejak merek itu terdaftar. Putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis . Referensi : Putusan Mahkamah Agung Nomor 754 K/Pdt.Sus/2012 . [1] Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum (Pasal 1  angka 16 UU MIG) [2] Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU MIG [3] Yang dimaksud dengan \"tanggal pendaftaran\" adalah tanggal didaftarnya Merek (Penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf f UU MIG) [4] Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU MIG [5] Pasal 85 ayat (3) UU MIG [6] Pasal 85 ayat (4) UU MIG [7] Pasal 85 ayat (5) UU MIG [8] Pasal 85 ayat (6) UU MIG [9] Pasal 85 ayat (7) UU MIG [10] Pasal 85 ayat (8) UU MIG [11] Pasal 85 ayat (9) UU MIG hukumonline pengadilan uu merek google merek terkenal merek pengadilan niaga hukum klinik hukumonline perdagangan kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Apa akibatnya jika dividen tidak diambil oleh pemegang saham dalam jangka waktu lama? Apakah akan berubah menjadi punya perusahaan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Dividen merupakan pendistribusian laba kepada pemegang saham secara pro rata yang pada prinsipnya dibayarkan dalam bentuk uang. Jika dividen tidak diambil oleh pemegang saham setelah 5 tahun sejak tanggal pembayaran dividen ditetapkan, maka akan dimasukkan ke dalam cadangan khusus . Jika dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus itu dalam jangka waktu 10 tahun tetap tidak diambil, maka akan menjadi hak perseroan . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dividen Untuk Pemegang Saham Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”) . Yahya Harahap dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 291) mendefinisikan dividen sebagai pendistribusian laba kepada pemegang saham secara pro rata . Pada prinsipnya dibayarkan dalam bentuk uang. Akan tetapi, dimungkinkan juga dalam bentuk script atau surat saham sementara maupun produk atau property perusahaan. Dividen sebagai bagian dari laba atau keuntungan bersih perseroan secara resmi diumumkan oleh direksi setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) untuk dibagikan kepada para pemegang saham. [1] Menurut Pasal 71 ayat (2) UUPT , pada dasarnya dividen yang dapat dibagikan kepada pemegang saham adalah: Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS. Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Yahya mencontohkan, maksud dari Pasal 71 ayat (2) misalnya RUPS dapat menentukan tidak ada pembagian dividen atas alasan laba bersih itu akan digunakan untuk memperluas kegiatan usaha. [2] Jika Dividen Tidak Diambil oleh Pemegang Saham Bagaimana jika pemegang saham tidak mengambil dividen? Hal ini diatur dalam Pasal 73 UUPT yang berbunyi: Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh ) tahun akan menjadi hak Perseroan . Yahya Harahap (hal. 296) menjelaskan tentang dividen yang tidak diambil oleh pemegang saham sebagai berikut: Dividen yang Tidak Diambil Setelah 5 Tahun, Dimasukkan Dalam Cadangan Khusus Sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat (1) UUPT di atas, digariskan ketentuan: dividen yang tidak diambil pemegang saham setelah 5 tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen “lampau”, maka dividen yang tidak dimbil tersebut, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. Apakah dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus, dapat lagi diambil pemegang saham yang bersangkutan? Jawabannya adalah dapat. Akan tetapi, bagaimana cara pengambilannya diatur oleh RUPS. Penjelasan Pasal 73 ayat (2) UUPT mengatakan bahwa pengambilan dividen yang dimaksud adalah jumlah nominal dividen tidak termasuk bunga. Dividen yang Telah Dimasukkan Cadangan Khusus, Tidak Diambil Dalam Jangka Waktu 10 Tahun, Jatuh Menjadi Hak Perseroan Seperti yang dijelaskan di atas, dividen yang tidak diambil pemegang saham setelah 5 tahun dari tanggal pembayaran dividen ditetapkan, dividen tersebut dimasukkan ke dalam cadangan khusus. Kalau dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus: tidak diambil pemegang saham dalam jangka waktu 10 tahun, maka dividen dimaksud jatuh menjadi hak perseroan . Jumlah dividen yang tidak diambil dan menjadi hak Perseroan dibukukan dalam pos pendapatan lain-lain dari Perseroan. [3] Jadi menjawab pertanyaan Anda, jika dividen tidak diambil oleh pemegang saham setelah 5 tahun sejak tanggal pembayaran dividen ditetapkan, maka akan dimasukkan ke dalam cadangan khusus . Jika dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus itu dalam jangka waktu 10 tahun tetap tidak diambil, maka akan menjadi hak perseroan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Referensi : Yahya Harahap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Yahya Harahap, hal. 291 [2] Yahya Harahap, hal, 291 [3] Penjelasan Pasal 73 ayat (3) UUPT pemegang saham hukumonline google komisaris saham hukum klinik investasi perusahaan klinik hukumonline direksi" }
{ "from": "human", "value": "Apa hukumnya apabila perusahaan tidak mendaftarkan peraturan perusahaan ke Dinas Tenaga Kerja? Apakah peraturan perusahaan tersebut tetap mempunyai kekuatan hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengesahan Peraturan Perusahaan Pengertian peraturan perusahaan menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Namun kewajiban tersebut tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. [1] Peraturan perusahaan tersebut disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan sekurang-kurangnya memuat: [2] hak dan kewajiban pengusaha; hak dan kewajiban pekerja/buruh; syarat kerja; tata tertib perusahaan; dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Pengesahan peraturan perusahaan harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. Jika peraturan perusahaan telah sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan , maka dalam waktu 30 hari kerja sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan, peraturan tersebut dianggap telah mendapatkan pengesahan . [3] Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan, Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima, pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. [4] Adapun ketentuan lebih spesifik mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 28/2014”) . Disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Permenaker 28/2014 , pengesahan peraturan perusahaan dilakukan oleh: Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (“SKPD”) bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam satu wilayah kabupaten/kota; Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi; Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“Direktur Jenderal”), untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu provinsi. Direktur jenderal yang dimaksud dapat mendelegasikan kewenangan pengesahan peraturan perusahaan kepada direktur yang menyelenggarakan urusan di bidang persyaratan kerja. [5] Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan yang dilengkapi dengan: [6] naskah peraturan perusahaan yang telah ditandatangani oleh pengusaha; dan bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh. Selanjutnya, pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen dan materi peraturan perusahaan yang tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang-undangan. [7] Apabila tidak memenuhi persyaratan, maka sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pejabat akan memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam hal pengusaha tidak menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki, maka proses pengesahan dimulai dari awal. [8] Atas permohonan pengesahan peraturan perusahaan yang telah memenuhi persyaratan, pejabat wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak dokumen dan materi telah memenuhi persyaratan. [9] Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan Menjawab pertanyaan Anda, telah diuraikan di atas bahwa peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan . Dikarenakan peraturan perusahaan baru mulai berlaku setelah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang, maka menurut hemat kami, peraturan perusahaan yang tidak diajukan pengesahannya oleh perusahaan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, pelanggaran atas ketentuan Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga mengakibatkan pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta. Tindak pidana ini merupakan tindak pidana pelanggaran. [10] Peraturan perusahaan yang tidak disahkan juga berpotensi menimbulkan perselisihan kepentingan , sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) . Menurut Pasal 1 angka 3 UU 2/2004 : Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan , dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan , atau perjanjian kerja bersama. Penyelesaian perselisihan kepentingan wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. [11] Yang dimaksud sebagai perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih. [12] Terhadap perundingan bipartit yang gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. [13] Setelah menerima pencatatan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. [14] Jika penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. [15] Sedangkan jika penyelesaian dipilih melalui arbitrase , masalah tersebut tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu yang dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung. [16] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama [1] Pasal 108 UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 109 jo. Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 112 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 112 ayat (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 7 ayat (2) Permenaker 28/2014 [6] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Permenaker 28/2014 [7] Pasal 8 ayat (3) dan (4) Permenaker 28/2014 [8] Pasal 9 ayat (1) dan (3) Permenaker 28/2014 [9] Pasal 10 Permenaker 28/2014 [10] Pasal 188 UU Ketenagakerjaan [11] Pasal 3 UU 2/2004 [12] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004 [13] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004 [14] Pasal 4 ayat (3) UU 2/2004 [15] Penjelasan umum angka 7 UU 2/2004 [16] Penjelasan umum angka 8 UU 2/2004 hukumonline ketenagakerjaan pekerja perjanjian kerja bersama perjanjian kerja kontrak kerja peraturan perusahaan sanksi" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana jika perusahaan telah meminta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang namun dalam jangka waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak dapat membayar utang tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Jika perusahaan telah meminta/mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka atas permohonan PKPU yang diajukan perusahaan tersebut nantinya akan dikeluarkan Putusan Homologasi/Pengesahan Rencana Perdamaian yang berisi tentang jangka waktu pembayaran. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi putusan homologasi, maka pihak kreditor dapat mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara berikan. Dari pertanyaan yang Saudara berikan, asumsi kami adalah sebuah perusahaan telah meminta/mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“ PKPU ”) dan atas permohonan PKPU yang diajukan perusahaan tersebut telah dikeluarkan Putusan Homologasi/Pengesahan Rencana Perdamaian yang berisi tentang jangka waktu pembayaran. KLINIK TERKAIT Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit? 29 Mar 2023 Apakah Utang Istri Menjadi Tanggung Jawab Suami? 09 Feb 2023 Bisakah Ahli Waris Menolak Warisan Utang? 03 Feb 2023 Bagaimana Perlindungan Bagi Pemegang Polis Jika Perusahaan Asuransi Pailit? 02 Apr 2014 Lebih lanjut, dalam pertanyaan di atas, pemahaman kami adalah perusahaan tersebut tetap tidak membayar utang sebagaimana diatur dalam Putusan Homologasi. Terhadap situasi yang Saudara hadapi, maka kami berpandangan perusahaan tersebut telah lalai dalam memenuhi putusan homologasi. Dampak atas kelalaian dalam pemenuhan putusan homologasi adalah perusahaan tersebut harus dinyatakan pailit, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 291 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“ UU Kepailitan ”). Apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi putusan homologasi, maka pihak kreditor dapat mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perdamaian atas PKPU diatur dalam Pasal 291 jo. Pasal 170 ayat (1) jo. Pasal 171 jo. Pasal 294 UU Kepailitan , yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: Pasal 291 UU Kepailitan : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian. (2) Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit. Pasal 170 ayat (1) UU Kepailitan : Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut. Pasal 171 UU Kepailitan : Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit. Pasal 294 UU Kepailitan : Permohonan yang diajukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237, Pasal 255, Pasal 256, Pasal 259, Pasal 283, Pasal 285, Pasal 290, dan Pasal 291 harus ditandatangani oleh Advokat yang bertindak berdasarkan surat kuasa khusus, kecuali apabila diajukan oleh pengurus. Demikian hal ini kami sampaikan. Terima kasih. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . pkpu" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah diversi anak bisa dilakukan dalam hal anak didakwa dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih? 2. Apakah penetapan diversi dapat dibatalkan atau batal demi hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Bullying di Sekolah 22 Feb 2024 Arti Intimidasi Menurut Hukum Pidana 30 Jan 2024 Jerat Hukum Bagi Pelajar yang Menggunakan Ganja 07 Des 2022 Anak 14 Tahun Mencuri Motor, Mungkinkah Dibebaskan? 31 Des 2015 Intisari: Diversi tidak bisa dilakukan dalam hal anak didakwa dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih. Dalam kesepakatan diversi, si Anak yang menjadi tersangka dan/atau korban juga diperhitungkan suara dan pendapatnya dalam pembuatan kesepakatan diversi. Akan tetapi, proses diversi tetap harus melibatkan orang dewasa seperti orang tua/wali sang Anak. Layaknya perjanjian pada umumnya, kesepakatan diversi bisa dituntut pembatalan atau batal demi hukum jika kesepakatan tersebut melanggar syarat sah perjanjian (misalnya jika korban tidak sepakat dengan proses diversi). Apabila proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dasar Hukum Diversi Pada dasarnya, diversi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun (“PP 65/2015”) . Diversi yaitu sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. [1] Proses diversi wajib diupayakan dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana anak dimulai pada tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. [2] Syarat Diversi Akan tetapi, ada beberapa syarat penting dalam hal pelaksanaan diversi. Pasal 7 UU SPPA menyebutkan bahwa: (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Jadi menjawab pertanyaan Anda yang pertama, diversi tidak bisa dilakukan dalam hal anak didakwa dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih. Sehubungan juga dengan ancaman pidana 7 tahun tersebut, perlu diketahui penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan kecuali jika anak telah berumur 14 tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih . [3] Penjelasan lebih lanjut tentang diversi anak dapat Anda simak Mungkinkah Dilakukan Penahanan Terhadap Anak yang Dalam Proses Diversi? . Kesepakatan Diversi Untuk pertanyaan Anda yang kedua, jika seandainya tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat dilaksanakan diversi (sesuai Pasal 7 UU SPPA di atas), maka kesepakatan diversi dapat dibatalkan. Pada dasarnya, kesepakatan diversi bersifat seperti perjanjian pada umunya, yang berarti ketentuan pembatalan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) berlaku atas kesepakatan tersebut. Berikut syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata: 1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian [agreement] 2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian [capacity] 3. Suatu hal tertentu [certainty of terms] 4. Sebab yang halal [considerations] Kecuali mengenai unsur objek yang dapat diperjanjikan yang diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata (yang mana objek perjanjian harus hanya berupa barang–barang yang dapat diperdagangkan), hal ini tidak berlaku bagi kesepakatan diversi karena diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 UU SPPA sebagai berikut: Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
 d. pelayanan masyarakat. Unsur kecakapan juga tidak mengacu pada Pasal 1330 KUH Perdata karena tujuan UU SPPA justru melindungi dan menjamin hak–hak si tersangka yaitu Anak itu sendiri, sebagaimana ditulis oleh Bambang Waluyo dalam bukunya Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi . Jika dalam Pasal 1330 KUH Perdata melarang orang yang belum dewasa/masih berada di bawah pengampuan untuk membuat perjanjian, dalam kesepakatan diversi, si Anak yang menjadi tersangka dan/atau korban juga diperhitungkan suara dan pendapatnya dalam pembuatan kesepakatan diversi. Akan tetapi, proses diversi tetap harus melibatkan orang dewasa seperti orang tua/wali sang Anak. [4] Dalam hal ini, hubungan UU SPPA dan KUH Perdata berlaku adegium “ Lex specialis derogat legi generalis” atau hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat, Kesepakatan Diversi tidak harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. [5] Pasal 13 UU SPPA mengatur sebagai berikut: Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal: 1. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan ; atau 2. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan . Jadi, layaknya perjanjian biasa, kesepakatan diversi bisa dituntut pembatalan atau batal demi hukum jika kesepakatan tersebut melanggar syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, termasuk jika hanya melanggar unsur sepakat (misalnya jika korban tidak menyetujui hasil kesepakatan diversi). Akibat batalnya kesepakatan tersebut, perkara pidana Anak tersebut akan dilanjutkan ke dalam proses peradilan pidana Anak dan berkas dioper kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan UU SPPA. Akan tetapi, patut untuk diperhatikan juga bahwa pada praktiknya, ketentuan–ketentuan UU SPPA ini tidak sepenuhnya ditegakkan sebagaimana mestinya. Masih banyak ketidakjelasan seputar pelaksanaan UU SPPA ini. Mengenai hal ini, dapat disimak lebih lanjut ICJR: Aparat Hukum Belum Paham Arti Diversi . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun . REFERENSI:\n1. Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011). [1] Pasal 1 angka 7 UU SPPA dan Pasal 1 angka 6 PP 65/2015 [2] Penjelasan Umum Paragraf 5 PP 65/2015 [3] Pasal 32 ayat (2) UU SPPA [4] Pasal 8 ayat (1) UU SPPA [5] Pasal 9 ayat (2) UU SPPA hukumonline google anak perdata batal demi hukum diversi hukum klinik klinik hukumonline anak berhadapan dengan hukum pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan bagaimana status perusahaan cabang (akte cabang) jika perusahaan induk pailit (satu nama dengan perusahaan cabang)? Apakah perusahaan cabang masih bisa berjalan? Karena cabang baru mendapatkan proyek." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana? 26 Apr 2023 Kewenangan Kurator dalam Membereskan Harta Pailit Berupa Saham 17 Okt 2016 Jika Nama Kreditor Tak Terdaftar dalam Putusan Perdamaian PKPU 28 Sep 2016 Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan 13 Sep 2016 Intisari: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Berdasarkan hal ini, maka perusahaan pailit berikut cabangnya berada dalam keadaan sita umum kepailitan. Lalu apakah dimungkinkan perusahaan cabang melanjutkan kegiatan usahanya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kantor cabang meskipun memiliki akta cabang yang terpisah dengan perusahaan induk masih tetap berada dalam perusahaan atau badan hukum yang sama dengan perusahaan induk, yang dalam hal ini kami asumsikan dengan badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Kantor Cabang dan Kepailitan Definisi Kantor Cabang berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 37/2007”) sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri Perdagangan No. 116/M-Dag/Per/12/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 116/2015”) yaitu: Perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat bersifat berdiri sendiri atau bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan induknya. Sementara, definisi Kepailitan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yaitu: Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Akibat Kepailitan Selanjutnya, soal akibat kepailitan, Pasal 21 UU KPKPU menyebutkan: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan pailit berikut cabangnya berada dalam keadaan sita umum kepailitan. Terhadap pertanyaan Anda apakah perusahaan cabang masih dapat berjalan karena cabang baru mendapatkan proyek, maka kita mengacu kepada ketentuan Pasal 104 UU KPKPU : (1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. (2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Artinya, dalam kepailitan dimungkinkan perusahaan untuk tetap melanjutkan kegiatan usahanya, hanya saja dalam hal ini Kurator yang berwenang menjalankannya. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 116/M-Dag/Per/12/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan . firma cv pt hukumonline perseroan terbatas penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan pkpu hukum klinik investasi pailit harta pailit perusahaan klinik hukumonline perdagangan kurator proyek" }
{ "from": "human", "value": "Saya punya anggota keluarga yang sudah menjalani swab test, hasilnya belum keluar. Lalu datang petugas kesehatan dan aparat menjemput paksa anggota keluarga saya itu untuk dikarantina di rumah sakit. Alasannya karena sudah ada surat pemberitahuan bahwa ia positif COVID-19 dari hasil tes. Padahal surat dari dinas saat penjemputan paksa itu tidak dilampiri dengan salinan/asli hasil pemeriksaan. Saya ingin bertanya: 1. Apakah surat dari dinas tersebut bisa dijadikan dasar bahwa ia dinyatakan positif? 2. Apakah penjemputan paksa bertentangan dengan hukum? 3. Anggota keluarga saya tidak setuju dijemput paksa, tapi malah diancam akan dipersulit dalam segala hal oleh petugas, terutama untuk akses kesehatan. Apakah ancaman ini bisa dipidanakan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penjemputan Paksa Pasien Terduga COVID-19 Menyambung pertanyaan Anda, dalam laman Jakarta Smart City , suatu laman yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berjudul Yang Harus Dilakukan Jika Kamu Direkomendasikan untuk PCR , swab test dikenal juga dengan sebutan Polymerase Chain Reaction (PCR). Di Jakarta, untuk melakukan swab test , sebelumnya diberikan sejumlah pertanyaan mengenai gejala-gejala yang dialami, riwayat kontak dengan pasien COVID-19, dan riwayat perjalanan ke kota atau negara terjangkit. Kemudian akan dikeluarkan rekomendasi hal apa yang perlu dilakukan selanjutnya. Ada 3 kemungkinan yaitu dianjurkan mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), melaksanakan isolasi mandiri selama 14 hari, atau rekomendasi untuk mengikuti swab test di fasilitas pelayanan kesehatan. Di sisi lain, setiap individu yang melakukan perjalanan orang dengan transportasi umum darat, perkeretaapiaan, laut dan udara harus memenuhi persyaratan: [1] Menunjukkan identitas diri (KTP atau tanda pengenal lainnya yang sah); Menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif atau surat keterangan uji Rapid-Test dengan hasil non reaktif yang berlaku 14 hari pada saat keberangkatan; Menunjukkan surat keterangan bebas gejala seperti influensa ( influenza-like illness ) yang dikeluarkan oleh Dokter Rumah Sakit/Puskesmas bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas Test PCR dan/atau Rapid-Test. Mengutip informasi dari Beda Rapid Test, Swab, dan TB-TCM dalam Deteksi Virus Corona yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan , swab test dilakukan dengan mengambil sampel berupa lendir dari dalam hidung maupun tenggorokan. Hasil dari tes tersebut membutuhkan waktu beberapa jam hingga beberapa hari serta hanya tersedia di rumah sakit dengan biosafety cabinet dan sampelnya diperiksa di laboratorium Biosafety Level (BSL) II. Menurut hemat kami, sudah seharusnya anggota keluarga Anda tersebut memperoleh hasil dari swab test terlebih dahulu atau setidak-tidaknya surat dari dinas yang ia terima juga terlampir hasil swab test . Sebab hasil swab test bisa diartikan sebagai bentuk rekam medis yaitu berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan , pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. [2] Kami menyarankan, Anda selaku keluarga pasien yang juga berhak mendapatkan ringkasan rekam medis untuk menanyakan kepada rumah sakit secara baik-baik. [3] Jika rumah sakit tetap tidak memberikan rekam medis itu, maka dapat ditempuh: [4] menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit baik secara perdata maupun pidana; atau mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ancaman dari Petugas Sedangkan mengenai ancaman berupa dipersulit memperoleh akses kesehatan adalah bertentangan dengan hukum. Hal ini dikarenakan Pasal 32 UU 44/2009 telah mengatur sejumlah hak yang dimiliki setiap pasien, yaitu: memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi ; memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional ; memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi ; mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya ; mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan ; memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas ancaman tersebut dapat kita lihat Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 , yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 4.500,-: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan , baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Dalam artikel Makna “Intimidasi” Menurut Hukum Pidana , undang-undang memang tidak memberikan penjelasan bagaimana ancaman dengan kekerasan dilakukan, alhasil maknanya berkembang dalam yurisprudensi. Masih bersumber dari artikel tersebut, menurut Hoge Raad dalam beberapa arrest membuat syarat adanya ancaman, yaitu: Ancaman itu harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya; Maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut. Kemudian R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan yang harus dibuktikan adalah (hal. 238): Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu; Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. Jadi, apabila tindakan petugas yang Anda maksud secara terang-terangan mengancam dengan kekerasan dengan alasan akan dipersulit dalam segala hal, terutama untuk akses kesehatan, maka ia dapat dikenakan pasal di atas. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus anggota keluarga Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 . Referensi: R. Soesilo. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia; Yang Harus Dilakukan Jika Kamu Direkomendasikan untuk PCR , diakses pada 1 Juli 2020 pukul 17.00 WIB; Beda Rapid Test, Swab, dan TB-TCM dalam Deteksi Virus Corona , diakses pada 1 Juli 2020 pukul 19.00 WIB. [1] Angka 2 huruf b Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) [2] Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran [3] Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis [4] Pasal 32 huruf q dan r Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU 44/2009”) dokter kesehatan covid-19 tenaga kesehatan hukumonline rapid test laboratorium rumah sakit jemput paksa tenaga medis kedokteran hukum klinik hak asasi manusia klinik hukumonline corona" }
{ "from": "human", "value": "Ayah saya meninggal tiga bulan yang lalu dan dia meniggalkan satu rumah (atas nama ayah). Saya telah mengurus akta ahli waris dan sekarang ini saya ingin mengurus balik nama untuk sertifikat rumah. Pertanyaan saya: (1) Dikarenakan di dalam akta Ahli Waris tertulis nama ibu dan anak (4 orang) maka untuk balik nama tersebut ke-5 nama tersebut akan dicantumkan dalam sertifikat yang baru? Sebab kami ingin agar rumah tersebut atas nama adik kami yang terbungsu saja. (2) Apakah benar dalam pengurusan balik nama tersebut, kami sebagai ahli waris harus membayar pajak sebagimana transaksi jual beli? Informasi ini saya dapat dari kantor notaris tempat saya membuat Akta Ahli waris. Mohon bantuannya. Terima Kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Ya, dalam hal ini memang dilakukan balik nama sertifikat dari ayah kepada ibu dan anak-anak terlebih dahulu, sebagai para ahli waris dari ayah. Lalu dibuat Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kabupaten/Kotamadya yang berwenang yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan rumah dimaksud, lalu balik nama ke adik Anda seorang (anak bungsu). Jadi, dilakukan balik nama ke seluruh ahli waris (ibu dan anak-anak), kemudian balik nama kepada adik Anda yang bungsu . Adapun prosesnya dapat dilakukan bersamaan (sekaligus), dan tidak harus menunggu balik nama waris (balik nama sertifikat ke atas nama ibu dan anak-anak) selesai baru dilakukan pembuatan dan penandatanganan APHB. 2. Ada kewajiban pembayaran pajak yang harus dibayar adalah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - atas pewarisan (dari ayah kepada ibu dan anak-anak) dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) . Besarnya BPHTB Waris adalah 5% x (NPOP – NPOPTKP atas waris) x 50% . - atas APHB (dari ibu dan anak-anak kepada anak bungsu) dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan BPHTB . Besarnya adalah: i. PPH = 5% x (3/5 x NPOP) ii. BPHTB = 5% x (4/5 x NPOP – NPOPTKP) NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, dan NPOTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional. Sebagai contoh, apabila objek tanah dan rumah terletak di Jakarta, maka besarnya NPOPTKP adalah Rp60 juta dan NPOPTKP atas warisan adalah Rp300 juta. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 4. Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat 5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan 6. Peraturan perundang-undangan lain di bidang pajak" }
{ "from": "human", "value": "Katakan kami melakukan investasi pada bidang usaha pertanian tertentu.Kami memberikan sejumlah modal dan dia yang akan mengelola usaha tersebut, dan dia akan mengembalikan modal investasi ditambah bunga dengan dicicil setiap bulan selama satu tahun. Untuk itu kami menandatangani surat perjanjian bermeterai dan disahkan oleh notaris secara bawah tangan (penandatanganan tidak dilakukan di depan notaris).Akan tetapi setelah kurang lebih 2 bulan,orang tersebut kabur dan tidak meninggalkan pesan apapun (semua lahan dan rumah tinggalnya yg ternyata hanya menyewa bulanan sudah kosong), dan dia tidak memenuhi pembayaran/kewajibannya tersebut hingga saat ini. Pertanyaan saya adalah, apakah perjanjian bawah tangan kami tersebut (diatas meterai dan disahkan oleh notaris) dapat dijadikan sebagai barang bukti? Apakah kami bisa mengadukan perkara tersebut dan kemana kami harus mengadu?\nTerima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Seperti jawaban kami sebelumnya mengenai surat perjanjian yang dibuat di bawah tangan , suatu perjanjian yang dibuat antara dua pihak atau lebih mengikat terhadap para pihak tersebut (dalam hal ini perjanjian antara anda dengan rekan bisnis anda). Segala perjanjian apalagi yang tertulis dapat dijadikan sebagai alat bukti. Apabila rekan bisnis anda tidak melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian yang dibuat, maka anda dapat mengajukan gugatan perdata terhadap rekan bisnis anda tersebut. Yang perlu anda perhatikan dalam menggugat selain ketentuan pasal perjanjian yang dilanggar oleh rekan bisnis adalah ketentuan penyelesaian perselisihan apakah melalui pengadilan atau arbitrase. Bila tidak disebutkan, maka dapat dianggap diselesaikan melalui pengadilan. Gugatan perdata didaftarkan di pengadilan negeri yang disetujui atau di tempat di mana tanah yang menjadi bidang usaha pertanian terletak (konsultasikan dahulu mengenai hal ini dengan pengacara yang kompeten, karena permasalahan \"dimana\" dan \"kepada siapa\" anda harus menggugat sama pentingnya dengan pokok perselisihan atau perkara (gugatan) yang anda punyai. Bila ada unsur tindak pidana, misalkan penipuan, maka anda dapat juga melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib, yaitu polisi untuk ditindak lanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku. Untuk informasi alamat pengacara dan konsultan hukum, lihat Direktori Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang laki-laki, menjalin hubungan dengan seorang wanita bersuami. Dia berselingkuh karena suami sahnya mengidap penyakit (impoten). Sejak dari awal pernikahan sampai sekarang (+/- 10 tahun menikah) belum pernah sekalipun berhubungan badan dengan suaminya. Sedangkan, suami sahnya tidak mau menceraikan dia. Itu sebabkan maka kami tidak bisa menikah. Saat ini dia sedang mengandung dan segera melahirkan. Kelak anak tersebut setelah lahir oleh sang ibu akan langsung diadopsi oleh keluarganya dan dibuatkan akta kelahiran yang mana yang menjadi orang tua (ayah dan ibu) nya adalah pasangan yang mengadopsinya. Saya tidak ingin anak saya diadopsi apalagi sampai orang lain yang menjadi bapaknya di akta kelahiran. Yang hendak saya tanyakan: - Apakah seorang laki-laki (bapak secara biologis) dari anak di luar nikah dari perzinahan mempunyai hak untuk menjadi bapak kandung sekaligus mengasuhnya dan mencantumkan namanya di akta kelahiran anak tersebut? - Bisakah anak di luar nikah dari perzinahan (salah satu pasangan sudah menikah dan secara resmi masih istri/suami orang lain)? - Bagaimana cara pengurusan akta kelahiran untuk anak di luar nikah dari perzinahan? Mohon bantuan jawaban atau informasi. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Saudara Penanya yang terhormat, Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Banyak peristiwa hukum ( rechtsfeit ) yakni peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat . Berikut ini pemahaman dan tanggapan kami atas pertanyaan Saudara yang berdasarkan asumsi memeluk agama Islam: KLINIK TERKAIT Suami Sering Merendahkan Istri, Ini Pasal untuk Menggugat Cerai 06 Mei 2024 Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual? 18 Agt 2023 Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? 22 Jun 2023 Status Hukum Wanita yang Punya Dua Suami 14 Agt 2012 1. Perbuatan Pidana Bahwa perbuatan Saudara berzina dengan seorang wanita yang bersuami, yang bahkan wanita tersebut sedang mengandung anak hasil hubungan intim Saudara dengannya, menurut kami dapat diancam pidana penjara dengan ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Mungkin saat ini Saudara ‘terselamatkan’ karena Pasal tersebut bukan merupakan delik umum melainkan delik aduan yang mana penuntutan terhadap pelaku perbuatan pidana (delik) hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban, dalam hal ini adalah suami sah dari wanita teman zina Saudara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun daluwarsa penuntutan pidana terhadap kejahatan Pasal 284 KUHP adalah sesudah enam tahun sebagaimana ketentuan Pasal 78 ayat 1 butir ke-2 KUHP yang berbunyi: 1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa : …. (2) mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun .… 2. Hukum Perkawinan Berdasarkan penuturan Saudara, perselingkuhan terjadi karena alasan suami sah wanita pilihan Saudara mengidap penyakit (impoten), kurang lebih 10 tahun sejak menikah tidak pernah berhubungan intim dengan suaminya, sedangkan suami sahnya tidak mau menceraikannya. Saudara juga mengatakan, hal itulah yang menjadi penghalang niat Saudara menikahi wanita tersebut. Sungguh apa yang Saudara lakukan berdua melanggar hukum dan tentunya juga menyakiti perasaan suami sah wanita tersebut. Namun, menurut kami, perkawinan antara wanita dengan suami sahnya tidak diperbolehkan atau tidak dapat dimohonkan pembatalan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri dalam jangka waktu 6 bulan, apabila si istri baru mengetahui ‘penyakit’ si suami setelah menikah sebagaimana ketentuan Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur . Dalam masalah Saudara, si wanita dapat saja mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal dia. Karena sudah cukup alasan untuk mengakhiri perkawinannya dengan si suami. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 114 s/d Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yakni: Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Gugatan perceraian oleh istri tidak ditindaklanjuti dengan ikrar talak oleh pihak suami (Tergugat), karena perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 146 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap . Jadi, sebenarnya si wanita dapat mengajukan gugatan cerai, dan tidak harus menunggu si suami menjatuhkan talak terhadapnya. Langkah mengajukan gugatan perceraian ini dapat membawa kebaikan dan kemanfaatan buat Saudara, pihak wanita, suami sah wanita tersebut, keluarga besar dan masyarakat dalam menaati pranata perkawinan/rumah tangga. Pasca-perceraian si wanita dari suaminya, Saudara dapat menikahi si wanita secara sah dan tercatat sebagai perkawinan yang diakui oleh hukum negara. Serta anak yang dikandung oleh wanita tersebut adalah anak Saudara yang dibuatkan akta kelahirannya dengan Saudara sebagai ayah kandungnya. Jadi..tidak lagi ada istilah hanya ‘bapak biologis’ dan Saudara dapat melindungi si anak untuk tidak diadopsi oleh orang lain. 3. Akta Kelahiran bagi Anak di luar nikah Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata ( Pasal 280 KUH Perdata ). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Lihat misalnya penetapan PN Cilacap No 29/Pdt.P/201/PN.CLP tanggal 18 April 2011 lalu, yang menyatakan bahwa para pemohon mengesahkan seorang anak yang lahir di luar nikah sebagai anak sah dari para pemohon. Dalam praktik, sering terjadi anak luar kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya. Inilah yang mendasari pandangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 46/PUU-VIII/2010 , bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA ( deoxyribonucleic acid ), atau sistem pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk memperjelas ayah biologis anak. Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. Pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Putusan kasasi Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt/2004 , misalnya, menegaskan anak yang diperebutkan adalah anak luar kawin yang dilahirkan dari hubungan penggugat dan tergugat, tetapi hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu. Si ibu diberi hak untuk menguasai, mendidik, dan mengasuh dalam arti seluas-luasnya anak luar kawin. Ada banyak putusan pengadilan sejenis, yang menegaskan hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibunya. Dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2006), Hakim Agung Abdul Manan , menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris. (lihat artikel Hukumonline: Pro Kontra Status Anak Luar kawin , tanggal 16 Maret 2012) Namun, kini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstutusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 telah merevisi isi Pasal 43 ayat (1) UUP yang bunyinya menjadi: “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya .” Yang dimaksud “di luar pernikahan resmi” dalam pasal tersebut, adalah: kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 inilah yang menjadi dasar dapat dicantumkannya nama Saudara dalam akta kelahiran si anak setelah melengkapi bukti menurut hukum adanya hubungan darah. Adapun cara pengurusan akta kelahiran, Saudara dapat mendatangi pihak Kelurahan untuk menanyakan syarat-syarat pengurusannya. Bayi yang dilaporkan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil akan terdaftar dalam kartu keluarga dan diberikan nomor induk kependudukan sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Sebagai hasil dari pelaporan kelahiran tersebut akan dicantumkan dalam kartu keluarga dan diterbitkan akta kelahiran. Jawaban ini kami dasarkan atas aturan hukum positif yang ada, di luar konteks syariah. Demikian Jawaban dari kami, semoga bermanfaat dan berharap Saudara membuat keputusan terbaik demi wanita yang dicintai dan calon bayi yang akan segera lahir untuk masa depan yang lebih berkualitas. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam PUTUSAN Putusan kasasi Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt/2004 Putusan Mahkamah Konstutusi No. 46/PUU-VIII/2010 Penetapan : Penetapan PN Cilacap No 29/Pdt.P/201/PN.CLP" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya saya menikah siri terlebih dahulu Januari 2013 karena suami saya masih dalam proses perceraian. Kemudian Desember 2013 saya melahirkan. Kemudian Juni 2014 saya menikah sah di KUA. Apakah saya bisa membuat akta untuk anak saya dengan mencantumkan nama kedua orang tua? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 5 November 2014. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) antara lain dikatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannya akta kelahiran. Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administrasi kependudukan untuk dibuatkan aktanya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 UU Adminduk : Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Mengacu pada pasal di atas, jika anak Anda lahir pada Desember 2013, lalu Anda baru mau melaporkan kelahiran anak Anda untuk dibuat akta kelahirannya setelah Juni 2014 (setelah perkawinan Anda), maka waktu tersebut telah melalui waktu yang ditentukan oleh UU Adminduk, yaitu 60 hari sejak kelahiran. Lalu bagaimana jika kelahiran yang dilaporkan melewati batas waktu 60 hari? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk : Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat. Jika Anda ingin memohon pencatatan kelahiran penduduk, syarat-syarat yang dipenuhi berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”) adalah sebagai berikut: surat keterangan kelahiran; buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah ; Kartu Keluarga (“KK”); dan Kartu Tanda Penduduk-elektronik (“KTP-el”). Mengacu pada syarat-syarat di atas, memang benar bahwa dalam pencatatan kelahiran anak Anda, diperlukan kutipan akta nikah/akta perkawinan Anda dan suami. Jika memang Anda telah menikah sah pada Juni 2014 dan telah memiliki akta nikah/akta perkawinan, maka nama Anda dan suami bisa dicantumkan dalam akta kelahiran anak Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil penduduk kawin hukumonline administrasi anak anak luar kawin kua nikah pernikahan hukum klinik perkawinan data penduduk klinik hukumonline akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Dapatkah sebuah pernikahan dibuktikan dengan hanya dengan akta kelahiran seorang anak? Pasalnya pernikahan orang tua si anak pada tahun 1970an telah menikah resmi, dan pada pernikahan orang tua si anak tersebut telah terjadi perceraian sah di pengadilan agama tahun 1987. Dan sekarang si ayah sudah meninggal dan si ibu telah menikah lagi. Akta cerai si ibu tidak ada lagi, sudah dilacak ke KUA dan pengadilan agama bersangkutan tidak ditemukan lagi, disebabkan faktor buruknya pengarsipan pada zaman dahulu. Apakah akta kelahiran ini bisa dijadikan alat bukti pernikahan orang tuanya tersebut? Atau ada hal lain yg dapat dilakukan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Akta kelahiran bisa dijadikan sebagai alat pembuktian bahwa telah terjadi pernikahan pada masa yang dimaksud (dalam kasus Anda berarti 1970an-1987) karena Anda dilahirkan akibat perkawinan yang sah. Jika akta kelahiran ditujukan untuk pembuktian bahwa telah terjadi perkawinan dalam permasalahan pada perkara perdata, maka kedudukan akta tersebut adalah paling tinggi dalam derajat pembuktian hukum acara perdata. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU P erkawinan ”) perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. [1] Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku . [2] Selanjutnya, dasar pencatatan akta kelahiran secara komprehensif baru ada di tahun 2006, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) . Lalu dalam perjalanannya, UU Adminduk diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”). Jauh sebelum berlakunya UU Adminduk dan perubahannya, tentang akta kelahiran mengacu ke UU Perkawinan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) UU P erkawinan , yang berbunyi: Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Berkaitan dengan akta kelahiran, UU Perkawinan menentukan bahwa kejelasan status anak dilihat dari perkawinan sah yang telah terjadi, hal itu disebutkan di Pasal 42 UU P erkawinan sebagai berikut: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah . Apabila melihat UU Adminduk dan perubahannya, akta kelahiran dapat dijadikan dasar pembuktian pernikahan, terkait keabsahan anak, semua dokumen kependudukan yang telah diterbitkan atau yang telah ada pada saat UU Adminduk diundangkan (2006) dinyatakan tetap berlaku menurut UU ini. Namun hal itu dikecualikan untuk Kartu Keluarga (“KK”) dan Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) sampai dengan batas waktu berlakunya atau diterbitkannya KK dan KTP yang sesuai dengan ketentuan dalam UU ini. [3] Berkaitan dengan pertanyaan Anda, akta kelahiran bisa dijadikan sebagai alat pembuktian bahwa telah terjadi pernikahan pada masa yang dimaksud (dalam kasus Anda berarti 1970an-1987), karena Anda dilahirkan akibat perkawinan yang sah. Anda tidak menjelaskan pembuktian apa yang dimaksud. Jika akta kelahiran ditujukan untuk pembuktian bahwa telah terjadi perkawinan dalam permasalahan pada perkara perdata, maka dapat merujuk Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Per data ”) yang bunyinya: Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu . Adapun kekuatan akta sebagai bukti tertulis menjadi derajat pembuktian paling tinggi dalam hukum acara perdata. [4] Simak juga artikel Apa yang Harus Dilakukan Jika Akta Kelahiran Hilang? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan [1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan [2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan [3] Pasal 100 ayat (1) dan (2) UU Adminduk [4] Pasal 1866 KUHPer jo. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) hukumonline sah anak kua online nikah pernikahan hukum perkawinan akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana caranya untuk dapat mendapatkan akta kelahiran sementara perkawinan tersebut dilangsungkan di depan kiai tanpa dilangsungkan di depan KUA? Hal ini jelas bahwa perkawinan yang dilangsungkan di depan kiai berarti tanpa ada catatan atau tanpa ada surat kawin. Bagaimana cara atau prosesnya untuk mendapatkan akta kelahiran tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 14 Maret 2011. KLINIK TERKAIT Akta Kelahiran untuk Anak Luar Kawin 05 Nov 2021 Hukumnya Jika Mengakui Anak Orang Lain dalam Akta Kelahiran 03 Agt 2017 Masalah Akta Kelahiran Anak Luar Kawin yang Dipalsukan 20 Apr 2017 Intisari: Perkawinan secara agama dianggap sah, namun jika tidak dilakukan pencatatan secara sah berdasarkan undang-undang yang berlaku maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara atau dengan kata lain perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan itu merupakan anak luar kawin. Tata cara memperoleh (kutipan) akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sama dengan cara memperoleh akta kelahiran pada umumnya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perkawinan Wajib Dicatatkan Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) . Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan: “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Lebih lanjut diatur bahwa adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. [1] Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Ketiadaan bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara. Jadi, perkawinan yang dilangsungkan di depan kiai/pemuka agama berdasarkan ketentuan hukum/syariat Islam tanpa dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan (dalam hal ini Kantor Urusan Agama) termasuk perkawinan siri (di bawah tangan). Lebih lanjut tentang perkawinan siri, dapat juga dibaca dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan . Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, perkawinan secara agama walaupun sah tetapi tidak dilakukan pencatatan secara sah berdasarkan undang-undang yang berlaku mengakibatkan perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara atau dengan kata lain perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan siri itu merupakan anak luar kawin . Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. [2] Implikasinya berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. [3] Syarat dan Tata Membuat Akta Kelahiran Anak Luar Kawin Persyaratan untuk membuat akta kelahiran pada umumnya adalah sebagai berikut: [4] a. Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran; b. Nama dan Identitas saksi kelahiran; c. Kartu Tanda Penduduk Ibu; d. Kartu Keluarga Ibu; e. Kutipan Akta Nikah/Akta Perkawinan orang tua. Dalam hal pelaporan kelahiran tidak disertai kutipan akta nikah/akta perkawinan orang tua, pencatatan kelahiran tetap dilaksanakan. [5] Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tua-nya tentu tidak dapat menyertakan kutipan akta nikah/akta perkawinan orang tua. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan di atas, pencatatan kelahiran tetap dapat dilaksanakan. Yang berarti tata cara memperoleh (kutipan) akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sama saja dengan cara memperoleh akta kelahiran pada umumnya. Tata caranya, apabila pencatatan hendak dilakukan di tempat domisili ibu si anak, pemohon mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menunjukkan persyaratan-persyaratan di atas kepada Petugas Registrasi di kantor Desa atau Kelurahan. Formulir tersebut ditandatangani oleh pemohon dan diketahui oleh Kepala Desa atau Lurah. Kepala Desa atau Lurah yang akan melanjutkan formulir tersebut ke Unit Pelaksana Teknis Dinas (“UPTD”) Instansi Pelaksana [6] untuk diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran atau ke kecamatan untuk meneruskan Formulir Surat Keterangan Kelahiran kepada Instansi Pelaksana [7] jika UPTD Instansi Pelaksana tidak ada. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana/UPTD Instansi Pelaksana akan mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran dan menyampaikan kepada Kepala Desa/Lurah atau kepada pemohon. [8] Apabila pencatatan hendak dilakukan di luar tempat domisili ibu si anak, pemohon mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menyerahkan surat kelahiran dari dokter, bidan atau penolong kelahiran dan menunjukkan KTP ibunya kepada Instansi Pelaksana. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi pelaksana mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. [9] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ; 3. Perpres Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil . [1] Pasal 2 ayat (2) UU P erkawinan [2] Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pas al 43 ayat (1) UU Perkawinan [3] Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan [4] Lihat Pasal 52 ayat (1) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 25/2008”) [5] Pasal 52 ayat (2) Perpres 25/2008 [6] Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta (Pasal 1 angka 21 Perpres 25/2008) [7] Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan ( Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ) [8] lihat Pasal 53 Perpres 25/2008 [9] Pasal 54 Perpres 25/2008 hukumonline kawin siri hukum klinik anak luar kawin klinik hukumonline akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara memperoleh akta kelahiran untuk anak luar kawin? Dalam hal ini, ibu kandungnya mengakui dan berniat untuk mengurus akta kelahiran anak tersebut. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hukum Dinikahkan oleh Wali Nikah yang Tidak Berhak 15 Des 2023 Apakah Pasangan Nikah Siri Bisa Punya KK? 25 Mei 2023 Yang Harus Dilakukan Jika Punya Akta Kelahiran Ganda 18 Jun 2021 Aturan Pemusnahan Fotokopi Dokumen Kependudukan Agar Tak Tercecer dan Disalahgunakan 09 Jun 2021 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Amrie Hakim, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 10 Maret 2011 dan dimutakhirkan pertama kalinya pada 14 September 2016. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa anak beserta orang tua kandung merupakan Warga Negara Indonesia (“WNI”) dan anak dilahirkan di Indonesia. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Anak Luar Kawin Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dalam arti sempit, anak luar kawin dapat didefinisikan sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan wanita yang masih lajang (tidak terikat dalam perkawinan), demikian yang disampaikan P.N.H. Simanjuntak dalam buku Hukum Perdata Indonesia (hal. 228-229). Terdapat beberapa keadaan yang mengakibatkan anak berstatus sebagai anak luar kawin, di antaranya yaitu: Anak lahir dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, tetapi perkawinan tersebut sah secara agama. Misalnya, perkawinan siri; atau Anak lahir dari seorang ibu yang hamil di luar nikah dan tidak menikah dengan ayah biologis si anak, dalam arti tidak pernah ada perkawinan antara ayah biologis dan ibu kandung. Status Anak Luar Kawin Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Artinya, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, anak luar kawin dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologis dan keluarga ayahnya jika dapat dibuktikan keduanya memiliki hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Lalu, bagaimana ketentuan pencatatan kelahiran bagi anak luar kawin? Akta Kelahiran Anak Luar Kawin Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat penduduk berdomisili maksimal 60 hari sejak kelahiran. Dengan catatan, tempat lahir di dalam akta kelahiran tetap menunjuk pada tempat terjadinya kelahiran. [1] Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. [2] Dengan adanya frasa “setiap kelahiran wajib dilaporkan”, berarti kelahiran anak di luar kawin juga wajib untuk dilaporkan maksimal 60 hari sejak kelahiran, untuk kemudian dicatatkan pada Register Akta Kelahiran dan diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Syarat Mengurus Akta Kelahiran Anak Luar Kawin Untuk memperoleh akta kelahiran bagi WNI, pencatatan kelahiran harus memenuhi persyaratan: [3] Surat keterangan kelahiran; Buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah ; Kartu Keluarga (KK); dan KTP-el. Lalu, bagaimana dengan anak yang lahir di luar kawin, bisakah mendapatkan akta kelahiran jika tidak melampirkan buku nikah/kutipan akta perkawinan? Sebelumnya, Pasal 52 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 25/2008”) mengatur: Dalam hal pelaporan kelahiran tidak disertai kutipan akta nikah/akta perkawinan orang tua, pencatatan kelahiran tetap dilaksanakan. Namun, kini Perpres 25/2008 telah dicabut dengan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”) . [4] Namun sepanjang penelusuran kami, ketentuan serupa tidak diatur kembali dalam Perpres 96/2018. Meski demikian, menjawab pertanyaan Anda, Zudan Arif Fakrulloh , Direktur Jenderal Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (“Disdukcapil”) dalam akun TikTok miliknya pada tanggal 28 Juli 2021 menegaskan, akta kelahiran merupakan hak anak, bukan orang tua. Sehingga apa pun kondisi anak dan orang tuanya, apakah orang tua tersebut menikah siri, hanya ada ibu saja, atau keberadaan kedua orang tua tidak diketahui, anak tetap berhak mendapatkan akta kelahiran. Dalam hal anak lahir di luar perkawinan, tetap dapat dibuatkan akta kelahiran . Namun, dalam akta kelahiran tersebut hanya ada nama ibu saja. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, maka anak luar kawin tetap bisa memperoleh akta kelahiran meskipun tidak melampirkan persyaratan buku nikah/kutipan akta perkawinan. Cara Mengurus Akta Kelahiran Anak Luar Kawin Pelapor melaporkan kelahiran ke Disdukcapil setempat Penduduk melaporkan peristiwa penting (kelahiran anak), kepada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Disdukcapil Kabupaten/Kota. [5] Pelaporan tersebut dapat dilaksanakan secara manual dan/atau online melalui Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). [6] Pelapor melampirkan persyaratan pencatatan kelahiran Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, Anda dapat melampirkan dokumen untuk memenuhi syarat pencatatan kelahiran untuk mendapatkan akta kelahiran, yakni surat keterangan kelahiran, KK, dan KTP-el. Pejabat Pencatatan Sipil menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. [7] Pengakuan Anak oleh Ayah Biologis Sebagai informasi tambahan, jika ingin mencantumkan nama ayah dalam akta kelahiran untuk anak luar kawin, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) Perpres 96/2018 : Pencatatan pengakuan anak Penduduk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan . Pencatatan atas pengakuan anak tersebut dilakukan dengan membuat catatan pinggir pada register akta kelahiran maupun pada kutipan akta kelahiran dan/atau mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak. [8] Baca juga: Penetapan Asal-Usul Anak Hasil Kawin Siri dan Poligami Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil REFERENSI:\n1. P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana, 2015\n2. TikTok , diakses pada 5 November 2021 pukul 08.30 WIB. PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 . [1] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) dan penjelasannya [2] Pasal 27 ayat (2) UU Adminduk [3] Pasal 33 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”) [4] Pasal 81 Perpres 96/2018 [5] Pasal 64 ayat (1) Perpres 96/2018 [6] Pasal 64 ayat (3) jo. Pasal 65 ayat (1) Perpres 96/2018 [7] Pasal 27 ayat (2) UU Adminduk [8] Pasal 51 ayat (2) Perpres 96/2018 hukumonline hukum klinik perkawinan anak luar kawin klinik hukumonline akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Terhadap suatu PT tertutup terdapat akta pengikatan saham dan kuasa saham kepada orang asing. Apakah orang asing dapat dimenangkan di pengadilan berdasarkan akta tersebut? Orang asing tersebut menjual saham kepada orang lain berdasarkan akta tersebut. Seberapa kuat akta tersebut melindung orang asing/orang yang benar memiliki uang/saham tersebut baik di dalam pengadilan (sidang perkara) maupun diluar pengadilan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Akta pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai praktek nominee arrangement . Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham tersebut dilimpahkan pada orang lain. Mengenai nominee arrangement ini pernah dibahas dalam artikel jawaban kami di sini . Nominee arrangement ini sebenarnya tidak diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Pasal 33 ayat (1) UUPM melarang penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) UUPM selanjutnya mengatur bahwa perjanjian semacam itu dinyatakan batal demi hukum. Larangan ini juga diperkuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Dalam pasal 48 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa saham dikeluarkan atas nama pemiliknya . Jadi, saham itu haruslah atas nama si pemegang sahamnya, tidak bisa nama pemegang sahamnya berbeda dengan pemilik sebenarnya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, menurut kami, perjanjian tersebut tidak cukup untuk melindungi orang yang memiliki uang tersebut. Hal ini karena struktur nominee arrangement demikian tidak diperbolehkan dalam perundang-undangan kita. Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar hukum perusahaan lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku." }
{ "from": "human", "value": "Apakah akta notaris dikatakan sebagai alat bukti otentik? Apa saja yang dikatakan sebagai alat bukti otentik? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Akta Notaris adalah akta otentik. Apa saja yang dikatakan sebagai alat bukti otentik? Alat bukti yang memenuhi persyaratan kumulatif dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Salam, Berbicara tentang akta Notaris sebagai alat bukti otentik, sebelumnya marilah kita lihat pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) : “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.” KLINIK TERKAIT Jika Notaris Meninggal Dunia 06 Okt 2023 Dirugikan oleh Tindakan Notaris, Tempuh Langkah Ini 23 Nov 2022 Aturan Pemberian Ucapan Selamat oleh Notaris 06 Nov 2018 Bolehkah Notaris/PPAT Menjadi Kreditur Bagi Perseroan Terbatas? 13 Mar 2018 Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang dibuat, walaupun ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan ( Pasal 1869 KUHPerdata ). Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 (“UUJN”). Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN , disebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Frasa “di tempat dimana akta dibuat” dalam Pasal 1868 KUHPerdata, berhubungan dengan tempat kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota ( Pasal 18 ayat (1) UUJN ). Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya ( Pasal 18 ayat (2) UUJN ). Mengenai kewenangan Notaris, Pasal 15 ayat (1) UUJN memberikan jabarannya, bahwa Notaris, dalam jabatannya, berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Akta Notaris atau Notariil Akta, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN , dimaknai sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU ini. Secara gramatikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta dimaknai sebagai surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Sampai pada titik ini, sudah jelas kiranya mengenai posisi, fungsi, tugas dan wewenang Notaris. Bahwa dalam jabatannya, Notaris berwenang membuat akta otentik. Kembali ke pertanyaan Saudara, apakah akta notaris dikatakan sebagai alat bukti otentik? Iya, jika Akta Notaris tersebut dibuat sesuai/memenuhi persyaratan kumulatif sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Namun, apabila salah satu saja tidak terpenuhi, maka Akta Notaris tersebut terdegradasi menjadi hanya sebagai akta dibawah tangan. Lalu untuk pertanyaan Saudara berikutnya tentang apa saja yang dikatakan sebagai alat bukti otentik, alat bukti otentik adalah semua alat bukti surat yang memenuhi persyaratan kumulatif dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Demikian, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 . akta" }
{ "from": "human", "value": "Saya pernah dapat penjelasan bahwa transaksi pertanahan (jual beli, hibah, hak tanggungan) harus dibuat dalam akta notaris, dan tidak boleh dilakukan secara bawah tangan. Apakah benar demikian, adakah dasar hukumnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Yang berwenang untuk membuat akta sehubungan peralihan hak atas atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) , bukan notaris. Hal ini sesuai dengan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “ Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya, dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP 37/1998) , dijelaskan bahwa PPAT adalah: “ P ejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ” Hal ini dikuatkan dalam pasal 2 ayat (1) PP 37/1998 , bahwa tugas pokok PPAT adalah membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998 selanjutnya menjelaskan perbuatan hukum tertentu dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, yaitu: a) Jual beli; b) Tukar menukar; c) Hibah; d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e) Pembagian hak bersama; f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g) Pemberian Hak Tanggungan; h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan Jadi, untuk transaksi pertanahan untuk didaftarkan, harus dilakukan dengan akta PPAT. Mengenai biaya pembuatan akta terkait hak atas tanah yang dibuat PPAT, Anda dapat membaca artikel kami di sini . Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah" }
{ "from": "human", "value": "Dapatkah Akta Perjanjian Kredit yang dibuat di hadapan Notaris salinannya dijadikan sebagai Grosse Akta atau dikeluarkan grosse-nya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Adapun pengertian Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial (pasal 1 angkat 11 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). Mengenai grosse akta diatur pula dalam pasal 224 HIR. Jadi, akta perjanjian kredit tidak dapat dikeluarkan grosse-nya oleh notaris. Yang dapat dikeluarkan grosse aktanya adalah akta pengakuan hutang. Akta pengakuan hutang memuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur. Akta pengakuan hutang berbeda dengan perjanjian kredit. Isi dari akta pengakuan hutang adalah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Isi akta pengakuan hutang adalah pengakuan hutang saja. Sedangkan, perjanjian kredit isinya tidak hanya itu, melainkan juga hak dan kewajiban debitur dan kreditur, bunga, janji-janji, kuasa, dan sebagainya. 2. Akta pengakuan hutang merupakan pernyataan sepihak. Sedangkan, perjanjian kredit merupakan perjanjian antara para pihak, yaitu kreditur dan debitur. 3. Dalam akta pengakuan hutang jumlah utang debitur berupa sejumlah uang harus ditentukan secara tegas dan pasti. Sedangkan, dalam perjanjian kredit jumlah utang belum jelas dan pasti, karena adanya bunga, denda, biaya-biaya lain, dan sebagainya. Akta pengakuan hutang murni isinya pengakuan hutang sejumlah uang dan tidak mengandung bunga, janji-janji, dan sebagainya seperti perjanjian kredit. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. HIR ( Het Herziene Indonesisch Reglemen , Staatblad Tahun 1941 No. 44) 2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris" }
{ "from": "human", "value": "1) Apakah surat tanah non sertifikat yang kepemilikannya terdaftar & diakui Camat memiliki kekuatan hukum dan dapat diajukan ke Hukum jika ada pihak lain yang menggarap / menguasai / mengakui lahan secara fisiknya? 2) Mengenai hal ini berada di UU nomor berapa? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Kami kurang memahami apa maksud dari “Surat tanah non sertifikat yang kepemilikannya terdaftar & diakui Camat”, karena bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah (lihat Pasal 19 ayat [ 2 ] huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) jo. Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”). Kami asumsikan bahwa surat yang Saudara maksud adalah akta yang dikeluarkan oleh Camat sebagai PPAT Sementara . Sesuai dengan k etentuan Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP 37/1998”): KLINIK TERKAIT Syarat Mengubah HGB Rumah Tinggal Menjadi Hak Milik 18 Des 2023 Sertifikat Tanah Rusak, Ini Syarat Penerbitan Sertifikat Pengganti 01 Sep 2023 Cara Membuat Sertifikat Tanah Secara Mandiri 29 Jun 2022 Bagaimana Cara Penerbitan Sertifikat Hak Milik Strata Title? 23 Agt 2011 (1). PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2). Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a) Jual beli ; b) Tukar menukar; c) Hibah; d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e) Pembagian hak bersama; f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g) Pemberian Hak Tanggungan; h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Akta tersebut kemudian dapat menjadi dasar pensertipikatan tanah yang selanjutnya bisa Saudara baca di artikel Bagan/Proses/Prosedur Pembuatan Sertipikat Tanah . Mengenai apakah akta tersebut memiliki kekuatan hukum, jika akta tersebut adalah akta jual beli tanah, memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual beli tanah . Akan tetapi, untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti hak atas tanah . Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997 yang berbunyi: (1). Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2). Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Untuk itu, sebaiknya dilakukan pengurusan sertipikat tanah agar jika terjadi sengketa (misal: tanah dikuasai secara fisik oleh orang lain), pemilik tanah mempunyai dasar kepemilikan yang kuat. Jika kepemilikan atas tanah tersebut tidak dapat didukung dengan bukti-bukti yang kuat, tanah tersebut mungkin saja didaftarkan oleh orang lain yang menguasai secara fisik tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut dan memenuhi syarat dalam Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997 : a) penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. b) penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Jadi, surat/akta yang dikeluarkan oleh Camat seperti yang Saudara sebutkan belum dapat menjadi pembuktian yang kuat untuk membuktikan hak kepemilikan atas tanah. 2. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, peraturan-peraturan yang mengenai bukti kepemilikan tanah diatur dalam UUPA dan PP 24/1997 . Kami menyarankan agar tanah tersebut segera didaftarkan agar memiliki Sertipikat Tanah sebagai pembuktian kepemilikan tanah yang kuat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana caranya suatu perseroan terbatas mengakuisisi suatu perusahaan berbentuk CV? Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi dalam akuisisi tersebut. Atas jawabannya, terima kasih. Regards, Romi." }
{ "from": "gpt", "value": "Kata akuisisi atau pengambilalihan sudah biasa digunakan ketika membicarakan suatu Perseroan Terbatas (“PT”). Definisi pengambilalihan menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) adalah “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.” Jadi, sudah terdapat pengaturan yang secara khusus mengatur pengambilalihan suatu PT. Tetapi, sampai saat ini tidak ada pengaturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengambilalihan perusahaan berbentuk Commanditaire vennootschap ( “ CV”). KLINIK TERKAIT Prosedur Mengubah Badan Usaha CV Menjadi PT Secara Berurutan 02 Mar 2022 Mau Mendaftarkan Nama Usaha? Ikuti Panduan Ini! 03 Feb 2021 Jika Nama Perusahaan Sama dengan Perusahaan Lain 19 Sep 2017 CV Bubar, Bagaimana dengan Utangnya? 05 Agt 2011 Menurut Buku Merger, Konsolidasi, Akuisisi, & Pemisahaan Perusahaan Cara Cerdas Mengembangkan & Memajukan Perusahaaan karangan Iswi Hariyani et.al. , dijelaskan bahwa akuisisi dapat dilakukan atas saham atau aset milik perusahaan target. Selain itu, menurut Iswi Hariyani, akuisisi dapat dilakukan oleh PT kepada CV. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Walaupun tidak lazim dilakukan, namun menurut Buku Hukum Perusahaan Indonesia karangan Abdulkadir Muhammad (hal. 97), modal persekutuan komanditer dapat dibagi atas saham-saham. Persekutuan semacam ini tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) , tetapi tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Pembentukan modal dengan menerbitkan saham dibolehkan (lihat Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) . Dalam kasus Anda, apabila CV yang hendak diakuisisi merupakan CV yang menerbitkan sahamnya, maka suatu PT dapat juga membeli saham tersebut. Namun, menurut hemat kami, pembelian saham CV ini tidak akan menyebabkan beralihnya pengendalian atas CV tersebut. Karena modal dari CV sebagaimana diatur Pasal 1618 KUHPer adalah berdasarkan pada “pemasukan/ inbreng ” dari para sekutunya. Sebagaimana dijelaskan Rudhi Prasetya dalam buku “ Maatschap Firma dan Persekutuan Komanditer” (hal. 13), wujud dari inbreng tersebut tidak mutlak harus dalam bentuk uang, namun dapat pula dalam bentuk barang atau kerajinan. Maka pembelian saham dalam CV tidak akan secara otomatis mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap CV. Hal ini berbeda dengan pengaturan mengenai modal dari suatu PT, dalam PT modal seluruhnya terbagi atas saham, sehingga pengambilalihan saham yang melebihi 50 persen akan secara otomatis akan mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap PT (lihat Pasal 125 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 1 UUPT ). Cara lain yang dapat digunakan untuk mengambilalih kepemilikan CV adalah dengan secara langsung ikut serta sebagai sekutu CV. Namun, sebagaimana dijelaskan Rudhi Prasetya (Hal. 37), pada umumnya ikatan dalam CV sangat pribadi. Maka penembahan sekutu hanya dapat dilakukan dengan sepertujuan seluruh sekutu. Lagi pula, yang terpenting dalam CV sepenuhnya diliputi oleh hukum perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPer . Hal ini dalam praktik lalu dibuatkan akta “pemasukan” yang pada intinya berisi pernyataan persetujuan sekalian sekutu dengan masuknya sekutu baru, dan perubahan pasal-pasal dalam anggaran dasar bertalian dengan masuknya sekutu baru. Lebih lanjut, Rudhi Prasetya menegaskan, penerimaan masuknya seorang sekutu baru itu harus dengan sepersetujuan sekalian sekutu lainnya dan tidak dapat atas pemungutan suara ( voting ), atas dasar alasan Pasal 1313 KUHPer . Selain itu, karena berdasar Pasal 19 KUHD suatu CV haruslah didirikan oleh orang, maka suatu PT sebagai badan hukum tidak dapat secara langsung ikut menjadi sekutu CV. Apabila sebuah PT hendak mengendalikan CV, yang dapat PT tersebut lakukan adalah membuat perjanjian dengan para sekutu CV, untuk mengangkat seorang sekutu yang mewakili PT tersebut di dalam CV. Misalnya, berdasarkan perjanjian tersebut, seorang direksi PT diangkat menjadi sekutu CV. Jadi dasar hubungan antara PT dengan CV, PT dengan wakilnya di CV, dan antara CV dengan para sekutunya adalah berdasarkan pada perjanjian. Demikian yang kami ketahui, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43); 3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ." }
{ "from": "human", "value": "Bisakah badan hukum asing mengakuisisi perusahaan telekomunikasi indonesia seperti PT.Telkom, tbk. misalnya, hingga memiliki 100% saham ?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan peraturan yang berlaku dalam kegiatan investasi asing, suatu badan hukum asing dimungkinkan untuk memiliki tidak lebih dari 95% saham perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Namun perlu diperhatikan pula bahwa terdapat pula ketentuan kepemilikan saham yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait, dalam hal ini Departemen Perhubungan. Sepengetahuan kami, Departemen Perhubungan, dalam dokumen yang dikenal dengan nama \"blue print\" sektor telekomunikasi, masih membatasi kepemilikan asing sampai dengan 35% saham perusahaan telekomunikasi. Memang kedua ketentuan ini bertentangan dan sepengetahuan kami, peran instansi teknis cukup besar karena Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mensyaratkan perolehan ijin usaha dari instansi teknis terkait dalam hal pengambilalihan tersebut. Selain itu, untuk dapat menjawab pertanyaan anda, perlu pula dikaji apakah perusahaan yang akan diambil alih adalah: (i) perusahaan penanaman modal asing (PMA) atau bukan; dan (ii) perusahaan publik (terbuka) atau non-publik (tertutup). Apabila status perusahaan yang akan diambil alih bukan PMA, maka perusahaan yang bersangkutan harus mengajukan perubahaan status menjadi PMA kepada BKPM. Jika perusahaan itu adalah perusahaan terbuka, maka perusahaan yang akan diambil alih tidak perlu mengajukan perubahan, cukup pengambil alihan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum pasar modal yang berlaku. Ketentuan tersebut antara lain tentang penawaran tender atau pengambilalihan, tergantung pada prosentase saham yang akan diambilalih dan kontrol atas perusahaan yang bersangkutan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Permasalahan ini cukup pelik mengingat besarnya peran 'kebijakan' dari instansi terkait. Oleh karena itu, jika anda memerlukan nasihat hukum, sebaiknya menghubungi pengacara atau konsultan hukum yang kompeten (lihat di Direktori hukumonline.com )" }
{ "from": "human", "value": "Saya izin bertanya terkait aplikasi marketplace yang di-hack. Jadi akun aplikasi saya di-hack, dan limit pay later disedot semua, akan tetapi saya tidak tahu kapan si hacker tersebut masuk ke akun saya. Sewaktu saya menyadarinya, ternyata limit pay later sudah tinggal sedikit. Saat chat CS justru malah saya yang disuruh untuk melunasi semuanya selaku pemilik akun. Sedangkan saya tidak menggunakan uang sepeser pun. Bagaimana hukumnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, kami akan jelaskan terlebih dahulu secara singkat mengenai pay later. Layanan pinjaman online tanpa kartu kredit yang memungkinkan konsumen membayar suatu transaksi di kemudian hari, baik dengan sekali bayar atau mencicil adalah yang dapat menggambarkan pengertian pay later.\n\nPay later adalah salah satu bagian dalam fintech yang merupakan lembaga keuangan bukan bank. Saat ini pay later menjadi salah satu opsi pembayaran berbagai marketplace yang banyak diminati masyarakat, apa lagi terkadang pembayaran menggunakan pay later menawarkan diskon atau cashback yang menggiurkan.\nGuna mempermudah pemahaman Anda tentang cara kerja pay later, kami mengambil salah satu contoh layanan pay later yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Indodana PayLater yang menawarkan beragam opsi simulasi cicilan dari 3 bulan sampai dengan 12 bulan. Adapun limit kredit belanja yang diberikan adalah Rp500 ribu hingga Rp25 juta.\n\nBaca juga: Mengenal Seluk-beluk Metode Pembayaran Paylater\nJerat Hukum bagi Hacker Akun Pay Later\n\nPasal yang dapat menjerat pelaku pembajakan akun pay later maupun marketplace adalah Pasal 362 KUHP jo. Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 46 ayat (3) UU ITE. Berikut bunyi pasal terkait satu per satu:\n\nPasal 362 KUHP:\n\nBarang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.\n\nAdapun yang dimaksud “kepunyaan orang lain” adalah limit pay later milik Anda yang sudah diambil dan digunakan oleh orang lain. Selain pasal pencurian, menurut hemat kami, pembajakan akun juga dapat dikenakan Pasal 30 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:\n\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.\n\nDengan demikian, pelaku yang membajak akun pay later dianggap sudah melakukan perbuatan berupa menerobos informasi elektronik yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 46 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:\n\nSetiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta.\nSehingga karena pembajakan akun pay later telah menimbulkan kerugian secara nyata kepada Anda selaku pemilik akun, maka pelaku dianggap telah melakukan pencurian dan dapat pula dijerat menggunakan Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 46 ayat (3) UU ITE.\n\nBaca juga: Hack Akun Instagram Orang Lain, Ini Jerat Hukumnya\nLangkah Hukum\n\nSelanjutnya, kami menyarankan Anda untuk mempertimbangkan mengambil beberapa langkah hukum berikut ini:\n\nMelaporkan ke perusahaan pay later tentang terjadinya pembajakan akun, agar dapat dilakukan pengecekan aliran dana.Melaporkan tindak pidana pembajakan kepada pihak kepolisian dengan membawa bukti dan laporan hasil pengecekan (bila ada) dari perusahaan pay later untuk dapat ditindaklanjuti.\nBaca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e19969e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\nREFERENSI:\n1. Bayu Novendra dan Sarah Safira Aulianisa. Konsep dan Perbandingan Buy Now, Pay Later dengan Kredit Perbankan di Indonesia: Sebuah Keniscayaan di Era Digital dan Teknologi. Jurnal RechtsVinding, Vol. 9 No. 2, Agustus 2020\n2. Indodana PayLater, diakses pada 19 Juli 2022, pukul 14.00 WIB." }
{ "from": "human", "value": "Saya mengalami kekerasan dari oknum Polisi. Apakah bisa saya melaporkan ke Komnas HAM karena saya anggap oknum tersebut melanggar HAM saya? Apa yang bisa dilakukan Komnas HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM saya ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "None" }
{ "from": "human", "value": "Terdapat suatu kontrak kerja antara individu dengan A (seorang direksi dan pihak yang mewakili perusahaan tersebut). Jika si A sudah tidak bekerja lagi pada perusahaan tersebut apakah kontrak kerjanya masih berlaku?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, subjek hukum perdata terbagi menjadi dua yaitu orang dan badan hukum. Hal ini berdasarkan pemaparan dari Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 21) yang mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.\nMaka dari itu, sebagaimana layaknya subjek hukum, sebuah badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.[2]\n\nLebih lanjut, sebuah PT dijalankan oleh sebuah Organ Perseroan yakni Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Dewan Komisaris.[3] Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.[4] Lalu, mengutip artikel Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA?, kewenangan direksi untuk mewakili perseroan ini tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.[5]\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, kesimpulannya, A sebagai wakil dari perusahaan (PT) bertindak untuk dan atas nama PT. Hal tersebut dikarenakan PT sebagai badan hukum tidak dapat mengikatkan dirinya sendiri dengan pihak lain tanpa perantara dari pengurus-pengurusnya.\nMaka menjawab pertanyaan Anda, kontrak kerja/perjanjian kerja antara individu dengan A (sebagai perwakilan PT) adalah kontrak kerja antara individu dengan PT itu sendiri, bukan dengan A sebagai pribadi. Adapun jika si A sudah tidak bekerja lagi pada perusahaan tersebut, hal itu tidak akan mempengaruhi kontrak kerja yang telah dibuat.\n\nLantas, apa saja alasan berakhirnya perjanjian kerja?\nAlasan Berakhirnya Perjanjian Kerja\n\nPerjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[6] Pada dasarnya, berakhirnya perjanjian kerja antara pekerja dan pelaku usaha dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu:\n\npekerja meninggal duniaberakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;selesainya suatu pekerjaan tertentu;adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atauadanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja.\n\nAdapun keadaan atau kejadian tertentu yang dimaksud di atas seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.[7]\n\nKemudian, perlu diketahui bahwa suatu perjanjian kerja tidak dapat berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan  akibat penjualan, pewarisan, atau hibah.[8] Jika terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja.[9]\n\nLebih lanjut, jika pengusaha meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja.[10] Namun, jika yang meninggal dunia adalah pekerja, ahli waris pekerja berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.[11]\nSelanjutnya, penting untuk diketahui bahwa kontrak kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU Ketenagakerjaan.\n\nBaca juga: Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja\n\nNamun, selain alasan yang diatur dalam Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat alasan lain yang berdampak pada berakhirnya perjanjian kerja karena Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.[12] Alasan-alasan tersebut adalah:\n\nPekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri (resign);[13]Pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis;[14]Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;[15]Pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan;[16]Pekerja memasuki usia pensiun.[17]\n\nAlasan PHK dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A UU Ketenagakerjaan.\n\nBaca juga: Usia Pensiun Diatur Berbeda dari Peraturan Pemerintah, Bolehkah?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_pt)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Andari Yurikosari. Ambivalensi Status dan Kedudukan PPPK Berdasarkan UU-ASN dan UU Ketenagakerjaan di Indonesia (Studi Tentang Kedudukan Pegawai Honorer Pada Instansi Pemerintah Pasca Diberlakukannya UU-ASN). Jurnal Civil Service, Vol. 1, No. 2, November 2016\n2. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Kedua Puluh. Jakarta : PT Intermasa, 2003.\n\n[1] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).[2] Andari Yurikosari. Ambivalensi Status dan Kedudukan PPPK Berdasarkan UU-ASN dan UU Ketenagakerjaan di Indonesia (Studi Tentang Kedudukan Pegawai Honorer Pada Instansi Pemerintah Pasca Diberlakukannya UU-ASN). Jurnal Civil Service, Vol. 1, No. 2, November 2016, hal. 16.[3] Pasal 109 angka 1  Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 2 UU PT.[4] Pasal 98 ayat (1) UU PT.[5] Pasal 98 ayat (3) UU PT.[6] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).[7] Penjelasan Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja.[8] Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.[9] Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.[10] Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.[11] Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (5) UU Ketenagakerjaan.[12] Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan.[13] Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan.[14] Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan.[15] Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf l UU Ketenagakerjaan.[16] Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf m UU Ketenagakerjaan.[17] Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah baru Pasal 154A ayat (1) huruf n UU Ketenagakerjaan." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana prosedur/mekanisme/tahapan penghentian pemberian perlindungan terhadap korban dan/atau saksi pelanggaran hak asasi manusia yang berat? Disertai dasar hukumnya ya." }
{ "from": "gpt", "value": "Sesuai ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa perlindungan atas keamanan saksi dan atau korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: A. Saksi dan atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; KLINIK TERKAIT Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan? 06 Nov 2023 Begini Peran dan Fungsi Advokat dalam Perkara Pidana 14 Agt 2023 Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan 05 Sep 2018 Ancaman Pidana Bagi Orang yang Menghalang-halangi Perlindungan Saksi 25 Jun 2012 B. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; C. Saksi dan atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas D. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) berpendapat bahwa saksi dan atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; E. Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan atau korban harus dilakukan secara tertulis. Terhadap ketentuan hal tersebut, LPSK akan memutuskan penghentian perlindungan terhadap saksi dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan tindak pidana lain sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan dalam rapat paripurna LPSK dan memberitahukan keputusan tersebut kepada terlindung LPSK serta pihak terkait. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana pendapat tentang pembebasan napi demi pencegahan penyebaran COVID-19 ini dengan alasan tahanan yang overload? Apakah efektif dan bagaimana dengan isu kekhawatiran masyarakat terhadap pemberitaan napi yang justru malah berulah kembali?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana untuk Mencegah Penyebaran COVID-19 Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami merujuk pada: Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 (“Permenkumham 10/2020”) ; dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 (“Kepmenkumham 19/2020”) . Sebagai upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”), dan Rumah Tahanan Negara (“Rutan”) dari penyebaran COVID-19, dilaksanakan pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi . [1] Pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak, dilaksanakan melalui: [2] Pengeluaran melalui asimilasi , dilakukan dengan ketentuan: Bagi narapidana yang 2/3 masa pidananya dan bagi anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai tanggal 31 Desember 2020; Bagi narapidana dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 99/2012”) , yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing; Asimilasi dilaksanakan di rumah ; Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan. Pembebasan melalui integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas), dilakukan dengan ketentuan: Bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidananya dan bagi anak yang telah menjalani 1/2 masa pidananya. Narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP 99/2012, yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Usulan dilakukan melalui system database pemasyarakatan. Surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Asimilasi narapidana dan anak dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan . [3] Pemberian asimilasi narapidana harus memenuhi syarat: [4] berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir; aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani 1/2 masa pidana. Sedangkan pemberian asimilasi anak harus memenuhi syarat: [5] berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 bulan terakhir; aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani masa pidana paling singkat 3 bulan. Dokumen yang dilampirkan untuk memperoleh asimilasi , yaitu: [6] fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan atau melaksanakan subsider pengganti denda dijalankan di rumah dalam pengawasan oleh Kejaksaan dan Balai Pemasyarakatan; laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas; salinan register F dari Kepala Lapas; salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas; dan surat pernyataan dari narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum . Kemudian, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas diberikan kepada narapidana, dengan syarat: [7] telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan; berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana; telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana . Sementara, pemberian cuti bersyarat diberikan kepada narapidana, dengan syarat: [8] telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 6 bulan; berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 6 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana; telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana . Bagi anak yang dipenjara di LPKA dapat memperoleh pembebasan bersyarat , dengan syarat: [9] telah menjalani masa pidana paling sedikit 1/2 masa pidana; dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 3 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 1/2 masa pidana. Dokumen yang dilampirkan untuk memperoleh hak integrasi , yaitu: [10] fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas/LPKA; salinan register F dari Kepala Lapas/LPKA; salinan daftar perubahan dari Lapas/LPKA; dan surat pernyataan dari narapidana/anak tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum . Pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana yang dipidana karena tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika hanya berlaku pada narapidana yang dipidana penjara di bawah 5 tahun . [11] Permenkumham 10/2020 berlaku sampai dengan masa kedaruratan terhadap penanggulangan COVID-19 yang ditetapkan pemerintah berakhir. [12] Persoalan Over Capacity dan Antisipasi Dampak Negatifnya di Tengah Wabah COVID-19 Pertama , harus dipahami bahwa over capacity Lapas di Indonesia saat ini berada pada tahap yang memprihatinkan. Kapasitas Lapas di Indonesia saat ini hanya bisa menampung 160 ribu orang. Namun faktanya, penghuni Lapas kini telah mencapai 270 ribu orang. Sehingga dalam konteks pencegahan dan penanggulangan COVID-19, tidak mungkin dilaksanakan pembatasan sosial di Lapas . Kedua , harus pula dipahami bahwa lebih kurang 32 ribu narapidana yang memperoleh asimilasi dan hak integrasi tersebut bukan serta merta dibebaskan, melainkan dirumahkan . Narapidana yang dimaksud terdiri dari mereka yang telah memenuhi syarat sebagaimana telah disebutkan di atas. Narapidana yang berstatus pembebasan bersyarat yang telah memenuhi persyaratan tidak menimbulkan masalah. Dalam arti, tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Perlu digarisbawahi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. [13] Hal ini berbeda dengan narapidana yang menjalani asimilasi. Seharusnya, merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat , narapidana yang menjalankan asimilasi pada siang hari berada di luar Lapas untuk melakukan kerja sosial dan sore harinya kembali ke Lapas. Adapun pengertian asimilasi itu sendiri adalah proses pembinaan narapidana dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan mereka dalam kehidupan masyarakat . [14] Tetapi kalau narapidana asimilasi tersebut kembali ke Lapas pada sore hari, ini justru memang sangat rentan terjadi penyebaran COVID-19.  Sebaliknya, jika hak asimilasi tidak diberikan kepada narapidana, maka ini merupakan pelanggaran HAM. Narapidana yang dirumahkan tetap berada dalam pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan . Artinya, mereka tidak boleh ke luar rumah dan apabila kembali melakukan kejahatan, maka hukumannya diperberat. Guna mencegah agar narapidana yang dirumahkan tidak kembali melakukan kejahatan, diperlukan juga peran dari Kepala Desa, RT dan RW untuk melakukan pengawasan ketat dan pembinaan. Sebagai informasi tambahan, dikutip dalam artikel Dirjen Pemasyarakatan Sebut Napi Asimilasi Berulah Jumlahnya Sedikit , Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Reynhard Silitonga menyatakan di Indonesia tingkat narapidana yang mengulangi kejahatannya sangat rendah dibandingkan negara lain, yakni 0,2%. Masih dari artikel yang sama, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Kementerian Hukum dan HAM, Junaedi menegaskan asimilasi itu artinya dikeluarkan dengan status masih narapidana, jika melakukan pelanggaran, maka narapidana yang bersangkutan bisa dimasukkan lagi dalam Lapas/Rutan. Hal senada juga dikatakan Nugroho yang pernah menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam artikel Napi Asimilasi Kembali Berulah, Bukti Pidana Pemenjaraan Tidak Efektif bahwa narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat. Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 [1] Bagian Kesatu Kepmenkumham 19/2020 [2] Bagian Kedua Kepmenkumham 19/2020 [3] Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Permenkumham 10/2020 [4] Pasal 2 ayat (2) Permenkumham 10/2020 [5] Pasal 3 ayat (2) Permenkumham 10/2020 [6] Pasal 4 Permenkumham 10/2020 [7] Pasal 9 Permenkumham 10/2020 [8] Pasal 10 Permenkumham 10/2020 [9] Pasal 11 Permenkumham 10/2020 [10] Pasal 12 Permenkumham 10/2020 [11] Pasal 8 dan Pasal 22 Permenkumham 10/2020 [12] Pasal 23 ayat (2) Permenkumham 10/2020 [13] Pasal 1 angka 5 Permenkumham 10/2020 [14] Pasal 1 angka 3 Permenkumham 10/2020 pemasyarakatan hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Mohon bantuan saran terhadap kasus yang sedang kami hadapi. Teman kami dapat PHK dari HRD berdasarkan alasan darurat dari SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005. Tuduhannya yaitu kelalaian saat proses produksi sehingga hasilnya rusak 10 ton dengan nilai USD 67,000. Kesalahan terjadi pada saat teman meninggalkan ruang produksi untuk minum, tapi terlebih dahulu memberi instruksi ke asistennya dalam melanjutkan pengisian material yang dalam proses. Tapi, setelah selesai asisten tersebut melanjutkan dengan mengisi material lain atas inisiatifnya sehingga produksi rusak total. Atas kerusakan itu teman kami dituduh lalai dan dinilai kesalahan berat dan dengan peraturan tersebut di atas management memutuskan untuk mem-PHK teman tanpa terlebih dahulu berunding dengan serikat pekerja. Jadi, saya mohon saran atas alasan darurat yang dipakai oleh management dalam melakukan PHK tersebut. Terima kasih atas bantuannya. Salam, Pras." }
{ "from": "gpt", "value": "Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE Menakertrans) dikeluarkan sehubungan dengan putusan Mahkamah Konsitusi No. 012/PUU-I/2003 yang membatalkan pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenal anak kalimat \".... bukan atas pengaduan pengusaha \"; pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat \"... Pasal 158 ayat (1) ...\" ; pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat .... Pasal 158 ayat (1) ... \" Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat \"... Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) .... \" UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena alasan kesalahan berat. Dengan adanya putusan MK tersebut, pasal-pasal tersebut dalam UU Ketenagakerjaan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tidak dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian hubungan industrial . Atas dasar putusan MK tersebut, Menaker kemudian mengeluarkan SE Menakertrans tersebut, yang mengamanatkan bahwa PHK bagi pekerja yang melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan pidana yang telah mendapat kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, SE Menakertrans tersebut mengatur mengenai “alasan mendesak” yang mengakibatkan hubungan kerja tidak bisa dilanjutkan. Mungkin “alasan mendesak” ini yang Anda maksudkan sebagai alasan darurat. Menurut SE Menaker ini, apabila terdapat alasan mendesak demikian, maka PHK dilakukan dengan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial . Adapun untuk proses PHK yang sesuai UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat Anda lihat dalam artikel ini . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar Hukum tenaga kerja lainnya dalam buku “53 Tanya Jawab Seputar Tenaga Kerja” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku." }
{ "from": "human", "value": "Kenapa orang jadi tersangka/terdakwa dibela sama pengacara? Padahal kan dia sudah salah? Kenapa lagi dibela?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Tersangka/terdakwa itu mempunyai hak untuk didampingi oleh penasihat hukum/advokat pada setiap tingkat pemeriksaan sebagaimana antara lain diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Perlu dipahami bahwa dalam Hukum Acara Pidana dikenal Asas Praduga Tak Bersalah, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maksud advokat membela tersangka/terdakwa yang telah nyata-nyata bersalah adalah bukan semata-mata agar klien dibebaskan dari semua tuntutan, tetapi advokat menjadi penasihat atau pendamping tersangka/terdakwa di muka pengadilan dan melindungi hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa agar tidak dilanggar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Tersangka/Terdakwa Didampingi Advokat Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , tersangka dan terdakwa didefinisikan sebagai: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan [1] patut diduga sebagai pelaku tindak pidana; [2] Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; [3] KUHAP pada dasarnya telah menjamin hak tersangka/terdakwa untuk didampingi penasihat hukum/advokat dalam setiap tingkat pemeriksaan . Hal ini antara lain telah diatur dalam beberapa pasal berikut: Pasal 54 KUHAP Guna kepentingan pembelaan , tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan , menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 55 KUHAP Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya . Pasal 57 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Khusus bagi tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati atau pidana penjara 15 tahun atau lebih, atau bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih tapi tidak mampu mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pejabat yang bersangkutan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 114 jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi: Pasal 114 KUHAP Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. Pasal 56 ayat (1) KUHAP Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Jadi pada dasarnya tersangka/terdakwa itu mempunyai hak untuk didampingi oleh penasihat hukum/advokat dalam setiap tingkat pemeriksaan. Mengapa Advokat Membela Orang yang Bersalah? Mengenai pengacara/advokat/penasihat hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dan Kode Etik Advokat . Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan UU Advokat. [4] Untuk menjalankan profesinya, advokat disumpah terlebih dahulu sesuai agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh pada Pengadilan Tinggi [5] di domisili hukumnya. [6] Advokat bertugas memberikan jasa hukum , yaitu jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa , mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien . [7] Sementara itu, klien adalah orang , badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat ( yang menjadi tersangka/terdakwa ). [8] Mengapa advokat membela orang yang bersalah? Ketika advokat membela klien yang bersalah berarti maksudnya klien telah melakukan tindak pidana, masyarakat harus memahami bahwa advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya. [9] Misal, kliennya tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi, maka gambaran masyarakat bahwa advokat tersebut juga koruptor. Bolehkah advokat menolak membela klien? Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. [10] Akan tetapi juga seorang advokat berhak untuk menolak pendampingan hukum kepada seorang klien dengan alasan tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. [11] Selain itu, perlu dipahami bahwa dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) terdapat asas praduga tak bersalah , yang dirumuskan sebagai berikut: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya meskipun masyarakat menganggap seseorang klien (tersangka/terdakwa) dari advokat bersalah, namun pada intinya yang menentukan seseorang bersalah atau tidak adalah hakim berdasarkan putusannya. Selain itu menurut Muhammad Nuh dalam bukunya Etika Profesi Hukum (hal. 278-279) sebagaimana yang kami sarikan, ketika membela seorang klien yang telah nyata-nyata bersalah, maksud advokat bukan semata-mata agar klien dibebaskan dari semua tuntutan, tetapi advokat menjadi penasihat atau pendamping tersangka/terdakwa di muka pengadilan. Mendampingi maksudnya agar hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa tidak dilanggar karena tidak jarang seorang tersangka/terdakwa diperlakukan semena-mena oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sehingga dapat dipahami bahwa advokat membela hak-hak kliennya dalam memberikan jasa hukum. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat , yaitu: Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia. Jadi menjawab pertanyaan Anda, dasarnya tersangka/terdakwa itu mempunyai hak untuk didampingi oleh penasihat hukum/advokat dalam setiap tingkat pemeriksaan. Maksud advokat membela tersangka/terdakwa adalah bukan semata-mata agar klien dibebaskan dari semua tuntutan, tetapi advokat menjadi penasihat atau pendamping tersangka/terdakwa di muka pengadilan dan melindungi hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa tidak dilanggar. Ulasan selengkapnya mengenai advokat silakan baca artikel  berikut ini: Lulusan Luar Negeri, Bisakah Menjadi Advokat di Indonesia? ; Bukan Advokat, Dapatkah Mendirikan Kantor Hukum? Ini Bedanya Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Kode Etik Advokat Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 101/PUU-VII/2009 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XII/2015 . Referensi : Muhammad Nuh. 2011. Etika Profesi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. [1] Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 : Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP [2] Pasal 1 angka 14 KUHAP [3] Pasal 1 angka 15 KUHAP [4] Pasal 1 angka 1 UU Advokat [5] Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XII/2015 : Menyatakan Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada, yaitu PERADI dan KAI”. [6] Pasal 4 ayat (1) UU Advokat jo Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 101/PUU-VII/2009 : Menyatakan Pasal 4 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”. [7] Pasal 1 angka 2 UU Advokat [8] Pasal 1 angka 3 UU Advokat [9] Pasal 18 ayat (2) UU Advokat [10] Pasal 18 ayat (1) UU Advokat [11] Pasal 3 huruf a Kode Etik Advokat. hukumonline pengadilan terdakwa advokat tersangka profesi hukum hukum ditahan penasihat hukum klinik hukumonline pengacara pidana" }
{ "from": "human", "value": "Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikenai tindakan pemasangan chip serta kebiri kimia. Namun IDI menyatakan menolak sebagai eksekutor karena bukan layanan medis dan bertentangan dengan etika kedokteran. Bagaimana kacamata hukum pidana memandang hukuman ini? Jika akan diterapkan, bagaimana gambaran idealnya? Apakah ini tidak melanggar HAM?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi 10 Mei 2023 Jerat Hukum Pemerkosaan Anak Kandung oleh Orang Tua 14 Mar 2023 Dokter Menolak Mengebiri = Obstruction of Justice ? 11 Feb 2020 Mengenal Hukum Pemasangan Chip bagi Pemerkosa Anak 03 Okt 2019 Artikel ini adalah pemutakhiran kedua kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 17 Juni 2020 dan dimutakhirkan pertama kali pada 5 Januari 2021. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apa Itu Kebiri Kimia? Sebelum membahas lebih jauh mengenai hukum kebiri kimia, ada baiknya kita pahami  terlebih dahulu apa itu kebiri kimia. Hukuman berupa tindakan kebiri kimia atau yang lebih familiar disebut hukuman kebiri adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain , yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi . [1] Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, secara garis besar kebiri kimia adalah pemberian suatu zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang ditujukan untuk menekan hasrat seksual berlebih. Hukum Kebiri di Indonesia Hukum kebiri di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”) dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (“PP 70/2020”) . Selain hukuman kebiri kimia, UU 23/2002 dan PP 70/2020 juga mengatur pengenaan pidana tambahan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip . Pemasangan chip ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana. [2] Yang Dapat Dikenakan Hukuman Kebiri Kimia dan Pemasangan Chip Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pengenaan hukuman kebiri kimia dan pemasangan chip ini ditunjukkan bagi: Pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak , sebagaimana diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”): Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak , sebagaimana diatur dalam Pasal 76D UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan tindak pidana perbuatan cabul kepada anak dipidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. [3] Namun, patut diperhatikan bahwa tidak semua pelaku tindak pidana perbuatan cabul dan tindak pidana persetubuhan kepada anak dikenakan tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dan/atau kebiri kimia . Tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dapat dikenakan pada: [4] Pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang merupakan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari 1 orang secara bersama-sama. [5] Pelaku yang sebelumnya pernah dipidana karena melakukan tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak. [6] Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. [7] Sedangkan hukuman kebiri kimia dapat dikenakan kepada: [8] Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak yang sebelumnya pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang sama. [9] Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. [10] Tindakan pemasangan chip dan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu maksimal 2 tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. [11] Pelaksanaan pemasangan chip dan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasinya di bawah pengawasan berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. [12] Pandangan Hukum Pidana Menurut hemat kami, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikualifikasikan sebagai graviora delicta atau kejahatan serius yang kejam. Mengapa dikatakan demikian? Karena anak sangat rentan menjadi korban kejahatan dan oleh sebab itu harus diberikan perlindungan. Secara khusus dalam lingkungan gereja, kejahatan seksual terhadap anak memang dipandang sebagai graviora delicta dan menjadi perhatian khusus bagi gereja, seperti yang tergambar dalam Ave Maria International Law Journal yang berjudul The New Delicta Graviora Laws yang ditulis Davide Cito (hal. 93): Although the abuse of minors by a Cleric is a particularly odious and very serious crime, it is certainly not the only crime contained in the delicta graviora. However, recent events have made this particular type of crime the driving force of reform, and in a sense, the central point in the Holy See’s current penal legal system. Anak sebagai korban kejahatan seksual terdampak luar biasa, terutama terhadap perkembangan psikologinya di masa yang akan datang, akibat dari depresi, malu, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, hukuman berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan chip merupakan hukuman yang setimpal. Sebab, selain pelaku tidak bisa lagi mengulangi perbuatannya, pada saat yang sama ini sekaligus sebagai general prevention bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Hukuman Kebiri Kimia dan Pemasangan Chip, Melanggar HAM? Pernyataan tindakan kebiri kimia dan pemasangan chip adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) memang tidaklah dapat dinafikan. Akan tetapi, apakah pelaku kejahatan seksual saat berbuat demikian juga memikirkan HAM anak yang menjadi korban? Selain itu, dokter yang tidak mau menjadi eksekutor karena dianggap bertentangan dengan etika kedokteran merupakan permasalahan lain. Dikutip dari Pasal 5 Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”) , memang disebutkan: Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut. Adapun Penjelasan Pasal 5 KODEKI , berbunyi: Pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya. Kecuali ada alasan pembenar, tindakan tersebut diperbolehkan seperti pembiusan pra-bedah pada umumnya, pemberian obat pra-anestesi/anestesi untuk kejang atau nyeri tak tertahankan. Tindakan kebiri kimia memang berkaitan dengan ketentuan dalam KODEKI yang kami sebutkan di atas. Akan tetapi , ketika suatu ketentuan tercantum dalam undang-undang, maka ia memiliki kekuatan hukum yang harus ditaati . Terlebih lagi, saat ini sudah ada peraturan pemerintah yang ditetapkan sebagai peraturan pelaksana hukuman kebiri kimia yakni PP 70/2020. Pasal 9 huruf b PP 70/2020 menyatakan: Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya kesimpulan  sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia kepada Pelaku Persetubuhan. Sehingga, apabila di kemudian hari dokter ditetapkan menjadi eksekutor tindakan ini, maka ia harus melaksanakannya karena ini merupakan perintah undang-undang yang mana menjadi alasan pembenar dan terhadapnya tidak boleh menolak. Alasan pembenar ini dapat dilihat pada, misalnya Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menegaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana atau Pasal 51 ayat (1) KUHP yang menerangkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Deteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak REFERENSI:\n1. Davide Cito. The New Delicta Graviora Laws . Ave Maria International Law Journal, vol.1, no.1, 2011\n2. Kode Etik Kedokteran Indonesia , diakses pada 10 Juni 2020, pukul 21.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 PP 70/2020 [2] Penjelasan Pasal 81 ayat (7) Perpu 1/2016 [3] Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang [4] Pasal 81 ayat (7) jo. Pasal 82 ayat (6) Perpu 1/2016 [5] Pasal 82 ayat (2) Perpu 1/2016 [6] Pasal 81 ayat (4) dan Pasal 82 ayat (3) Perpu 1/2016 [7] Pasal 81 ayat (5) dan Pasal 82 ayat (4) Perpu 1/2016 [8] Pasal 81 ayat (7) Perpu 1/2016 [9] Pasal 81 ayat (4) Perpu 1/2016 [10] Pasal 81 ayat (5) Perpu 1/2016 [11] Pasal 81A ayat (1) Perpu 1/2016 jo. Pasal 5, dan Pasal 14 ayat (2) dan (3) PP 70/2020 [12] Pasal 81A ayat (2) dan (3) jo . Pasal 82A ayat (2) Perpu 1/2016 kesehatan hukumonline hak asasi manusia pidana" }
{ "from": "human", "value": "Benarkah NIK jadi NPWP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”).[1]\nApa itu NPWP dan fungsinya? NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.[2]\n\nBaca juga: Jika Tidak Punya NPWP, Ini Akibat Hukumnya\nBenarkah NIK Jadi NPWP?\n\nSebelumnya perlu Anda pahami apa yang dimaksud dengan Nomor Induk Kependudukan (“NIK”). NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia[3] dan berlaku seumur hidup dan selamanya.[4]\n\nMenjawab inti pertanyaan Anda, benar bahwa NIK menjadi NPWP. Dasar hukum NIK jadi NPWP tertuang dalam Pasal 2 angka 1 UU 7/2021 yang memuat baru Pasal 2 ayat (1a) UU 6/1983 yaitu NPWP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK.\n\nDalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, menteri di bidang urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.[5]\n\nPenggunaan NIK sebagai identitas Wajib Pajak orang pribadi memerlukan pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan yang digunakan sebagai pembentuk profil Wajib Pajak, serta dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya.[6]\n\nKemudian timbul pertanyaan, kenapa NIK jadi NPWP? Konsiderans huruf c Permenkeu 112/2022 menyebutkan alasan kenapa NIK jadi NPWP yakni dengan tujuan mendukung kebijakan satu data Indonesia, sehingga diperlukan pencantuman nomor identitas tunggal yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan.\n\nBaca juga: Penambahan Fungsi NIK Menjadi NPWP Diharap Tingkatkan Efisiensi\n\nLantas kapan NIK menjadi NPWP mulai berlaku? Terhitung sejak 14 Juli 2022, Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk menggunakan NIK sebagai NPWP. Adapun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk dan telah memiliki NPWP dengan format 15 digit sebelum berlakunya ketentuan baru ini, juga menggunakan NIK sebagai NPWP dengan pemadanan terlebih dahulu.[7]\n\nHasil pemadanan NIK menjadi NPWP dikelompokan menjadi data valid yakni data identitas Wajib Pajak yang telah padan dengan data kependudukan dan data belum valid yakni data identitas Wajib Pajak yang belum padan dengan data kependudukan.[8] Hasil yang telah valid tersebut nantinya diberitahukan kepada Wajib Pajak.[9]\n\nNamun patut dicatat, untuk kapan NIK menjadi NPWP mulai berlaku seutuhnya pada tanggal 1 Januari 2024, Wajib Pajak menggunakan NIK sebagai NPWP. Sehingga, seluruh layanan administrasi perpajakan dan layanan administrasi lain yang membutuhkan NPWP sudah menggunakan NIK atau NPWP dengan format baru. Adapun batas terakhir pemadanan NIK menjadi NPWP adalah 31 Desember 2023 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Permenkeu 112/2022.\n\nAdapun alasan kenapa NIK jadi NPWP dikutip dari MK Gelar Sosialisasi Validasi NIK Sebagai NPWP adalah optimalisasi integrasi NIK dan NPWP ini guna memitigasi praktik penghindaran pajak yang bermuara pada optimalisasi penerimaan pajak.\nCara Validasi NIK Jadi NPWP\n\nTerkait bagaimana cara validasi NIK jadi NPWP, Anda dapat mengikuti langkah-langkah ini.\n\nKunjungi laman Cek NPWP.Masukkan NIK, Nomor Kartu Keluarga, dan kode captcha yang tersedia, lalu klik cari.Tunggu sampai muncul identitas NPWP, nama Wajib Pajak, KPP terdaftar, status, status NPWP 16 apakah sudah tervalidasi NIK jadi NPWP, dan NITKU.Selanjutnya login ke laman DJP Online dengan memasukkan NIK/NPWP, kata sandi, dan kode keamanan (captcha) yang tersedia, lalu klik login.Setelah berhasil login, lakukan pemutakhiran data dan cek validasi NIK jadi NPWP pada menu profil. Anda dapat mengisi NIK, klik validasi, dan klik ubah profil.Jika sudah valid, lakukan login ulang menggunakan NIK yang sudah tervalidasi jadi NPWP tersebut.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami terkait benarkah NIK jadi NPWP sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13490/node/1022/uu-no-6-tahun-1983-ketentuan-umum-dan-tata-cara-perpajakan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_1983)\n2. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/4058?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_1994)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/810?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2000)\n4. [Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26899?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_28_2007)\n5. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a1a7ae65ee9d?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2009)\n6. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/undangundang-nomor-23-tahun-2006/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2006)\n7. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n8. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6183566157105?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2021)\n9. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n10. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n11. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62d76e7c8de0d/peraturan-menteri-keuangan-nomor-112-pmk03-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkeu_112_2022)\nREFERENSI:\n1. Cek NPWP, yang diakses pada 12 Desember 2023, pukul 09.10 WIB\n2. DJP Online, yang diakses pada 12 Desember 2023, pukul 09.15 WIB\n3. MK Gelar Sosialisasi Validasi NIK Sebagai NPWP, yang diakses pada 12 Desember 2023, pukul 08.10 WIB.\n\n[1] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”)[2] Pasal 1 angka 6 UU 28/2007[3] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan[4] Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan[5] Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU 7/2021”) yang memuat baru Pasal 2 ayat (10) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 6/1983”)[6] Penjelasan Pasal 2 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 2 ayat (10) UU 6/1983[7] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (“Permenkeu 112/2022”)[8] Pasal 3 ayat (3), (4), dan (5) Permenkeu 112/2022[9] Pasal 5 Permenkeu 112/2022" }
{ "from": "human", "value": "Saya mengajukan permohonan pencatatan hak cipta berupa program komputer untuk kegunaan tertentu. Namun permohonan tersebut mendapat status ditolak dengan alasan: Tidak dapat dicatatkan berdasarkan Pasal 41 c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, karena merupakan suatu alat, benda, produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Yang dimaksud dengan kebutuhan fungsional adalah kebutuhan manusia terhadap suatu alat, benda, atau produk tertentu yang berdasarkan bentuknya memiliki kegunaan dan fungsi tertentu. Saya tidak paham mengapa program komputer yang ingin saya daftarkan ditolak karena merupakan suatu produk yang diciptakan untuk kebutuhan fungsional. Lalu program komputer seperti apa yang dapat dicatatkan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi hak cipta berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) , yaitu: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Dalam Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta telah diberi batasan yang termasuk sebagai Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Program Komputer memang termasuk dalam jenis Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dilindungi oleh UU Hak Cipta sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta , yakni terdiri atas: buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; karya seni terapan; karya arsitektur; peta; karya seni batik atau seni motif lain; karya fotografi; potret; karya sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya; kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; permainan video; dan p rogram k omputer . Program komputer yang dimaksud adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. [1] Pelindungan hak cipta untuk program komputer lahir atas semua perwujudan ekspresi yang terkandung di dalam program. UU Hak Cipta tidak melindungi aspek fungsional dari program komputer, seperti program algoritma, pemformatan, fungsi, logika, atau desain sistem. UU Hak Cipta hanya melindungi kode sumber dan obyek serta elemen unik tertentu pada interface pengguna. Pelindungan hak cipta atas ciptaan berupa program komputer berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. [2] Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. [3] Mengenai tata cara pencatatan hak cipta berupa program komputer, Anda dapat simak dalam artikel Wajibkah Melampirkan Source Code Saat Mencatatkan Hak Cipta? . Salah satu tahapan yang harus Anda lakukan adalah memberikan persyaratan berupa surat permohonan pendaftaran ciptaan , yang mencantumkan: nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta; nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama kewarganegaraan dan alamat kuasa; jenis dan judul ciptaan; tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali; uraian ciptaan (rangkap 3); Sebagai informasi, biaya permohonan pencatatan suatu Ciptaan berupa program komputer ternyata berbeda dengan jenis ciptaan lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“PP 45/2016”) biaya yang diperlukan adalah sebagai berikut: Usaha Mikro dan Usaha Kecil Secara Elektronik (online): Rp 300 ribu Per Permohonan Secara Non Elektronik (manual): Rp 350 ribu Per Permohonan Umum Secara Elektronik (online): Rp 600 ribu Per Permohonan Secara Non Elektronik (manual): Rp 700 ribu Per Permohonan Dalam Pasal 41 huruf c UU Hak Cipta disebutkan bahwa hasil karya tidak dilindungi hak cipta, salah satunya adalah alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Yang dimaksud dengan \"kebutuhan fungsional\" adalah kebutuhan manusia terhadap suatu alat, benda, atau produk tertentu yang berdasarkan bentuknya memiliki kegunaan dan fungsi tertentu. [4] Menjawab pertanyaan Anda, penolakan pencatatan yang Anda terima kemungkinan terjadi karena kurang tepat memasukkan uraian C iptaan sehingga program komputer menjadi terkategori sebagai alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional, sebagaimana yang Anda sebut di atas yaitu ‘program komputer untuk kegunaan tertentu’. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2015  Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia [1] Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta [2] Pasal 59 ayat (1) huruf e UU Hak Cipta [3] Pasal 1 angka 11 UU Hak Cipta [4] Penjelasan Pasal 41 huruf c UU Hak Cipta program hukumonline google hak cipta online komputer hukum kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Tolong jelaskan mengenai riba. Mengapa dilarang dalam perbankan syariah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Riba adalah penambahan pendapatan secara tidak sah ( batil ) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan ( fadhl ), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasi’ah ). Perbankan syariah di Indonesia melarang adanya riba sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah karena riba bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Islam (prinsip syariah) dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Selain itu, perbankan syariah dalam menjalankan kegiatannya harus tetap berpegang pada prinsip syariah secara menyeluruh ( kaffah ) dan konsisten ( istiqamah ). Riba yang sudah menjadi tradisi yang jamak terjadinya di antara masyarakat sebelum masa Islam terbukti telah membahayakan bagi masyarakat dan untuk itulah maka Islam melarangnya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Riba Riba menurut Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) , yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah ( batil ) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan ( fadhl ), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasi’ah ). Riba menurut In M. Umer Chapra yang dikutip dari buku Agus Triyanta , Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya terhadap Prinsip-Prinsip Islam (hal. 43) berarti tambahan ( al-ziyadah ), dan secara istilah diartikan sebagai sebuah tambahan dalam satu atau dua persamaan yang homogen (sejenis) yang dilakukan pertukaran, dimana tambahan tersebut tanpa disertai sebuah imbalan ( an increase in one of two homogeneous equivalents being exchanged without this increase accompanied by a return ). Masih dari sumber yang sama, dalam pengertian kekinian, hal ini terkait dengan suku bunga yang diterapkan dalam perbankan , sebagian besar ( Jumhur ) ulama secara bulat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk riba yang dilarang oleh Islam . Jika bunga dari bank merupakan bentuk riba, maka rente sudah jelas juga dinilai sebagai bentuk riba. Menurut Abu Al-A’la Al-Mawdudiy dan In M. Umer Chapra, dikutip dari buku yang sama oleh Agus Triyanta (hal. 43-44) terdapat dua jenis riba, yaitu: Riba al-nasi’ah , yaitu adanya tambahan dalam pengembalian untuk pertukaran objek hanya dikarenakan adanya penundaan. Tambahan tersebut tidak hanya dalam bentuk uang namun juga dalam pengertian kualitas maupun jumlahnya. Riba al-fadhl , yaitu adanya kenaikan dalam pertukaran dari dua buah objek yang sama dari dua belah pihak, di mana keduanya sama-sama memegang kepemilikan objek yang dipertukarakan. Terjadinya kenaikan dalam kasus ini tidak terkait adanya penundaan. Masih dari buku Agus Triyanta (hal.44), beberapa ahli hukum Islam seperti Ibn Qayyim- al-Jauziyah menambahkan jenis ketiga untuk riba, dikenal dengan riba jahiliyyah , yaitu riba yang muncul semenjak masa sebelum Islam yang diwujudkan berupa sang pemberi pinjaman/lender meminta riba kepada peminjam dalam tanggal jatuh temponya, ketika dia ingin menyelesaikan hutangnya atau menambah pinjaman lebih banyak lagi. Larangan Riba dalam Perbankan Syariah Menurut Pasal 1 angka 1 UU 21/2008, perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. [1] Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah , demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. [2] Berdasarkan pengertian riba di atas, jelas bahwa Islam melarang segala bentuk riba. Prinsip perbankan syariah yang merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya , dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. [3] Secara normatif, hukum perbankan syariah di Indonesia melarang bank umum syariah, unit usaha syariah, dan bank pembiayaan rakyat syariah untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah (termasuk riba) dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. [4] Larangan riba dalam perbankan syariah juga dibenarkan oleh Agus Triyanta (hal. 44), riba yang sudah menjadi tradisi yang jamak terjadinya di antara masyarakat sebelum masa Islam terbukti telah membahayakan bagi masyarakat, dan untuk itulah maka Islam melarangnya . Larangan Islam terhadap kegiatan ekonomi yang tidak adil ini secara terang benderang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sama mirip dengan sifat Al-Qur’an yang diturunkan tahap demi tahap (tadrijiyah) di mana ayat terkait dengan larangan riba juga diturunkan secara tahap demi tahap. Pertama, wahyu yang terkait hal ini adalah QS Ar-Rum: 39. Kedua, QS An-Nisa: 161. Ketiga, QS Al-Imran: 130-132, Keempat, QS Al-Baqarah: 275-281. Jadi menjawab pertanyaan Anda , perbankan syariah di Indonesia melarang adanya riba, karena riba bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Islam (prinsip syariah) dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Selain itu, perbankan syariah dalam menjalankan kegiatannya tetap berpegang pada prinsip syariah secara menyeluruh ( kaffah ) dan konsisten ( istiqamah ). [5] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah . Referensi : Agus Triyanta. 2016. Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya terhadap Prinsip-Prinsip Islam. Malang: Setara Press. [1] Pasal 1 angka 7 dan Pasal 18 UU 21/2008 [2] Pasal 2 UU 21/2008 [3] Penjelasan Umum UU 21/2008 [4] Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 24 ayat (2) huruf (a), dan Pasal 25 huruf a UU 21/2008. [5] Penjelasan Pasal 3 UU 21/2008 bank syariah bank umum riba hukumonline islam online hukum klinik hukumonline perbankan" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya tentang hak cipta dan paten. 1) tentang UU No. 14 tahun 2001 Pasal 7 kenapa ilmu pengetahuan dan matematika tidak bisa dipatenkan? 2) tentang hak cipta lukisan, misal ada pelukis yang meniru lukisan sehingga sama persis dengan lukisan asli dan tercantum nama pelukis asli, dan ia menjual lukisan tersebut, tanpa seizin pelukis asli, kondisinya lukisan yang asli tidak didaftarkan hak cipta, namun lukisan yang palsu didaftarkan hak cipta, maka jika dibawa ke pengadilan lukisan mana yang akan menang?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Tidak semua invensi mendapatkan perlindungan paten. Dari sisi invensi, teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, baik secara produk maupun proses, tidak memenuhi syarat langkah inventif dan tidak dapat diterapkan dalam industri . Mengenai pertanyaan kedua Anda, suatu lukisan ditiru sama persis tanpa membuang nama pelukis asli kemudian orang tersebut menjual serta mendaftarkannya. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta , tidak ada lagi istilah pendaftaran, yang ada adalah pencatatan. Terdapat pelanggaran hak ekonomi pencipta yang terjadi dalam kasus ini, yaitu seseorang telah melakukan penerbitan, penggandaan, dan pengumuman lukisan tersebut tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Teori dan Metode di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Matematika Mengenai pertanyaan pertama yang Anda tanyakan, perlu kami luruskan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten ( “ UU Paten ” ) . Terkait dengan pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan dan matematika, dalam Pasal 9 huruf c UU Paten diatur bahwa invensi yang tidak dapat diberi paten salah satunya adalah teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, maka perlu diterangkan dulu apa yang dimaksud dengan paten, apa yang dilindungi oleh UU Paten dan apa yang masuk dalam perlindungan hak paten. Definisi paten sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Paten adalah: H ak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Jadi yang dilindungi oleh paten adalah invensi atau teknologi. Kemudian sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU Paten , yang dimaksud dengan i nvensi adalah: I de inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Tidak semua invensi mendapatkan perlindungan paten. Agar mendapatkan perlindungan hak paten, suatu invensi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: [1] Memiliki kriteria invensi Memiliki kebaruan (Novelty) Memiliki langkah inventif (Inventive step) Dapat diterapkan dalam industri (Industrial applicable) Merujuk pada persyaratan perlindungan tersebut di atas, dari sisi invensi, teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, baik secara produk maupun proses, tidak memenuhi syarat langkah inventif dan tidak dapat diterapkan dalam industri . Oleh karena itu, perlindungan untuk ini diberikan pada bidang kekayaan intelektual yang lain yaitu perlindungan hak cipta, karena biasanya dibuat dalam bentuk karya tulis, yang mana penulis atau penerbitnya mendapatkan perlindungan kekayaan intelektualnya dalam bentuk hak cipta. Hak Cipta Lukisan Kemudian mengenai perlindungan hak cipta lukisan, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ( “ UU Hak Cipta ” ) , yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlu diingat bahwa hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif, bukan berdasarkan pencatatan. Pasal 31 UU Hak Cipta menyatakan bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta, yaitu orang yang namanya: disebut dalam Ciptaan; dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan; disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta. Sedangkan Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta menegaskan timbulnya hak secara otomatis bagi pencipta berdasarkan prinsip deklaratif dengan menyatakan bahwa pencatatan ciptaan dan produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait. Dalam pertanyaan Anda disebutkan bahwa lukisan ditiru sama persis tanpa membuang nama pelukis asli kemudian menjual serta mendaftarkannya. Dalam UU Hak Cipta yang baru, tidak ada lagi istilah pendaftaran, yang ada adalah pencatatan. Terdapat pelanggaran hak ekonomi pencipta yang terjadi dalam kasus ini, yaitu seseorang telah melakukan penerbitan, penggandaan, dan pengumuman lukisan tersebut tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Pasal 9 UU Hak Cipta menyatakan bahwa: Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: penerbitan Ciptaan; penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; pendistribusian Ciptaan atau salinannya; pertunjukan Ciptaan; pengumuman Ciptaan; komunikasi Ciptaan; dan penyewaan Ciptaan. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Sanksi Pidana atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang tersebut, diatur dalam Pasal 11 3 ayat (3) UU Hak Cipta sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Apabila lukisan tiruan tersebut dicatatkan atas nama orang lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual tentunya memerlukan bukti-bukti pendukung yang dapat membuktikan bahwa lukisan tersebut adalah hasil karya pemohon pencatatan. Akan tetapi, apabila ternyata lukisan didaftar oleh seseorang yang tidak berhak, maka sesuai dengan Pasal 97 UU Hak Cipta , maka pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan pembatalan pencatatan ciptaan dalam daftar umum ciptaan melalui Pengadilan Niaga. Gugatan tersebut ditujukan kepada pencipta dan/atau pemegang hak cipta terdaftar. Selain dari sisi perlindungan hak cipta, orang yang membuat lukisan tiruan juga dapat terkena sanksi hukum di bidang pidana lain misalnya pemalsuan tanda tangan dan penipuan. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta [1] Pasal 3 ayat (1) UU Paten hukumonline hak cipta paten online hukum klinik kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Mengapa terdakwa butuh penasihat hukum? Bagaimana jika terdakwa menolaknya karena ia sendiri seorang advokat? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Terdakwa Mewakili Dirinya Sendiri sebagai Advokat? 23 Des 2022 Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana 15 Nov 2022 Hak Terdakwa atas Pembelaan (Pledoi) dalam Sidang Pidana 20 Apr 2022 Terdakwa Sopan, Bisakah Jadi Alasan Peringan Pidana? 16 Des 2021 Apakah terdakwa berhak didampingi penasihat hukum? Pada dasarnya terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum berdasarkan Pasal 54 KUHAP yang berbunyi guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Sedangkan pada Pasal 55 KUHAP berbunyi untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya . Artinya terdakwa berhak memilih penasihat hukum yang akan digunakan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sehingga dalam proses peradilan, seorang terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum. Kemudian menjawab pertanyaan Anda, mengapa terdakwa membutuhkan penasihat hukum? Kami uraikan alasannya sebagai berikut. Terdakwa mungkin mengalami tekanan emosional yang parah yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan strategi menjalani persidangan. Keberadaan penasihat hukum dapat membantu terdakwa untuk membuat keputusan yang tepat dan objektif. Proses peradilan pidana itu rumit dan membutuhkan pengetahuan hukum yang baik untuk menjalaninya. Terdakwa perlu mempersiapkan diri secara optimal, sehingga peran penasihat hukum akan sangat membantunya. Terdakwa berhak memilih untuk tidak didampingi penasihat hukum, tetapi umumnya terdakwa disarankan untuk mempertimbangkan kembali pilihan itu. Sebab penasihat hukum memiliki peran tersendiri dalam proses peradilan. Baca juga: Alasan Hukum Mengapa Advokat Masih Membela Orang yang Salah Hal ini juga berlaku demikian apabila seorang terdakwa juga seorang penasihat hukum atau advokat, ia disarankan untuk tetap menggunakan jasa penasihat hukum, karena menimbang posisi objektivitas terdakwa menjadi yang paling rendah sebagaimana disampaikan pendapat ahli hukum Belanda bernama Trapman dalam buku Posisi Berdiri Hakim Bagian 1 yang ditulis oleh Shidarta . Terkait pertanyaan Anda mengenai bagaimana jika terdakwa menolak dan memilih menjadi penasihat hukum untuk dirinya sendiri, Anda dapat membaca ulasannya dalam Bisakah Terdakwa Mewakili Dirinya Sendiri sebagai Advokat? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . REFERENSI:\n1. Posisi Berdiri Hakim Bagian 1 , yang diakses pada 31 Januari 2023, pukul 15.00 WIB. advokat keterangan terdakwa penasihat hukum terdakwa" }
{ "from": "human", "value": "UUD 1945 menjelaskan bahwa ada beberapa lembaga negara, salah satunya Presiden. Di samping sebagai kepala negara, presiden juga disebut sebagai lembaga negara. Namun jika lembaga negara yang lain sudah memiliki UU-nya tersendiri, seperti UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, UU tentang KPK, UU tentang BPK, dan lain-lain; mengapa sampai sekarang tidak ada UU tentang Presiden? Padahal UU itu perlu agar masyarakat jelas tentang apa saja fungsi, tugas, dan wewenang Presiden." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim 01 Mar 2022 Mekanisme Pengujian Perda Kabupaten/Kota yang Bertentangan dengan UU 20 Mar 2017 Arti dan Maksud Tugas Pembantuan Pemerintah 06 Mar 2017 Sifat Fatwa Mahkamah Agung 25 Agt 2016 Intisari: Lembaga negara yang paling banyak diatur dalam UUD 1945 adalah Presiden. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 sangat kuat dan penting, sehingga disebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Materi mengenai persyaratan utama menjadi Presiden langsung diatur dan menjadi materi muatan Undang-Undang Dasar. Namun persyaratan lain ditentukan dengan Undang-Undang. Secara eksplisit tidak ada rumusan UUD 1945 yang memerintahkan langsung pembuatan Undang-Undang tentang Lembaga Kepresidenan. Tetapi, terdapat sejumlah pasal dalam UUD 1945 yang mengamanatkan pembentukan Undang-Undang berkaitan dengan hak, kewenangan, dan tugas-tugas Presiden. Alhasil, pengaturan yang bersinggungan dengan kewenangan, tugas, dan hak presiden tersebar dalam Undang-Undang. Sebenarnya, gagasan tentang RUU Lembaga Kepresidenan sudah pernah mengemuka. Bahkan sudah ada draf versi 2001. Undang-Undang megenai Lembaga Kepresidenan bisa berguna untuk mengelaborasi lebih jauh batas-batas tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda, sebuah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Lembaga-Lembaga Negara yang Disebut dalam UUD 1945 Anda memang benar, lembaga-lembaga negara yang kewenangannya disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dengan Undang-Undang. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta perubahannya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung beserta perubahannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial beserta perubahannya, dan sebagainya. Lalu mengapa tidak ada Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Presiden? Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kita pahami bahwa Presiden yang dimaksudkan di sini bisa bermakna Lembaga Kepresidenan sebagai lingkungan jabatan dan bisa juga Presiden sebagai pejabat yang memiliki tugas dan wewenang. Dalam bukunya Lembaga Kepresidenan , Bagir Manan mengatakan struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga Kepresidenan, baik jumlah maupun kekuasaannya. Sebelum amandemen, ada 13 dari 37 pasal di UUD 1945 yang mengatur jabatan kepresidenan. [1] UUD 1945 memberikan kedudukan yang sangat penting dan kuat kepada jabatan dan lembaga Kepresidenan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, dan memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Begitu pentingnya jabatan seorang Presiden, sehingga pengisian jabatan itu banyak diatur dalam UUD 1945. Pandangan ini antara lain disebutkan dalam disertasi Harun Alrasid yang kemudian dibukukan. Harun Alrasid berpendapat ‘pengisian jabatan presiden pada umumnya diatur di dalam Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, merupakan materi Undang-Undang Dasar’. [2] Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar . Selanjutnya, Harun Alrasid mengatakan: Mengapa kaidah hukum mengenai pengisian jabatan Presiden diatur di dalam Undang-Undang Dasar? Sebabnya adalah jabatan presiden dianggap sangat penting. Kedudukan presiden dalam suatu republic ialah sebagai kepala negara (head of state), seperti halnya dengan kedudukan raja atau ratu dalam suatu monarki. Oleh sebab itu, kaidah hukum mengenai pengisian jabatan presiden dicantumkan di dalam peraturan negara yang tertinggi, yakni Undang-Undang Dasar . [3] Materi Muatan Undang-Undang Prof. Harun Alrasid sebenarnya lebih menyinggung tentang materi muatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengisian jabatan Presiden, bukan pada lembaga Kepresidenan secara keseluruhan. Tetapi masalah pengaturan ini berkaitan pula dengan pertanyaan Anda, mengapa Presiden sebagai lembaga negara (lembaga Kepresidenan) tak punya Undang-Undang khusus yang mengatur, sebagaimana lembaga negara lain. Pengaturan materi muatan suatu undang-undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU P3”) . Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: [4] a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dihubungkan dengan pertanyaan Anda, penting untuk melihat kembali apakah ada rumusan UUD 1945 yang memerintahkan pembentukan Undang-Undang mengenai suatu lembaga. Undang-Undang Mahkamah Agung dapat ditelusuri dari bunyi Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 : Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan Undang-Undang . Mahkamah Konstitusi juga dibentuk dengan Undang-Undang sesuai amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 ; sedangkan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang untuk menjalankan amanat Pasal 24B ayat (4) UUD 1945 . Konsepsi yang sama bisa kita lihat pada contoh lembaga lain seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) [5] , Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [6] , Dewan Perwakilan Daerah (DPD) [7] , dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) [8] . Amanat UUD 1945 itu kemudian dimuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan . Amanat UUD 1945 Mengenai Hal-Hal tentang Presiden Pertanyaannya, apakah ada amanat UUD 1945 mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Presiden? Jawabannya ya! Kita bisa membaca rumusan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 : Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang . Namun pasal ini sebatas mengamanatkan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Penjabaran lebih lanjut ketentuan ini bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden . Kekuasaan dan kewenangan Presiden yang disebut dalam UUD 1945 tersebar pengaturannya dalam beberapa Undang-Undang, seperti: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur tindak lanjut kewenangan Presiden memimpin pemerintahan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan perubahannya yang mengatur kewenangan Presiden memberikan grasi, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mengatur kewenangan Presiden membuat perjanjian dengan negara lain, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang mengatur perlunya Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hingga saat ini memang tidak ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur lembaga Kepresidenan. Tetapi, pengaturan mengenai sejumlah kewenangan Presiden telah tersebar dalam beberapa Undang-Undang. Sebenarnya, gagasan pembentukan RUU tentang Lembaga Kepresidenan sudah pernah muncul, bahkan sudah ada drafnya pada tahun 2001. RUU ini penting untuk mengelaborasi lebih jauh tupoksi Presiden yang disebutkan dalam UUD 1945 sehingga tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Salah satu yang diusulkan untuk dibuat pengaturannya lebih jelas adalah pemakzulan ( impeachment ) Presiden sesuai dengan amanat Pasal 7A jo. Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 . [9] Selengkapnya silakan Anda baca artikel Mekanisme Pemberhentian Presiden . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan kedua kali oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ; 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ; 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan kedua kali oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang ; 5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ; 6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ; 7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden ; 8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ; 9. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ; 10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi ; 11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ; 12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . REFERENSI:\n1. 1. Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan . Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII dan Gama Media, 1999. 2. Harun Alrasid. Pengisian Jabatan Presiden . Jakarta: Gratifi, 1999. 3. Patrialis Akbar. Hubungan Lembaga Kepresidenan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden . Jakarta: Total Media dan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013. [1] Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan . (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia dan Gama Media, 1999), hal. 31. [2] Harun Alrasid. Pengisian Jabatan Presiden . (Jakarta: Grafiti Press, 1999), hal. 137. [3] Ibid ., hal. 2. [4] Pasal 10 ayat (1) UU P3 [5] Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. [6] Pasal 22B UUD 1945. [7] Pasal 22D ayat (4) UUD 1945. [8] Pasal 23G ayat (2) UUD 1945. [9] Patrialis Akbar. Hubungan Lembaga Kepresidenan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden . (Jakarta: P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Total Media, 2013). parlemen majelis permusyawaratan rakyat lembaga pemerintah ma kpk mahkamah konstitusi badan pemeriksa keuangan komisi yudisial klinik hukumonline grasi tata negara abolisi mahkamah agung bpk hukumonline presiden dewan perwakilan rakyat jokowi dewan perwakilan daerah amnesti google undang-undang uud 1945 hukum klinik" }
{ "from": "human", "value": "Dalam pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh pemohon atau kuasanya, mengapa istilah yang digunakan adalah “kuasa hukum”? Mengapa tidak disebut dengan penasihat hukum? Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ketentuan Pemberian Kuasa Ketika Beracara di MK Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus merujuk pada hukum acara Mahkamah Konstitusi (“MK”) agar dapat melihat aturan dalam hal mengajukan permohonan. Ketentuan tentang mekanisme pengajuan permohonan di MK terdapat dalam Bab V Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) yang mengatur tentang hukum acara. Pasal 29 ayat (1) UU MK menjelaskan bahwa permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada MK. Pada bagian Penjelasan Pasal 29 UU MK , ketentuan tersebut dianggap cukup jelas. Aturan tentang kuasa hukum secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) . Pasal 1792 KUH Perdata menjelaskan bahwa pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Secara umum, seseorang memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Terdapat beberapa ketentuan seputar pemberian kuasa, yaitu: Berdasarkan Pasal 1793 KUH Perdata yang menerangkan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat atau pun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si penerima kuasa. Berdasarkan Pasal 1795 KUH Perdata yang menerangkan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus , yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum , yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Berdasarkan Pasal 1796 KUH Perdata yang menerangkan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau untuk membuat suatu perdamaian, atau pun sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Pada Pasal 43 UU MK dijelaskan bahwa dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu . Lembaga negara sebagai salah satu pihak yang dapat beracara di MK dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. [1] Sehingga, istilah “kuasa hukum” digunakan karena dibutuhkan surat kuasa khusus untuk dapat beracara di MK tanpa adanya kewajiban bahwa kuasa hukum itu haruslah seorang advokat. Pembatasan Makna Istilah “Penasihat Hukum” Merujuk pada pengertian penasihat hukum, yang terdapat pada Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , dijelaskan bahwa penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Patut diketahui bahwa ketentuan peralihan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku, dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Sehingga setelah berlakunya UU Advokat, penasihat hukum disebut sebagai advokat. Pasal 1 angka 1 UU Advokat menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat, sehingga profesi ini memiliki kewenangan untuk dapat beracara di peradilan. Untuk dapat menjadi advokat harus bergelar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat serta diangkat oleh organisasi advokat. [2] Sehingga terdapat beberapa prasyarat dan proses untuk dapat menjadi advokat. Patut diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 (hal. 43) memutus bahwa ketentuan di atas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai yang berhak menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat adalah organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B. Penggunaan Istilah “Kuasa Hukum” Pada persidangan di MK, untuk dapat menjadi kuasa, seseorang tidak harus berstatus sebagai advokat . Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang pun orang yang mendampingi atau mewakili pemohon tidak harus advokat . Perbedaan antara advokat dan bukan advokat dalam proses beracara hanya pada pakaian yang dikenakan, advokat akan menggunakan toga dan yang bukan advokat cukup dengan pakaian biasa. Maka, alasan yang membuat istilah yang digunakan adalah kuasa hukum, bukannya penasihat hukum adalah karena yang dapat menjadi penerima kuasa tidak hanya yang berprofesi sebagai penasihat hukum (advokat), namun yang bukan advokat juga dapat menjadi penerima kuasa dalam beracara di MK. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 . [1] Pasal 38 ayat (3) UU MK [2] Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Advokat acara peradilan hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana pemberlakuan dasar pengapus pidana bagi pelaku aborsi provokatus kriminalis?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami akan menjelaskan tentang arti aborsi provokatus kriminalis. Menurut artikel Abortus Provokatus yang kami akses dari laman kamuskesehatan.com , a bortus provokatus ( induced abortion ) adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus provokatus bisa legal karena ada indikasi medis (disebut abortus medisinalis ) yaitu bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu. Abortus tanpa indikasi medis adalah kejahatan melawan hukum, disebut abortus kriminalis . Dari definisi ini dapat kita ketahui bahwa abortus provokatus mengandung dua arti. Pertama, ia dikatakan sebagai aborsi yang dilegalkan jika ada indikasi medis. Kedua, ia juga dikatakan sebagai sebagai aborsi yang dilarang jika tidak ada indikasi medis atau yang dikenal dengan abortus kriminalis. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Bagi Pasangan yang Mencoba Aborsi 08 Mei 2024 Bolehkah Melakukan Aborsi karena Incest ? 29 Nov 2023 Berhubungan Seks dengan PSK Sampai Hamil, Ini Risiko Hukumnya 04 Agt 2023 Dilema Hak untuk Hidup dan Hukuman Mati di Indonesia 16 Jun 2022 Oleh karena itu, ada hal yang ingin kami luruskan di sini. Dalam konteks aborsi ini dilarang atau dengan kata lain merupakan tindak pidana ( abortus kriminalis ), maka tidak ada dasar (alasan) penghapus pidana seperti yang Anda sebut . Artinya, pelakunya diancam pidana sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun sanksi bagi pelaku abortus provokatus kriminalis atau setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar sebagaimana disebut dalam Pasal 194 UU Kesehatan . Lebih lanjut mengenai pidana terkait aborsi dapat Anda simak dalam artikel Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Akan tetapi, berbeda jika yang dilakukan adalah abortus provokatus medisinalis. Abortus provokatus medisinalis adalah aborsi yang dilakukan karena indikasi medis yang dilegalkan sehingga ada pengecualian di sini, yang dinamakan alasan penghapus pidana. Pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi , demikian yang disebut dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (\"UU Kesehatan\") . Namun, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan [ Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ]: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Menjawab pertanyaan Anda, dari sini dapat kita ketahui bahwa aborsi itu legal untuk dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang menimbulkan sifat traumatik bagi korban. Namun, tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan . Kedua dasar dilegalkannya aborsi tersebut memiliki maksud bahwa pelakunya tidak dapat dipidana karena alasan penghapus pidana itu. Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati ( Pasal 50 KUHP ); b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ( Pasal 44 KUHP ). Jadi, dalam konteks pertanyaan Anda, pelaku abortus provokatus karena indikasi medis tidak dipidana sebab alasan yang menghapus sifat melawan hukum itu (alasan pembenar). Terkait reproduksi, perlu Anda ketahui, sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reporoduksi (“PP 61/2014”) . Penjelasan selengkapnya mengenai PP ini dapat Anda simak dalam artikel Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reporoduksi . Referensi: http://kamuskesehatan.com/arti/abortus-provokatus/ , diakses pada 15 September 2014 pukul 16.28 WIB aborsi" }